Seperempat Hari Penunggang Peluh
Kala itu pagi sekali.
Sepotong matahari belum sempat muncul mengintip fajar. Sedangkan lantunan
ayat-ayat al-quran paling merdu di masjid sedang indahnya berkumandang menyambut sang surya.
Percakapan antar pagi dengan gelap begitu terdengar di telinga kecilku. Bentuk
suaranya yang membangunkanku pada setiap aktivitas.
Mengusap mata
kemudian membasuh diri. Mencium sajadah kemudian menyiapkan tunggangan. Ibu
sudah bergegas pergi ke pasar. Menyiapkan hidangan hangat pengisi perut penunda
lapar.
Tak lama, tunggangan
besi membawaku melaju menghempas jalan yang masih gelap. Bersama dengan
orang-orang yang memiliki tujuan serupa. Mencari rezeki supaya tidak di patuk
ayam.
Memikul kewajiban
bukan beban. Kebanyakan orang menyatakan bebannya mereka pikul di pundak.
Sedangkan yang ku lakukan adalah menggandeng bebanku supaya tidak menyusahkan
setiap kegiatanku. Menggenggam erat beban itu kemudian melepasnya di waktu yang
paling tepat.
Seperempat bagian
pada dua kali putaran tiga ratus enam puluh derajat di permukaan jam aku isi dengan
peluh keras. Kerja keras itu semata-mata bukan untuk mengisi waktu kosong atau
sebagai pengganti tidurku ketika menganggur. Melainkan meniti mimpi. Merajut
masa depan dengan jutaan pengalaman. Mengenal bagaimana rasanya menjadi babu.
Dibayar ketika bulan sudah melambaikan tangan.
Pastinya semua itu
hanyalah awal dari sebuah dongeng nyata. Yang di awali dengan kesulitan
kemudian bahagia. Halaman masih tebal. Baru saja dua halaman ku buka. Masih ada
lembar demi lembar yang akan aku buka. Entah, sampai lembaran berapa akan terus
berganti. Intinya aku selalu berharap, ketika aku membuka lembaran terakhir
dongeng itu akan menciptakan senyum bagi siapa saja yang membacanya.
Kini, rasanya aku
butuh secangkir teh ditambah sepotong biskuit.