I wanna be to care
DRRTTT…DRRT…
Getaran hape di saku kemeja Alif, sangat
mengganggu perjalanannya ke kampus. Disana ia sudah ditunggu oleh Dian--pacarnya.
Motornya terus melesat dengan cepat hingga jarum di speedometer berada di angka
80km/jam.
Sesampainya di kampus, Dian memandang
Alif dengan wajah penuh kejengkelan.
“Kemana dulu sih kamu ?! Udah aku
tungguin dari tadi. Bisa telat aku ntar kesalonnya. Sampe-sampe aku ditinggal
temen aku kan tuh disalon. GARA-GARA KAMU NIH !!” ujar Dian dengan nada tak
ramah.
“Yaudah aku minta maaf. Yaudah yuk kita
pergi” Senyum Alif mencoba untuk mencairkan suasana.
Dian pun duduk diatas motor masih dengan
wajah cemberut dan bibir mengkerucut.
Diperjalanan, tak ada sepatah kata pun
yang terlontar dari mulut mereka berdua. Mereka saling kaku. Tak enak dengan
suasana yang dingin seperti ini, Alif pun lagi-lagi mencairkan suasana yang
dingin menjadi hangat kembali.
“Oiya sayang, kamu ke salon mau potong
rambut atau keramas doang ?” tanya Alif sambil melihat wajah Dian dari kaca
spion.
“Aku cuma mau potong doang kok”
“Potong pendek ?”
“Ya kalo potong pasti di pendek lah,
masa di panjangin. Itu mah nyambung rambut”
Percakapan mereka pun terus berlanjut
dan sesekali di selingi dengan candaan dari Alif supaya nggak terlalu terkesan
serius. Tak terasa perjalanan sudah sampai di salon. Mereka parkirkan motor
tepat didepan salon.
“Kamu tunggu di luar aja ya ” pinta Dian
lalu mendorong pintu dan masuk kedalam salon.
“Iya sayang”
Alif menunggu di warkop yang tidak jauh
dari salon. Kira-kira 20 langkah dari salon. Ia memesan kopi dan menghisap
sebatang rokok putih. Disampingnya, duduk seorang pria tua yang juga sedang
merokok. Lantas mereka akhirnya ngobrol. Kebetulan sehabis pemilu, mereka
membicarakan pemimpin Indonesia yang akan terpilih nantinya. Pria tua itu
sangat pandai berbicara apalagi politik. Terlihat sekali gaya berbicaranya yang
menggebu-gebu. Pria tua itu bilang “Pemimpin sekarang memang pintar. Tapi ngga
punya hati”.
Obrolan
mereka terhenti sejenak karna suara telpon dari hape Alif.
Di ambilnya hape dari saku lalu
mengangkatnya.
“Kamu dimana si ? aku udah nih.
Pergi-pergi mulu” Dian marah, suaranya sampai menggangu pendengaran Alif.
“Iya, sebentar aku lagi diwarkop. Aku
kesana sayang”
Dimatikannya telpon lalu membayar kopi
dan pergi. Tidak lupa, Alif berpamitan dengan pria tua tersebut.
Alif menghampiri Dian yang sedang serius
dengan smartphonenya. Lalu menepuk pundak Dian.
“Nungguin ya ? hehehe maaf sayang tadi
aku dari sono noh” Alif menunjuk warkop yang tadi ia kunjungi.
“Bodo” jawab Dian datar. “Yaudah ayok ah
jangan lama-lama aku mau tidur. Tiba-tiba kepala aku pusingnih ” Ujarnya lagi
lalu naik keatas motor.
Sampai di depan gang, Dian turun.
Seperti biasa, Alif hanya mengantar Dian sampai depan gang. Karna Dian nggak
mau hubungannya diketahui oleh orang tuanya kalau Alif mengantarnya sampai
rumah. Bagi Dian, mengantarnya sampai depan rumah sama saja kiamat.
Tiba dirumah, Dian langsung menghantam
tubuhnya dikasur. Wajahnya pucat. Suhu badannya perlahan semakin panas. Dian
menggigil dan tubuhnya harus dibalut dengan selimut berlapis.
Untuk mengangsurkan suhu tubuhnya. Dian
diberikan kompres yang diletakkan didahinya.
Tak lama kemudian Alif menelpon. Tak
diangkat oleh Dian yang masih menggigil. Sejam kemudian, Dian
sudah mampu
menggunakan hapenya dan membalas sms dari Alif.
|
Sms dari Dian lalu dibalas Alif
|
Semenit kemudian dibalas lagi oleh Dian. Namun
sepertinya kali ini Dian sangat kesal.
|
Alif sejenak menatap layar handphonenya dengan
tatapan berkaca-kaca. Entah apa yang salah dari dia. Ia tak mengerti kenapa hal
yang baik dan perhatian kepada orang yang disayanginya malah dianggap kesalahan
besar, lebih parahnya lagi. Dian yang ngomong sendiri.
Nggak mau Dian makin marah dan malah berantem lagi.
Alif pun mengalah.
|
Dibalas Dian.
|
Alif membuka pesan
dari Dian. Lagi, dia termenung melihat sms dari Dian. Alif tau kalo
pacaran dengan Dian memang nggak gampang. Harus diem-diem dari orang tua Dian.
Untuk kerumah Dian saja, harus curi-curi waktu kalau nggak ada orang tuanya.
Sudah beberapa kali juga Alif berusaha buat ketemu sama orang tua Dian.
Namun usahanya selalu terbendung oleh Dian yang selalu melarangnya kerumah.
Maka dari itu, Alif sering kali juga berpikir kalo
sebenarnya orang tua Dian tidak melarang Dian berpacaran tapi Dian-nya-saja
yang memang tidak membolehkan Alif datang kerumah untuk ketemu keluarga Dian.
Pusing karna terus memikirkan hal yang merusak
kinerja otaknya ini. Alif pun langsung mematikan lampu kamarnya dan tidur.
Tidak lupa, ia juga menyalakan musik mellow untuk menemani tidurnya malam ini.
***
Siang kali ini begitu terik hingga menyeruak
kekantin kampus, cahayanya menyilaukan mata dan panasnya menembus baju hingga
menusuk dikulit. Sebatang rokok telah dihisap lalu baranya dimatikan diasbak.
Sebatang rokok pun diambil lagi dari bungkusnya. Dibakarnya rokok itu dan
asapnya terhembus udara dari mulutnya.
Alif sangat stres. Ia bingung dengan keadaan yang
dialaminya ini. Ingin sekali ia menjenguk Dian. Namun apa mau dikata, orang
yang dijenguk malah melarangnya untuk datang.
Drrtt…Drrt..
Hapenya bergetar. Dengan cepat ia raih hapenya dari
saku celana jeansnya. Ternyata telpon dari Dian. Telpon tersebut tak langsung
diangkat oleh Alif. Ia hanya melihat gambar gagang telpon berwarna hijau dengan
wallpaper wajah Dian dilayar hapenya.
“Kenapa Dian menelpon ?” Tanya Alif dalam hati.
Tidak enak dengan perasaannya tentang Dian. Alif
langsung memencet tombol oke. Namun terlambat. Telpon dari Dian sudah mati
terlebih dahulu.
Ia langsung menelpon balik Dian. Tapi sayangnya,
pulsa Alif tak cukup untuk menelpon Dian. Sekedar sms pun juga tidak cukup.
Hati Alif tiba-tiba sangat resah. Sesekali juga, ucapan Dian di sms kemarin
masih terngiang didalam pikirannya. Yang melarangnya datang kerumah Dian.
Dikamarnya ia sedang diperiksa oleh Dokter. Keadaan
Dian semakin lama semakin parah. Tangannya pun sudah diberi jarum infus. Ia
seperti orang yang tak memiliki tenaga untuk hidup lagi. Tertidur dan mengucapkan
nama ALIF berulang kali.
“Alif…Alif..Alif” ritihnya.
“Alif siapa ?” tanya ibu Dian kepada Dian. Namun
Dian tak menggubris pertanyaan ibunya itu. “Yaampun Dian kenapa kamu bisa
begini” ibu Dian menangis dipelukkan anaknya yang tak berdaya itu.
“Alif itu pacarnya Mba Dian bu, daritadi aku coba
menelpon dia pake hape Mba Dian tapi nggak diangkat-angkat” ujar Shila-adiknya-Dian-umur
17tahun ketika masuk kekamar Dian.
“Yaudah coba kamu telpon lagi” suruh ibu Dian sambil
tergesah-gesah.
“Iyaa..bu iyaa sabar ini mau aku telpon”
Dering hape berbunyi disaku kemeja Alif. Lalu
diangkatnya telpon itu.
“Assalammulaikum, Kak Alif ya ?”
“Waalaikumsalam, kenapa Dian ?”
“Bukan..bukan saya bukan Dian kak, saya adeknya Mba
Dian kak. Saya minta tolong kak, tolong banget sekarang kakak kerumah mba Dian.
Mba Dian kritis kak. Dari tadi Mba Dian manggil-manggil nama kakak terus”
Jleb. Dada Alif seperti tertusuk pisau dan menembus
kepunggungnya ketika mendengar keadaan yang begitu parah yang sedang dirasakan
Dian. Sepatah kata pun masih terpendam untuk diutarakan kepada Shila.
“Ngg…Gimana ya ?”
“Kakak nggak bisa ? Yaampun kak, tolong kak demi Mba
Dian juga”
“Iyaa.. kakak juga tau ini semua demi Mba Dian. Tapi
kakak nggak dateng kerumah kamu juga demi Mba Dian. Kemarin Mba Dian melarang
kakak kerumah kamu, dia bilang kalo kakak kerumah kamu berarti kakak nggak
sayang sama dia. Kakak mau buktiin ke dia kalo kakak sayang sama Dia”
“Maksud kakak ?”
“Kamu nggak akan ngerti”
“Oke kak oke, terserah apa yang kakak maksud itu
tapi tolong plissss… kakak dateng kerumah sekarang!”
Dian, perlahan menggerakkan tubuhnya. Lalu Dian melihat percakapan Shila dengan Alif lewat
handphone.
“Shil..sin..sini hapenya” ujarnya rintih sambil
mengulurkan tangannya meminta handphone supaya ia dapat berbicara dengan Alif.
“Mba Dian ? ”
Shila langsung memberikan handphone ke Dian.
“Hal…halo Alif ?”
“Dian ?” Alif bengong.
“Iya aku Dian, Lif”
“Dian, aku minta maaf nggak bisa dateng kerumah
kamu. Aku udah janji kekamu kalo aku nggak bakal kerumah kamu lagi. Aku bakal
nepatin janji itu, Dian. Aku mau buktiin kekamu kalo aku emang bener-bener sayang sama kamu” ujar Alif tak kuasa menahan air mata dari pelupuk matanya.
“Lif..Alif aku nggak bermaksud seperti itu”
“Aku udah janji sayang. Dan kamu yang menyuruh aku
kayak gitu. Semoga cepet sembuh Dian. Aku sayang kamu”
Tuttt…tuttt sambungan telponnya dimatikan oleh Alif.
Dian menangis sejadi-jadinya. Ia menyesal telah
berbohong dan menutup-nutupi hubungannya dengan Alif kepada orang tuanya. Dan
menyuruh Alif untuk tidak boleh datang kerumahnya. Sambil meringis kesakitan ia
terus menangis. Air mata kesakitan dan air mata penyesalan sudah tercampur
aduk.
Tiba-tiba tangisannya mulai reda. Rambut panjangnya
yang tergerai begitu nyaman dibelai dengan sentuhan lembut tangan laki-laki.
Entah siapa dia yang melakukannya. Dian begitu merasakan kenyamanan yang begitu
menenangkan hatinya. Seperti seseorang yang tak asing di kehidupannya.
Seseorang yang selalu ada ketika ia butuhkan. Seseorang yang ketika berada
disampingnya terasa aman lah kehidupannya.
Ia menengadahkan kepalanya. Tatapannya terfokus pada
orang tersebut. Air matanya mengalir hingga membasahi pipinya ketika melihat
seorang pria tersenyum dihadapannya.
“Gimana kabar kamu ? udah baikkan ?” tanya Alif
dengan penuh kasih sayang.
Dian hanya mengangguk bahagia.
“Aku…aku..” Dian mencoba berbicara namun jari
telunjuk Alif berada dibibir Dian untuk mengahalangi Dian berbicara.
“Nggak usah ngomong apa-apa”
Alif lalu mencium kening Dian dan memeluk Dian
dengan penuh kasih sayang. Kehangatan dalam pelukkannya membuat Dian semakin
nyaman dan melupakan segala penyakit yang sedang dideritanya.
“Aku sayang kamu Lif !”
I
love you too, ucap Alif dalam hati.
Ceritanya quote nih :
Jangan
sesekali membutuhkan orang yang kamu sayangi hanya ketika kalian butuhkan. Coba
datanglah ketika dia yang membutuhkan kalian.
0 komentar:
Posting Komentar