Curhatan ayam penyet
Pak Tongkir dengan seragam khasnya topi coboy, baju
oblong, celana panjang warna ijo gelap berbahan parasut dan juga kakinya
dilengkapi dengan sepatu boot.
Ia membuka kandang yang terbuat dari bambu. Hingga
ternak ayamnya keluar, berlari kesana kemari seperti habis keluar dari penjara.
Semua ayam pun keluar dari kandang dengan bebas,
semau mereka. Terserah mau kemana aja, mau senam, lari pagi, asalkan jangan
kabur. Kalo kabur mereka juga nggak mungkin bisa. Apalagi harus melompat
dinding yang tingginya sedagu orang dewasa. Itu mustahil karna hanya akan
membuat sayap kseleo.
Didalam satu peternakan ayam ini, sekiranya terdiri
dari beberapa genk. Tapi genk yang agak terkenal dan
familiar banget sama
ayam-ayam ternak dari peternakan lain tuh, yaitu genk ASEL, kalo disingkat genk
AYAM SELON.
Genk ini terdiri dari lima ekor ayam. Dari
keturunan, agama, ras, dan kebudayaan yag berbeda juga. Bhineka Tunggal Ayam.
Ketua dari genk ini yang sekaligus merangkap sebagai
ayam veteran dalam peternakan, yaitu Kocel. Kocel itu ayam yang udah hampir
setahun disini. Ia terlalu lama disini bukan karna gak naek kelas. Bukan.. ia
itu karna perkembangannya. Pertumbuhan hidupnya agak lamban. Dua sampai tiga
bulan tubuhnya masih sejempol anak bayik. Bayik dinosaurus. Eh nggak deng,
maksudnya pertumbuhannya terhambat nggak seperti ayam-ayam lain.
Ada juga Si Petoy. Ayam blasteran dari ayam jago dan
ayam negri. Maka dari itu, bentuk badannya rada labil. Terlihat banget dari
badannya yang kecil dan kepalanya panjang dengan jengger yang melekat
dikepalanya.
Jurnot, ayam gaul. Bisa berbagai bahasa. Bahasa
ayam, burung, dan semua unggas lainnya. Ia diberkati angrah ini dari ayahnya
yang bekerja sebagai guru agama di university Of Language Bird.
Tarkim, ia ayam yang sering disebut pemakan ayam.
Hobinya ia itu suka makan ayam. Karna hobinya yang agak aneh itu, seringkali
setiap sedang memberi makanan ke para ayam ternak Pak Tongkir kesulitan dalam
mencarikan makanan untuknya. Nggak sedikit juga yang nggak seneng sama dia. Dia
termasuk ayam yang tercatat di BlackList
oleh para komplotan ayam di peternakan.
Adalagi yang terakhir, si Genius. Suntoyo. Ayam
satu-satunya di peternakan yang menggunakan kacamata. Ia nggak pernah lepas
dari novel atau berbagai buku lainnya. Novel yang paling dia senangi adalah
bukunya Raditya Dika yang sampe sekarang belom selesai ia baca. Usut punya
usut. Penyebab ia nggak selesai-selasai baca itu novel karna nggak bisa
membalik halaman satu kehalaman dua, sungguh kasihan dia. Sampai sekarang belom
bisa-bisa. Denger-denger bukunya udah digantung di depan kandang peternakan.
Buat penangkal setan.
Pagi itu suasana masih ramai lancar. Belom ada
teriakkan ibu tua yang suka dateng mesen ayam. Setiap kali ia mesen ayam, pada
saat itulah para ayam berkumpul dan berdoa (ada juga yang pindah agama) supaya
tidak dijual. Karna pada saat ibu itu datang, pada saat itulah riwayat para
ayam habis dan akan menjadi ayam penyet.
Pak Tongkir masuk dengan membawa ember hitam yang
berisikan pur untuk para ayam. Semua ayam saling selengkat mendapatkan pur ayam.
Banyak luka-luka karna kejadian ini. Tapi untungnya masih ada Si Kocel yang
bisa mengurusnya supaya tidak terjadi keributan.
Kocel menenangkan semua ayam “Woii..diam !!!”
teriakkannya sungguh menggelegar sampai Pak Tongkir yang masih memberikan pur tidak
mendengarnya. “ Jangan berantem gitu lu pada, kayak nggak pernah makan pur
ajah. Yaudah sana berebutan lagi” Kecol meninggalkan segerombolan ayam yang
masih terinjak-injak.
Di pojokkan kandang. Teman-teman genk Kocel sedang
asyik melahap pur yang disajikan pak Tongkir tadi. Ia pun langsung lari dengan
kekuatan ceker serebu. Berhenti dan melihat kenyataan yang tidak boleh terjadi.
Pur-nya abis.
Tidak lama kemudian Pak Tongkir datang dengan
membawakan pur ayam lagi dan sekotak kecil air mentah. Asyik banget pak Tongkir
hari ini seperti kesambet leak. Ia pun meletakkan pur tersebut ditengah-tengah
genk ASEL.
“Makan yang banyak yak, biar cepet gede” ujar Pak
tongkir beranjak berdiri lalu pergi.
“Enak..enak tau aja lu pak kalo gue laper” kata Tarkim
sambil mengunya pur yang ia santap.
“Kim, tapi lu kan sukanya ayam. Kenapa lu jadi suka
pur ? ” tanya Petoy.
“ Sekarang gini deh, pur itu untuk siapa ?” tanya
Tarkim balik.
“Ayam” jawab Petoy datar dengan tampang pelongo
seperti ayam yang akan di rebus jadi opor lebaran.
“Nah itu tau”
Petoy diam tanpa kata. Tatapannya kosong menatap
pur.
Pak Tongkir balik lagi lalu meletakkan pur kembali.
Kocel yang emang laper dari tadi, langsung menyantapnya tanpa basa-basi.
Sampai-sampai Suntoyo yang sibuk membalik halaman novel belum mendapat jatah
sarapan paginya.
Jurnot yang sudah kenyang, menawarkan pur-nya ke
Suntoyo “Sun..sun” panggilnya.
“Kenapa not ?” tanya Suntoyo heran.
“You need this pur, Sun ? I am udah kenyang banget.“
Jurnot menawarkan dengan bahasa inggris yang payah “Udahlah baca novelnya, Lu
makan dulu. Ntar jadi ayam tiren loh” kalo nggak makan” Jurnot menakut-nakuti.
“Iya tuh Sun, baca buku mulu lu kayak heri poter.
Tapi gue liat-liat kayaknya buku yang lu baca, buku baru tuh. Ciee novel Radita
Dikanya yang udah setahun dibaca akhirnya selesai” Tarkim nyerocos ikut
nimbrung.
“Yaudah ntar gue juga makan kok. Oh..ini ya ? ” ia
menunjukkan novel itu ke Tarkim yang membuat Tarkim mengangguk ringan. “ Bukan
kok ini novel baru, yang novel kemaren kan udah jadi jimat peternakan”
“Ohiya, jadi, itu novelnya baru lagi ? terus lu udah
sampe halaman berapa ?” tanya Tarkim sedikit ngejek.
“Hmm..baru kata pengantar” jawab Suntoyo lemas.
“Woalah”
Ketika sedang asyik mengobrol, suasana kandang mulai
hening. Genk ASEL juga bingung. Mereka celingak-celinguk keseluruh penjuru
kandang. Pantas. Ternyata ada ibu tua pelanggan Pak Tongkir yang akan memilih
ayam yang bakal dibelinya.
Genk ASEL panik. Panik semua. Keringat bercucuran
seperti habis lari 2000 km sambil dikejar-kejar macan tutul. Jari telunjuknya yang besar sedang melayang diudara untuk mendeteksi ayam mana yang cocok
untuk dibelinya.
Jari tengahnya pun berhenti dan tertuju kepada lima
ayam, yaitu Genk ASEL.
JENG…JENG…JENG *suara tegang yang kayak disinetron*
Mereka saling bertatap pandang. Jantung Genk ASEL
terasa akan copot. Malah memang sudah copot.
“GIMANA NIH ?!! NGGAK MAU, NGGAK, GUE NGGAK MAU JADI
AYAM GORENG” Petoy histeris sambil lari-lari kekanan-kiri.
“Gue juga nggak mau, gue nggak mau jadi santapan
orang-orang. Mau bilang apa keluarga gue dirumah nanti. Kalo ngedenger anaknya
dimakan oleh salah satu koruptor di Indonesia. Ntar gue jadi ayam yang haram.
Nggak, pokoknya gakmau” Tarkim ikut-ikutan histeris.
Mereka berlima panik bukan main. Masalahnya, hanya
mereka yang ditunjuk oleh ibu tua itu. Memang sial sekali hari ini buat mereka.
Para ayam pun berkumpul menghampiri mereka berlima. Satu persatu mereka
bersalaman tidak lupa juga dengan kata-kata “ Digoreng itu nggak enak loh”.
SIAL.
Setelah bersalam-salaman dan juga mendapat motivasi
dari yang lain. Isi motivasinya nggak banyak, malahan menjurus nakut-nakutin.
Dari ada yang bilang ,
“ Kalo nggak suka pedes, jangan mau dibikin ayam
rica-rica”
“Direbus itu rasanya kayak ditenggelemin di aer
panas. Hati-hati, bro”
Ada ucapan yang terngiang banget diotak mereka
ketika Jeri, si ayam negri keturunan amerika bilang, jaga nama baik peternakkan ini. Jangan biarkan pelanggan disana
mengeluh dengan daging kalian.
Karna daging kalian pait…pait..pait banget kayak
pare yang udah busuk !!
Jam 09.08, kira-kira dua jam lagi mereka akan
diambil oleh ibu tua. Kehidupan mereka akan berubah. Jangan kan hanya kehidupan
yang berubah. Hidup dia pun juga akan berubah menjadi alam barzah.
Kocel yang kayaknya paling tenang dibanding
teman-temannya, khususnya Suntoyo yang masih berusaha membalik halaman kata
pengantar menjadi halaman Bab 1. Pepatah membalikkan telapak tangan lebih mudah
tidak ada artinya buat Suntoyo yang kesulitan ngakalin novel tersebut.
Kelihatan sekali dari wajah Kocel yang pertamanya
tenang dan lama –kelamaan menjadi murung. Ia pengen nangis. Namun, Kocel masih
kuat dan mengajak kawan-kawannya berembuk.
“Coy, hidup kita udah nggak lama lagi. Kayaknya
sekarang gue mau minta maaf sekaligus kalo bisa mau ngungkapin kesalahan dan keluhkesah
gue selama kenal sama lu semua” ujar Kecol menahan nangis. (Ayam juga bisa
nangis)
Jurnot tak dapat berkata apapun. Paruhnya seperti
ada yang menahan untuknya berbicara.
“Iya Col, bener. Gue mau minta maaf sama kalian kalo
selama ini gue banyak salah sama kalian. Gue sering buat kalian ngiri sama gue
gara-gara gue suka dikasih makan yang porsinya beda dengan kalian ” ujar Tarkim
memulai curhatan ala ayam yang akan dijagal.
“Mmm..gue juga mau minta maaf sama kalian kalo
selama ini gue terlalu ganteng daripada kalian” Kata Petoy polos, membuat
suasana haru menjadi suasana pengen ninju paruh Petoy jadi penyok.
“Itu aja ? ” tanya Tarkim kepada Petoy.
Petoy mengangguk polos.
“Ngg..gue juga minta maaf suka gangguin kalian.
Apalagi kalo kalian lagi tidur, sesekali gue nyopotin bulu kalian. Yang paling
sering sih, bulunya Suntoyo” Ucap Kecol pelan tapi ucapannya nggak lama setelah
itu,langsung terdengar oleh Suntoyo. Mungkin Suntoyo punya indra pendengaran
yang agak rawan rusak.
“Mmm.. satu lagi. Gue juga mau minta maaf ke Kecol.
Sori ya Col, dua minggu yang lalu gue hampir makan lu hidup-hidup” Tarkim jujur.
“Wah kampret lu Kim, temen sendiri juga mau dimakan
!!” Kecol marah sejadi-jadinya, sambil ingin menonjok batang leher Tarkim.
Namun niat itu tidak terealisasi karna Kecol masih ditahan oleh Petoy.
Suasan semakin riuh. Suntoyo yang sudah berhasil
membalik halaman kata pengantar menjadi daftar isi pun menghampiri mereka
sambil membawa novel lalu bertanya “Ini ada apa sih pada ribut-ribut ?”
“Hah ?! apa
kata lu ? lu nggak liat apa apa atau nggak denger percakapan kami dari tadi ?”
Suntoyo menggelengkan kepala.
“KITA TUH MAU DIJUAL DAN BAKALAN DIMAKAN !!!” teriak Petoy
ditelinga Suntoyo.
Suntoyo terlonjak kaget, super kaget hingga novel
yang susah payah dibalik halamannya terbang dan menghempas di tanah. Alamat
novel tersebut akan tertutup. Itu pun kejadian.
Novel milik Suntoyo pun tertutup rapih oleh cover.
Suntoyo memandangi novel tersebut lalu menangis. Agak kasian juga sih sama
Suntoyo yang udah susah payah dua hari tiga malem membalik halaman novel tidak
bisa-bisa.
Kecol
menenangkan jiwa Suntoyo supaya tidak usah mikirin novelnya itu untuk saat yang
genting ini. Saat ini nggak cukup waktu buat kabur dari peternakan keluar kota
bawa duit pak Tongkir lalu duit tersebut buat nikah. Mereka udah di pesan dan
nggak mungkin mereka bisa kabur. Semua telah terkunci. Inilah kiamat bagi
mereka.
“Ini mimpi kan ? ini mimpi kan ? nggk mungkin ge
jadi ayam fresto atau ayam penyet. Itu pasti sakit” Suntoyo gertutu, ia seperti
bukan Suntoyo yang diam dan gak suka gaul.
“Gue juga minta maaf ke elu Sun, waktu itu gue
pernah ngisengin elu. Pas elu lagi minum, waktu itu wadah yang buat minum elu
itu gue lempar ke muka elu. Yang tiba-tiba nggak gue sangka malah ketelen ke
tenggorokkan elu.” Lanjut Tarkim “Maaf ya”
“Gue juga minta maaf coy,waktu elu lagi tidur, nggak
sengaja gue ngelempar novel yang beratnya 12 kg ke kepala elu. Tapi elu nggak
gagar otak kan ?”
“Ngg---” Suara Tarkim tersendat ketika melihat ibu
tua sudah datang.
“Dia datang !!! kabur sekarang, kabur sekarang”
suasana ricuh ruwet nggak beraturan, semua ayam berlarian takut menjadi korban selanjutnya.
Dengan gesit tangan bodyguard ibu tua itu menggenggam leher masing-masing. Rasanya ingin
mati saja kalo udah dicekek begini. Mereka satu persatu ditaro didalam kandang.
Lalu mereka dibawa ke tempat yang asing bagi mereka. Iya, itu tempat pemotongan
ayam.
“Wihh… ayamnya udah pada nggak ada bulunya” ujar
Petoy nggak ngerti apa-apa.
“AAAAAAA….” Teriakkan mereka tidak cukup ampuh
membantu mereka supaya tidak jadi digodok dan dikulitkan.
Setelah air mendidih, asap juga sudah mulai mengepul
dari dalam drum. Mereka pun satu per satu dimasukkan kedalam tong. Perjalanan
kematian mereka masih panjang. Umur mereka jadi seekor ayam masih agak lama.
Dua harian lagi sebelum akhirnya tiba kerestoran.
Mereka pun sekarang hidup bahagia sentosa tanpa
gangguan apapun. Kematian mereka pun juga sama. Jadi, sepiring porsi ayam
penyet. Andaikan mereka masih sadar dan sempet hidup sebentar, pasti mereka
akan mengubah nama Genk mereka sebagai ANYET (Ayam Penyet).
Ini penampakkan terakhir ketika mereka masih bisa
disebut seekor ayam….
Semoga mereka indah pada waktunya dan enak, gurih ketika disantap....
0 komentar:
Posting Komentar