123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Jumat, 08 Januari 2016

Sekilas Ungkapan Sepi



Bukan salahnya tidak mengungkapkan. Namun, kitanya saja yang tak mau bersabar untuk menikmati panjangnya jalan yang akan membawa kita ketempat yang indah disana.

Akhir-akhir ini gue jadi sering nongkrong di kafe yang menyediakan beragam susu aneka rasa. Mulai dari susu yang benar-benar murni sampai susu yang di mix dengan minuman bertenaga. Setelah minum susu yang bertenaga rasanya tubuh dirasuki ribuan tenaga kuda. Wow sekaleh. Bukan hanya susu yang mereka gembor-gemborkan dan menjadi tema kafe. Bermacam variasi kudapan yang mereka suguhkan tak kalah gokil dan nikmat. Jangan ragu, karena lidah kita akan dimanjakan dengan roti bakar, pisang bakar, sosis bakar, dan masih banyak lagi yang nggak mungkin gue sebutin, mau aja sih gue nyebutinnya tapi gue dapet apaan nih kalo nyebutin semuanya ? hahaha
Gue datang bersama beberapa teman. Biasanya kami datang pukul sepuluh malam. Kafe ini tutup jam 12 malam, namun faktanya sampai jam satu pagi orang-orang masih asik menikmati kafe ini. Memang bukan kafenya yang menarik atau desain interior dan eksteriornya yang membuat orang-orang betah untuk menempelkan pantatnya di kafe ini. Melainkan, hidangan non makanan dari kafe ini berikan kepada pelanggan yang memaksa gadget dan hati tak mau berpisah. Yap, kafe ini secara cuma-cuma menyuguhkan kami dengan wifi-nya yang super kencang. Sekencang tali BHnya Nikita Mirzani yang kuat menahan teteknya sehingga menjadi pengap. Sumpeh, nggak tahu bagaimana ceritanya kafe ini bisa punya wifi  sekencang ini. Mungkin  motor rossi masih kalah jauh dari kencangnya jaringan yang di miliki kafe susu ini. Meski puluhan bahkan ratusan orang mengaktifkan fitur wifi-nya. Nggak pernah sinyal berubah lemot malahan terus menerus menguat.
Gue duduk di area lesehan. Kafe ini menyediakan dua opsi tempat duduk. Ada lesehan yang ditempatkan di dalam kafe dan disediakan juga bangku kayu panjang yang bisa di tempati dua atau tiga pantat diluar kafe. Kafe ini berada dipinggir jalan, memudahkan menarik pelanggan yang sedang berada di jalan raya.
Melihat kedatangan kami dan duduk di salah satu meja yang kosong. Salah satu mas-mas datang ke meja kami.
“Selamat datang di susu murni uuuweiidan tenan” ujar pelayan tersebut dengan nada kental dengan aksen jawa.
Mas-mas pelayan itu berbalut kemeja hitam berpadu garis orange di kerah dan bagian kancing, serta gambar sapi di bagian dada kiri. Karena mas-mas pelayan ini badannya bongsor dan dadanya cukup besar untuk di grepek, membuat sapi yang bertengger disana terlihat seperti sapi glonggongan. Gendut-gendut gembrot. Ia memberikan bill dan daftar menu. Setelah memilih susu dan makanan yang sudah kami tulis di bill. Gue secepat kilat mengeluarkan laptop dari dalam tas, mencari colokan untuk mengisi baterai laptop yang sudah 1%, dan meletakkan fan coller dibawah laptop supaya menjaga laptop tetap dalam keadaan dingin saat digunakan.
Meyakinkan bahwa wifi sudah tersambung kedalam laptop, barulah gue berselancar didunia maya. Mengunjungi berbagai link yang menyediakan dengan gratis film dan lagu. Gue menikmati gratisnya layanan internet sambil mengudap roti bakar keju dan susu yang dicampur dengan ekstrajoss.
Berada di dunia maya memang melupakan sejenak perputaran jarum jam di dunia nyata. Sampai-sampai tidak terasa kafe susu ini hanya menyisakan kami dan satu orang cowok yang sepertinya sedang mengerjakan tugas kampus. Tatapannya begitu serius mengarah ke layar. Wajahnya bersinar tersorot sinar laptop. Tangannya begitu lincah mengetik satu persatu huruf di keyboard. Gue sudah merapihkan laptop. Teman-teman masih sibuk bermain game barunya di hape. Kami keluar dari dalam kafe, meminta bill lalu membayarnya di kasir kemudian kami duduk di luar kafe. Cowok yang tadi mengerjakan tugas masih ngebut mengetik, gue berpikir kalo dia ini adalah orang yang punya kafe. Alih-alih mengira dialah owner kafe, ketika satu per satu lampu kafe dimatikan ia langsung menutup laptopnya. Kepalanya menggeleng kecewa. Wajahnya melukiskan kegelisahan. Ah, ternyata dia bukan pemilik kafe dan gue yakin tugasnya belom kelar. Dasar lo penikmat wifi gratis! Sama kayak gue.
Kami duduk di depan kafe. Pelayannya pulang setelah menggembok rolling door. Gue mengambil satu batang rokok dari dalam bungkus lalu membakar dan menghisapnya. Menghembuskan kepulan asap ke dinginnya malam. Lalu kami menyalakan motor dan pergi dari kafe. Ditengah jalan yang sepi gue menikmati hempasan angin yang menerpa wajah. Berharap angin itu tidak merusak wajah gue yang telah kacau balau tata letaknya ini. Ditambah setiap hisapan rokok yang sedikit menenangkan jiwa meski asap yang keluar tidak setebal ketika duduk didepan kafe tadi.
Kami berpisah ditengah jalan. Menyisakan gue sendirian. Gue menatap lurus jalan raya sesekali menengok spion, jaga-jaga ada orang berbahaya atau kuntilanak yang nebeng sampai kuburan. Diantara tarikan gas yang gue genggam, dan hujan sinar lampu kuning jalan, tiba-tiba gue melamun. Sial, lagi-lagi keadaan ini membawa gue ke ruang hampa yang isinya hanya kegagalan.
Ternyata untuk mendapatkan cinta yang kita impikan perlu menikmati jalan panjang yang bernama proses
Proses percintaan gue datar-datar aja. Nggak ada yang special. Gue pernah mencoba untuk memberikan yang special, tapi hasilnya nihil. Hanya kecewa sebagai hadiahnya. Meski senyum dari dia tersungging, itu nggak menjamin kalau sayatan hati ini membaik.
Gue pengin sekali menjadi sebuah kafe. Menyuguhkan menu makanan dan minuman yang gue punya, meski bertajuk free wifi, setidaknya kita tetap perlu membeli salah satu kudapan. Seperti halnya gue, gue punya rasa sayang, perhatian, dan peduli untuk dia yang gue inginkan. Gue memberikannya secara gratis, tapi tidak mutlak gratis. Harus ada yang ia ambil dari gue. Yaitu, hati. Sedihnya disitu, hati gue nggak pernah diambilnya. Malah didiamkan begitu saja tergeletak hingga kotor diterpa becekan kubangan air jalan.
Jelas tertera di kafe itu, buka 12.00-00.00. Namun banyak pelanggaran yang dilakukan sampai harus jam 1 pagi baru tutup. Begitulah cinta bergulir. Sampai 24 jam penuh pun ia tetap tak mau singgah bahkan sekedar menikmati nyamannya hidup bersama gue. Dia justru pergi untuk memilih hati lain yang ia anggap lebih baik.
Gue melirik jam tangan. Pukul 00.36. Udara malam semakin menusuk menembus sweeter. Angin membelai rambut gue sampai acak-acakan. Poni gue berkibar, memberontak di dahi hingga menimbulkan geli-geli dimata. Gue tersadar dari lamunan. Lebih berkonsentrasi kearah depan. Melirik sekali lagi ke kaca spion. Aman.
Jalan sepi. Hati gue sepi. Jalan kosong. Hati gue kosong. Lampu jalan mulai redup. Semangat gue redup. Gue berhenti sejenak dipinggir jalan, menatap bulan yang membelah malam. Melirik kerlingan bintang yang bertaburan seperti butiran mesis diatas donat. Senyum merekah di wajah gue. Tak lama gojek lewat tanpa membawa penumpang, truk tronton menyusul, beberapa anak motor lewat dengan rapih beriringan. Gue menghela napas panjang, menghirup udara dingin ini. Memejamkan mata lalu membukanya. Kemudian gue menarik gas secepat mungkin meluncur ke rumah.
Sepi bukanlah fenomena yang abadi. Kalau ingin merasakan yang abadi, pegang tangan ini dan jangan ragu menerimaku. Bolehkah aku bersandar dihatimu hingga kekosongan ini menjadi keramaian yang indah ?

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone