123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Jumat, 08 Januari 2016

Siulan Harmonikamu


Langkah kaki dengan pasti menapaki jalan setapak di sisi taman. Sepasang kaki itu berjalan menuju bangku taman berwarna putih. Jita, cewek manis berambut pendek dengan poni yang menjadi tirai di dahinya. Mendaratkan pantatnya di sebuah bangku. Sambil menikmati lagu Endah n Rhesa yang berjudul Liburan Indie yang didengarnya via earphone sambil membaca rangkaian kata yang terangkai indah di dalam sebuah novel. Sejenak ia menengadahkan kepalanya berpaling dari lembar halaman 102 di novelnya tuk sekedar melihat keadaan taman. Sore jam 4, dipenuhi anak-anak kecil yang bermain bola, bermain jungkat-jungkit, petak jongkok, petak umpet, ayunan, sampai bermain ular naga. Jita tersenyum oleh ingatannya yang langsung melambung jauh kearah masa kanak-kanaknya yang penuh dengan keriangan tawa.
Tatapannya kembali lagi ke lembaran novel. Ia membaca kalimat yang terangkai dilembaran itu. Membaliknya dan sedetik melirik kearah pohon ceri yang berdiri gagah tepat dihadapannya sekitar 10 meter dari tempatnya duduk. Belum sempat kembali menatap lembaran novelnya, ia menutup novel itu lalu tatapannya tak rela pergi dari pohon ceri yang ia pandang. Jita melepas earphone yang ia kenakan, mendengarkan alunan merdu suara yang keluar dari alat musik tiup di seberang sana. Indah, nyaman, sejuk, dan lembut. Lantunan satu per satu nada yang terlantun dari harmonika diatonik itu membuatnya seperti berada di bawah pohon rimbun yang sejuk.
“Keren” ujarnya kagum, sambil memangku dagunya dengan telapak tangan ia menatapi cowok gondrong sebahu itu duduk bersandar dibatang pohon ceri dengan sangat khusuk meniup dan menghisap lubang-lubang kecil di harmonikanya.
Jita begitu kagum melihat cowok itu. Senyumnya tak redup saat cowok itu memainkan harmonikanya. Teriakan anak kecil, tangisan balita jatuh tersandung batu, dan suara klakson mobil saat lampu merah terdengar senyap ditelinganya. Hanya suara sejuk dari harmonika cowok gondrong itu yang terdengar di gendang telinganya. Ini seperti memanjakan gendang telinganya yang sering disuguhkan lagu-lagu pop, jazz, rock, dan dangdut. Bukan main permainan harmonika yang tunjukkan cowok itu. Jita sampai-sampai ingin menyewanya sebagai guru musiknya.
Cowok itu melepaskan harmonikanya dari gandengan mulutnya. Cowok itu menyeka keringat yang banjir di dahinya. Hari ini sangat terik. Dari kejauhan Jita ingin sekali mengusap dahi cowok itu dengan tisu yang ia belinya tadi di kantin kampus. Namun sayang, keinginannya harus terbendung karena cowok itu pergi meninggalkan taman dengan menyisakan bekas pantat diatas tanah. Jita melihat punggung tegap cowok itu sambil tersenyum mesam. Ingin sekali ia berkenalan dengan cowok itu. Cowok misterius yang ahli memainkan udara menjadi satu rangkaian melodi yang indah. Punggung cowok itu menghilang ketika ia berbelok kearah gang. Jita menghela napas penuh sesal. Besok! Besok ia harus kenalan. Tidak peduli dirinya cewek. Cinta nggak memandang siapa yang lebih dulu, kalau cinta ya, ungkapkan. Bukan dipendam. Tapi Jita belum yakin kalau ini benar-benar cinta, mungkin ini hanya sekedar mengagumi. Yap, ini hanya mengaggumi. Jadi, Jita tak perlu repot-repot mengingikannya menjadi yang lebih untuk singgah dihatinya.
--------------
Sore ini Jita sengaja datang ke taman tepat saat kemarin ia melihat cowok yang memainkan harmonika dengan indah dibawah rindangnya pohon ceri. Ia menunggu di bangku yang letaknya lebih dekat dari pohon ceri. Hati Jita penuh harap menunggu cowok itu memainkan harmonikanya. Tiga puluh menit ia tidak menemukan sosok cowok yang ia tunggu. Penuh pertanyaan dimana dia ? dalam otak Jita. Jangan-jangan hari ini dia tidak kesini. Ia Berdiri dari bangku menelusuri pandangannya kesetiap sudut taman. Pencariannya berhenti ketika melihat cowok itu berjalan melewati anak-anak kecil. Mengenakan switer abu-abu, celana jeans, rambut gondrong yang menutupi sebagian matanya, ia berjalan menunduk dan menenggelamkan kedua tangannya didalam kantung switer yang berada di perut. Jita cepat-cepat merogoh tas ranselnya menyergap novel, pura-pura baca. Ia menutupi wajahnya dengan novel, menurunkan novel perlahan lalu melirik cowok itu yang sudah duduk bersandar di pohon. Jita tersenyum senang. Yes, ayo lantunkan harmonikanya.
Dibalik novel Jita tenggelam ke dasar melodi indah. Tiupan lembut dari mulut cowok itu dengan rapih menyatukan dan menerpa desir angin yang bising. Nyaman. Jita sampai memejamkan matanya menikmati rangakaian melodi yang cowok itu ciptakan. Angin topan sepertinya iri dengan angin yang keluar dari sela-sela lubang harmonika itu. Tak sadar kaki-kaki Jita menghentak-hentakkan rumput taman, saking merdunya melodi itu Jita benar-benar terbelunggu dengan cara hipnotis lewat harmonika ini. Jita terlelap, angin-angin taman menambah kesejukan sore.
PRAK! Buku Jita terjatuh. Suara harmonika yang dilantunkan cowok itu berhenti. Hening. Jita melongo menatap cowok itu yang berhenti memainkan harmonika, cowok itu pun menoleh kearah Jita lalu tersenyum ramah. Jita membalas senyuman itu penuh malu, wajahnya merah. Lalu ia mengambil novel yang jatuh dan memasukannya ke dalam ransel.
Cowok itu memainkan harmonikanya lagi. Ia memainkannya penuh dengan penghayatan. Disetiap tiupannya mengandung banyak arti. Meski Jita tak mengerti musik blues yang dimainkan oleh cowok itu, setidaknya melodi dan suara yang terdengar cukup menyejukkan telinganya. Ditengah cowok itu memainkan harmonika tiba-tiba terdengar suara gedebuk keras. Wajah cowok itu terkena sepakan bola anak-anak SMP yang sedang bermain di lapangan futsal. Harmonika yang ia mainkan terlepas dari genggaman mulut dan tangannya, melayang jauh ke jalanan. Dari arah selatan meluncur sebuah truk hijau bermuatan pasir melintas. Gemeretak keras terdengar. Harmonika cowok itu hancur berkeping-keping menjadi serpihan puzzle yang berantakan.
Jita melongo dengan mata nyalang melihat harmonika yang dua hari ini memanjakan telinganya berubah menjadi  kepingan puzzle yang tak berarti.
Cowok itu beranjak dari duduknya. Berlari menyelamatkan harmonikanya yang telah hancur. Ia susun komponen-komponen yang menyatukan harmonika itu, tapi tak ada yang berubah. Ia tidak bisa memberbaiki harmonika kesayangannya. Harmonika itu tetap hancur.Wajahnya redup dipenuhi kekecewaan. Ia tidak marah kepada sang penendang bola. Ia justru tersenyum dan mengusap kepala anak smp yang menendangnya. Bibir cowok itu mengalir darah segar. Menyadari bibirnya terluka, ia segera meninggalkan taman. Begitu parahnya tendangan yang dihempaskan ke wajahnya. Jita ingin sekali menghampiri cowok itu, tapi rasa malu masih menyeruak didalam tubuhnya. Hatinya mendorong dirinya untuk membantu cowok itu tapi raganya masih tertahan oleh rasa takut. Entah takut apa ? Padahal cowok itu sama sekali bukan cowok yang kasar atau keras.
Remukan harmonika yang hancur ia masukan kedalam kantung celana. Lalu ia pergi meninggalkan Jita yang masih gelisah dibangku taman.
----------------------
Napas tersengal-sengal tak beraturan ketika Jita tiba di taman. Ia melirik jam, sudah setengah enam sore. Sebentar lagi langit gelap. Jita tergesah-gesah mencari orang yang ia kagumi. Lebih tepatnya yang ia cintai meski hanya lewat lantunan suara harmonika, rasa cinta itu merambat dengan cepat kehatinya dan membentuk cinta yang kuat. Aneh memang, tapi itu kenyataannya. Jita berdiri di atas bangku, tidak memperdulikan larangan yang tertulis “Dilarang Berdiri di Atas Bangku” matanya seperti lensa dslr dengan ditambah lensa tele supaya lebih mendapatkan objek dengan jarak yang jauh. Tak ada. Taman perlahan mulai sepi, langit senja menunjukkan jingganya disudut barat. Ia melompat dari bangku setelah menyadari bahwa cowok yang ia cari sedang duduk dipinggiran rooftop gedung parkiran yang letak gedung tersebut berada dipinggir taman. Cowok itu dengan santai menikmati alunan alami angin yang berhembus ke wajahnya sambil mengayunkan kedua kakinya ia memandang lurus kearah tenggelamnya matahari.
Tibanya di rooftop, Jita dengan hati-hati mendekati cowok itu. Sampai Jita berada di belakang punggung cowok harmonika itu, ia sama sekali tidak disadari kedatangannya. Perlahan-lahan ia duduk disamping cowok itu. Jita menggeser duduknya beberapa inci. Menyadari ada orang disampingnya, cowok itu melirik kearah Jita terperangah. Terkejut lalu tersenyum ramah. Jita membalasnya dengan senyuman manisnya. Dalam hati Jita meragu sambil menghitung kancing kemejanya, ngomong nggak ya ? ngomong nggak ya ? ngomong nggak ya ?
Ngomong ! Harus ngomong!
“Kamu ngapain disini ?” tanya Jita tidak berani menatap cowok itu.
Cowok itu hanya diam menatap matahari yang hendak berlahan mulai tertidur.
“Kamu ngapain disini ?” Jita tanya sekali lagi. Ia tak di gubris oleh cowok itu. Lalu ia mencolek bahu cowok itu dengan jari telunjuknya. Cowok itu menoleh kearah Jita dengan tatapan penuh bingung “Kamu ngapain disini ?” tanya Jita.
Cowok itu menggaruk kepalanya. Lalu menggerakkan tangannya layaknya pengguna bahasa isyarat.
Jita mengernyitkan dahi “Maksudnya ?”
Cowok itu menggerakkan pergelangan tanganya dengan lincah. Jarinya dimainkan seperti sedang menari-nari membuat Jita ingin pingsan karena tak mengerti.
Jita lalu merogoh ranselnya. Mengambil binder dan pulpen lalu menuliskannya di lembar kosong.

“Kamu sedang apa ?” tanya Jita lewat tulisan di atas lembar kosong bindernya.
“Menikmati udara sejuk. Maafkan aku tidak bisa mendengarmu. Aku tunarungu”
Ketika menerima kembali binder yang telah ditulis oleh cowok  itu, Jita tercekat. Seperti ada yang menusuk hatinya dengan jarum tajam penuh pertanyaan. Bagaimana bisa seorang tuna rungu memainkan harmonika sebagus itu ?
“Tidak apa-apa, itu sebagian kelebihan kamu yang tidak aku miliki. Kenapa kamu tidak bermain harmonika ?” tanya Jita pura-pura tidak tahu kalau harmonika kesayangan cowok itu telah rusak.
“Perlu satu hari untukku berpisah dengan barang yang satu itu”
“Kenapa berpisah ?”
“Sepertinya dia perlu istirahat untuk menepi sebentar”
“Padahal kamu jago loh main harmonikanya. Keren abissss deh J
“Aku tidak sejago itu. Itu standar, kamu juga bisa memainkan seperti yang aku lakukan”
“Ihh..kamu batu ya. Oh iya bolehkah aku mengetahui namamu ?”
“Falen, namamu ?”
“Jelita Dwi Melody”
Falen tersenyum ketika mengetahui nama Jita lalu membalas lembaran kertasnya lagi.
“Nama yang indah. Pantas untuk wanita sepertimu ”
“Terimakasih. Apakah kamu tidak ingin bermain harmonika ?”
“Untuk saat ini belum”
Falen memberikan binder ke Jita menatap manis wajah Jita dengan penuh kasih lalu menoleh ke arah matahari yang beberapa menit lagi akan menghilang. Hatinya penuh gemuruh, pertanyaan yang ia jawab adalah kebohongan hatinya. Dalam kejujuran hatinya ia sangatlah ingin memainkan alat musik kesayangannya itu.
“Kenapa ? bagaimana kamu bisa tahu bahwa kamu belum mau memainkannya lagi ?”
“Entahlah”
“Kenapa ?!” Jita menubrukkan ujung binder itu ke Falen, matanya nyalang memaksa Falen untuk menjawab pertanyaannya.
“Harmonikaku rusak. Aku tak bisa memperbaikinya lagi. Padahal cuma itu bentuk pertemananku. Dengan harmonika itu aku merasa lebih tenang dan merasa tidak sendiri. Selama ini aku hidup sendiri dan tak ada orang yang bisa menerimaku, kecuali teman-teman sependeritaan sepertiku ini”
Jita menahan haru dibenaknya ketika membaca kalimat dari Falen.
“Kamu sekarang tidak sendiri kok. Ada aku disini. Dan mohon maaf sebelumnya untuk pertanyaan ini, bagaimana kamu bisa memainkan harmonika sebagus itu padahal kamu tidak bisa mendengarnya ?”
Falen menghadap Jita, menunjuk dadanya dengan telunjuknya sambil tersenyum“Dengan hati. Aku mampu merasakan lantunan yang kurangkai dengan harmonikaku. Tidak perlu dengan indera pendengaran, aku bisa mendengarnya dengan hati ini. Aku belajar dari Bethoveen, meski tuli ia masih bisa menjadi seorang musisi”
“Kamu memang beda dari yang lain. Aku kagum denganmu, Falen”
“Terima kasih telah menjadi pengagumku J. Baru kali ini seseorang yang menganggap diriku ada. Sebelumnya mereka hanya mencelaku sebagai pendengar yang buruk. Terimakasih sekali lagi.”
“Aku akan menjadi pengagummu untuk selamanya jika kamu mau memberikanku lantunan indah harmonikamu, bagaimana ? apakah kau setuju ?”
“Kan harmonikaku rusak”
Jita menarik tangan kanan Falen, meletakkan harmonika diatonik dan selembar kertas post-it yang bertuliskan ”Mainkan untukku, atau akan ku lempar harmonika ini ke kepalamu!” di telapak tangannya.
Falen tertawa melihat ini. Lalu sorot matanya jelas dengan lembut menatap mata bulat di wajah Jita. Jita lalu menyerahkan bindernya ke Falen.
“Buruan mainin! Jangan dilihatin aja heh!! ” ujarnya diatas kertas kosong dengan memperagakan gestur marah di hadapan Falen. Tangannya dilipat didepan dada dan wajahnya sarat amarah tapi wajah Jita justru lebih terlihat imut ketika marah. Itulah pandangan Falen terhadap Jita.
Falen memutar-mutar harmonika barunya. Ia pandangi sepuluh lubang yang terletak disana. Ia tersenyum senang. Lesung pipinya tak terhindari ketika senyum itu merekah penuh kebahagiaan. Lalu Falen menanggkupkan harmonika barunya itu ditelapak tangannya. Lalu ditempelkannya sepuluh lubang harmonika di ujung bibirnya. Suara merdu nan indah keluar perlahan dari lubang-lubang harmonikanya. Sepuluh lubang itu menjadi pintu awal keindahan melodi yang tercipta dari bibir sang pencipta harmoni. Jita menikmati lantunan melodi harmonika yang dimainkan oleh Falen. Jita menggoyangkan ke kiri kanan kepalanya riang sambil mengayun-ayunkan kaki di pinggiran rooftop gedung. Falen begitu menghayati permainan harmonikanya sampai memejamkan mata. Sesekali Jita melirik wajah Falen yang terpejam sambil menikmati permainan harmonikanya. Ia tersenyum lalu mengambil binder yang berada di samping Falen kemudian menuliskan sesuatu yang akan diberikannya kepada Falen setelah Falen selesai bermain.
“Lantunan angin merdu yang keluar dari sela-sela lubang harmonikamu ini membuat kesunyianku yang tak terdengar berubah sedemikian rupa menjadi rasa sayang yang sejuk dan indah”

Jita menengadahkan kepalanya. Melihat senja yang iri dengan lantunan angin-angin merdu yang dibuat oleh Falen. Bukan hanya senja yang iri, dia yakin angin malam, angin fajar, bulan, bintang, hingga matahari akan cemburu mendengar suara merdu harmonika yang dimainkan Falen. Buktinya jelas, senja kini pergi berlari menjauhi Jita dan Falen ditengah merdunya iringan melodi yang keluar dari harmonikanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone