Siulan Harmonikamu
Langkah kaki dengan
pasti menapaki jalan setapak di sisi taman. Sepasang kaki itu berjalan menuju bangku
taman berwarna putih. Jita, cewek manis berambut pendek dengan poni yang
menjadi tirai di dahinya. Mendaratkan pantatnya di sebuah bangku. Sambil
menikmati lagu Endah n Rhesa yang berjudul Liburan Indie yang didengarnya via earphone sambil membaca rangkaian kata
yang terangkai indah di dalam sebuah novel. Sejenak ia menengadahkan kepalanya
berpaling dari lembar halaman 102 di novelnya tuk sekedar melihat keadaan taman.
Sore jam 4, dipenuhi anak-anak kecil yang bermain bola, bermain
jungkat-jungkit, petak jongkok, petak umpet, ayunan, sampai bermain ular naga.
Jita tersenyum oleh ingatannya yang langsung melambung jauh kearah masa kanak-kanaknya
yang penuh dengan keriangan tawa.
Tatapannya kembali lagi
ke lembaran novel. Ia membaca kalimat yang terangkai dilembaran itu.
Membaliknya dan sedetik melirik kearah pohon ceri yang berdiri gagah tepat dihadapannya
sekitar 10 meter dari tempatnya duduk. Belum sempat kembali menatap lembaran
novelnya, ia menutup novel itu lalu tatapannya tak rela pergi dari pohon ceri
yang ia pandang. Jita melepas earphone
yang ia kenakan, mendengarkan alunan merdu suara yang keluar dari alat musik
tiup di seberang sana. Indah, nyaman, sejuk, dan lembut. Lantunan satu per satu
nada yang terlantun dari harmonika diatonik itu membuatnya seperti berada di
bawah pohon rimbun yang sejuk.
“Keren” ujarnya kagum,
sambil memangku dagunya dengan telapak tangan ia menatapi cowok gondrong sebahu
itu duduk bersandar dibatang pohon ceri dengan sangat khusuk meniup dan
menghisap lubang-lubang kecil di harmonikanya.
Jita begitu kagum
melihat cowok itu. Senyumnya tak redup saat cowok itu memainkan harmonikanya.
Teriakan anak kecil, tangisan balita jatuh tersandung batu, dan suara klakson
mobil saat lampu merah terdengar senyap ditelinganya. Hanya suara sejuk dari
harmonika cowok gondrong itu yang terdengar di gendang telinganya. Ini seperti
memanjakan gendang telinganya yang sering disuguhkan lagu-lagu pop, jazz, rock,
dan dangdut. Bukan main permainan harmonika yang tunjukkan cowok itu. Jita
sampai-sampai ingin menyewanya sebagai guru musiknya.
Cowok itu melepaskan
harmonikanya dari gandengan mulutnya. Cowok itu menyeka keringat yang banjir di
dahinya. Hari ini sangat terik. Dari kejauhan Jita ingin sekali mengusap dahi
cowok itu dengan tisu yang ia belinya tadi di kantin kampus. Namun sayang, keinginannya
harus terbendung karena cowok itu pergi meninggalkan taman dengan menyisakan
bekas pantat diatas tanah. Jita melihat punggung tegap cowok itu sambil
tersenyum mesam. Ingin sekali ia berkenalan dengan cowok itu. Cowok misterius
yang ahli memainkan udara menjadi satu rangkaian melodi yang indah. Punggung
cowok itu menghilang ketika ia berbelok kearah gang. Jita menghela napas penuh
sesal. Besok! Besok ia harus kenalan. Tidak peduli dirinya cewek. Cinta nggak
memandang siapa yang lebih dulu, kalau cinta ya, ungkapkan. Bukan dipendam.
Tapi Jita belum yakin kalau ini benar-benar cinta, mungkin ini hanya sekedar
mengagumi. Yap, ini hanya mengaggumi. Jadi, Jita tak perlu repot-repot mengingikannya
menjadi yang lebih untuk singgah dihatinya.
--------------
Sore ini Jita sengaja
datang ke taman tepat saat kemarin ia melihat cowok yang memainkan harmonika
dengan indah dibawah rindangnya pohon ceri. Ia menunggu di bangku yang letaknya
lebih dekat dari pohon ceri. Hati Jita penuh harap menunggu cowok itu memainkan
harmonikanya. Tiga puluh menit ia tidak menemukan sosok cowok yang ia tunggu.
Penuh pertanyaan dimana dia ? dalam otak Jita. Jangan-jangan hari ini dia tidak
kesini. Ia Berdiri dari bangku menelusuri pandangannya kesetiap sudut taman. Pencariannya
berhenti ketika melihat cowok itu berjalan melewati anak-anak kecil. Mengenakan
switer abu-abu, celana jeans, rambut gondrong yang menutupi sebagian matanya,
ia berjalan menunduk dan menenggelamkan kedua tangannya didalam kantung switer
yang berada di perut. Jita cepat-cepat merogoh tas ranselnya menyergap novel,
pura-pura baca. Ia menutupi wajahnya dengan novel, menurunkan novel perlahan
lalu melirik cowok itu yang sudah duduk bersandar di pohon. Jita tersenyum
senang. Yes, ayo lantunkan harmonikanya.
Dibalik novel Jita tenggelam
ke dasar melodi indah. Tiupan lembut dari mulut cowok itu dengan rapih
menyatukan dan menerpa desir angin yang bising. Nyaman. Jita sampai memejamkan
matanya menikmati rangakaian melodi yang cowok itu ciptakan. Angin topan
sepertinya iri dengan angin yang keluar dari sela-sela lubang harmonika itu.
Tak sadar kaki-kaki Jita menghentak-hentakkan rumput taman, saking merdunya
melodi itu Jita benar-benar terbelunggu dengan cara hipnotis lewat harmonika
ini. Jita terlelap, angin-angin taman menambah kesejukan sore.
PRAK!
Buku
Jita terjatuh. Suara harmonika yang dilantunkan cowok itu berhenti. Hening.
Jita melongo menatap cowok itu yang berhenti memainkan harmonika, cowok itu pun
menoleh kearah Jita lalu tersenyum ramah. Jita membalas senyuman itu penuh
malu, wajahnya merah. Lalu ia mengambil novel yang jatuh dan memasukannya ke
dalam ransel.
Cowok itu memainkan harmonikanya
lagi. Ia memainkannya penuh dengan penghayatan. Disetiap tiupannya mengandung
banyak arti. Meski Jita tak mengerti musik blues
yang dimainkan oleh cowok itu, setidaknya melodi dan suara yang terdengar cukup
menyejukkan telinganya. Ditengah cowok itu memainkan harmonika tiba-tiba
terdengar suara gedebuk keras. Wajah cowok itu terkena sepakan bola anak-anak SMP
yang sedang bermain di lapangan futsal. Harmonika yang ia mainkan terlepas dari
genggaman mulut dan tangannya, melayang jauh ke jalanan. Dari arah selatan
meluncur sebuah truk hijau bermuatan pasir melintas. Gemeretak keras terdengar.
Harmonika cowok itu hancur berkeping-keping menjadi serpihan puzzle yang
berantakan.
Jita melongo dengan
mata nyalang melihat harmonika yang dua hari ini memanjakan telinganya berubah
menjadi kepingan puzzle yang tak
berarti.
Cowok itu beranjak dari
duduknya. Berlari menyelamatkan harmonikanya yang telah hancur. Ia susun
komponen-komponen yang menyatukan harmonika itu, tapi tak ada yang berubah. Ia
tidak bisa memberbaiki harmonika kesayangannya. Harmonika itu tetap
hancur.Wajahnya redup dipenuhi kekecewaan. Ia tidak marah kepada sang penendang
bola. Ia justru tersenyum dan mengusap kepala anak smp yang menendangnya. Bibir
cowok itu mengalir darah segar. Menyadari bibirnya terluka, ia segera
meninggalkan taman. Begitu parahnya tendangan yang dihempaskan ke wajahnya.
Jita ingin sekali menghampiri cowok itu, tapi rasa malu masih menyeruak didalam
tubuhnya. Hatinya mendorong dirinya untuk membantu cowok itu tapi raganya masih
tertahan oleh rasa takut. Entah takut apa ? Padahal cowok itu sama sekali bukan
cowok yang kasar atau keras.
Remukan harmonika yang
hancur ia masukan kedalam kantung celana. Lalu ia pergi meninggalkan Jita yang
masih gelisah dibangku taman.
----------------------
Napas tersengal-sengal
tak beraturan ketika Jita tiba di taman. Ia melirik jam, sudah setengah enam
sore. Sebentar lagi langit gelap. Jita tergesah-gesah mencari orang yang ia
kagumi. Lebih tepatnya yang ia cintai meski hanya lewat lantunan suara harmonika,
rasa cinta itu merambat dengan cepat kehatinya dan membentuk cinta yang kuat.
Aneh memang, tapi itu kenyataannya. Jita berdiri di atas bangku, tidak
memperdulikan larangan yang tertulis “Dilarang Berdiri di Atas Bangku” matanya
seperti lensa dslr dengan ditambah lensa tele supaya lebih mendapatkan objek dengan
jarak yang jauh. Tak ada. Taman perlahan mulai sepi, langit senja menunjukkan
jingganya disudut barat. Ia melompat dari bangku setelah menyadari bahwa cowok
yang ia cari sedang duduk dipinggiran rooftop
gedung parkiran yang letak gedung tersebut berada dipinggir taman. Cowok itu
dengan santai menikmati alunan alami angin yang berhembus ke wajahnya sambil
mengayunkan kedua kakinya ia memandang lurus kearah tenggelamnya matahari.
Tibanya di rooftop, Jita dengan hati-hati mendekati
cowok itu. Sampai Jita berada di belakang punggung cowok harmonika itu, ia sama
sekali tidak disadari kedatangannya. Perlahan-lahan ia duduk disamping cowok
itu. Jita menggeser duduknya beberapa inci. Menyadari ada orang disampingnya,
cowok itu melirik kearah Jita terperangah. Terkejut lalu tersenyum ramah. Jita
membalasnya dengan senyuman manisnya. Dalam hati Jita meragu sambil menghitung
kancing kemejanya, ngomong nggak ya ? ngomong nggak ya ? ngomong nggak ya ?
Ngomong ! Harus
ngomong!
“Kamu ngapain disini ?”
tanya Jita tidak berani menatap cowok itu.
Cowok itu hanya diam
menatap matahari yang hendak berlahan mulai tertidur.
“Kamu ngapain disini ?”
Jita tanya sekali lagi. Ia tak di gubris oleh cowok itu. Lalu ia mencolek bahu
cowok itu dengan jari telunjuknya. Cowok itu menoleh kearah Jita dengan tatapan
penuh bingung “Kamu ngapain disini ?” tanya Jita.
Cowok itu menggaruk
kepalanya. Lalu menggerakkan tangannya layaknya pengguna bahasa isyarat.
Jita mengernyitkan dahi
“Maksudnya ?”
Cowok itu menggerakkan pergelangan
tanganya dengan lincah. Jarinya dimainkan seperti sedang menari-nari membuat
Jita ingin pingsan karena tak mengerti.
Jita lalu merogoh
ranselnya. Mengambil binder dan pulpen lalu menuliskannya di lembar kosong.
“Kamu
sedang apa ?” tanya Jita lewat tulisan di atas lembar
kosong bindernya.
“Menikmati
udara sejuk. Maafkan aku tidak bisa mendengarmu. Aku tunarungu”
Ketika menerima kembali
binder yang telah ditulis oleh cowok itu, Jita tercekat. Seperti ada yang menusuk
hatinya dengan jarum tajam penuh pertanyaan. Bagaimana bisa seorang tuna rungu
memainkan harmonika sebagus itu ?
“Tidak
apa-apa, itu sebagian kelebihan kamu yang tidak aku miliki. Kenapa kamu tidak
bermain harmonika ?” tanya Jita pura-pura tidak tahu kalau
harmonika kesayangan cowok itu telah rusak.
“Perlu
satu hari untukku berpisah dengan barang yang satu itu”
“Kenapa
berpisah ?”
“Sepertinya
dia perlu istirahat untuk menepi sebentar”
“Padahal
kamu jago loh main harmonikanya. Keren abissss deh J”
“Aku
tidak sejago itu. Itu standar, kamu juga bisa memainkan seperti yang aku
lakukan”
“Ihh..kamu
batu ya. Oh iya bolehkah aku mengetahui namamu ?”
“Falen,
namamu ?”
“Jelita
Dwi Melody”
Falen tersenyum ketika
mengetahui nama Jita lalu membalas lembaran kertasnya lagi.
“Nama
yang indah. Pantas untuk wanita sepertimu ”
“Terimakasih.
Apakah kamu tidak ingin bermain harmonika ?”
“Untuk
saat ini belum”
Falen memberikan binder
ke Jita menatap manis wajah Jita dengan penuh kasih lalu menoleh ke arah
matahari yang beberapa menit lagi akan menghilang. Hatinya penuh gemuruh,
pertanyaan yang ia jawab adalah kebohongan hatinya. Dalam kejujuran hatinya ia
sangatlah ingin memainkan alat musik kesayangannya itu.
“Kenapa
? bagaimana kamu bisa tahu bahwa kamu belum mau memainkannya lagi ?”
“Entahlah”
“Kenapa
?!”
Jita menubrukkan ujung binder itu ke Falen, matanya nyalang memaksa Falen untuk
menjawab pertanyaannya.
“Harmonikaku
rusak. Aku tak bisa memperbaikinya lagi. Padahal cuma itu bentuk pertemananku.
Dengan harmonika itu aku merasa lebih tenang dan merasa tidak sendiri. Selama
ini aku hidup sendiri dan tak ada orang yang bisa menerimaku, kecuali
teman-teman sependeritaan sepertiku ini”
Jita menahan haru
dibenaknya ketika membaca kalimat dari Falen.
“Kamu
sekarang tidak sendiri kok. Ada aku disini. Dan mohon maaf sebelumnya untuk
pertanyaan ini, bagaimana kamu bisa memainkan harmonika sebagus itu padahal
kamu tidak bisa mendengarnya ?”
Falen menghadap Jita,
menunjuk dadanya dengan telunjuknya sambil tersenyum“Dengan hati. Aku mampu merasakan lantunan yang kurangkai dengan
harmonikaku. Tidak perlu dengan indera pendengaran, aku bisa mendengarnya
dengan hati ini. Aku belajar dari Bethoveen, meski tuli ia masih bisa menjadi
seorang musisi”
“Kamu
memang beda dari yang lain. Aku kagum denganmu, Falen”
“Terima
kasih telah menjadi pengagumku J. Baru kali ini seseorang yang
menganggap diriku ada. Sebelumnya mereka hanya mencelaku sebagai pendengar yang
buruk. Terimakasih sekali lagi.”
“Aku
akan menjadi pengagummu untuk selamanya jika kamu mau memberikanku lantunan
indah harmonikamu, bagaimana ? apakah kau setuju ?”
“Kan
harmonikaku rusak”
Jita menarik tangan
kanan Falen, meletakkan harmonika diatonik dan selembar kertas post-it yang bertuliskan ”Mainkan untukku, atau akan ku lempar
harmonika ini ke kepalamu!” di telapak tangannya.
Falen tertawa melihat
ini. Lalu sorot matanya jelas dengan lembut menatap mata bulat di wajah Jita.
Jita lalu menyerahkan bindernya ke Falen.
“Buruan
mainin! Jangan dilihatin aja heh!! ” ujarnya diatas kertas
kosong dengan memperagakan gestur marah di hadapan Falen. Tangannya dilipat
didepan dada dan wajahnya sarat amarah tapi wajah Jita justru lebih terlihat
imut ketika marah. Itulah pandangan Falen terhadap Jita.
Falen memutar-mutar
harmonika barunya. Ia pandangi sepuluh lubang yang terletak disana. Ia
tersenyum senang. Lesung pipinya tak terhindari ketika senyum itu merekah penuh
kebahagiaan. Lalu Falen menanggkupkan harmonika barunya itu ditelapak tangannya.
Lalu ditempelkannya sepuluh lubang harmonika di ujung bibirnya. Suara merdu nan
indah keluar perlahan dari lubang-lubang harmonikanya. Sepuluh lubang itu
menjadi pintu awal keindahan melodi yang tercipta dari bibir sang pencipta
harmoni. Jita menikmati lantunan melodi harmonika yang dimainkan oleh Falen. Jita
menggoyangkan ke kiri kanan kepalanya riang sambil mengayun-ayunkan kaki di
pinggiran rooftop gedung. Falen
begitu menghayati permainan harmonikanya sampai memejamkan mata. Sesekali Jita
melirik wajah Falen yang terpejam sambil menikmati permainan harmonikanya. Ia
tersenyum lalu mengambil binder yang berada di samping Falen kemudian
menuliskan sesuatu yang akan diberikannya kepada Falen setelah Falen selesai
bermain.
“Lantunan
angin merdu yang keluar dari sela-sela lubang harmonikamu ini membuat
kesunyianku yang tak terdengar berubah sedemikian rupa menjadi rasa sayang yang
sejuk dan indah”
Jita menengadahkan
kepalanya. Melihat senja yang iri dengan lantunan angin-angin merdu yang dibuat
oleh Falen. Bukan hanya senja yang iri, dia yakin angin malam, angin fajar,
bulan, bintang, hingga matahari akan cemburu mendengar suara merdu harmonika
yang dimainkan Falen. Buktinya jelas, senja kini pergi berlari menjauhi Jita dan
Falen ditengah merdunya iringan melodi yang keluar dari harmonikanya.
0 komentar:
Posting Komentar