123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Minggu, 31 Januari 2016

Belajar Dari Salah


Setiap orang perlu salah untuk mendapatkan kebenaran yang absolut.
Semua berawal dari perjalanan gue menuju kampus London School of Public Relations di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat untuk menonton penampilan teater temen gue, Oca. Ketika jalanan macet, motor yang gue kendarai berada dibelakang mobil sehingga pandangan gue terhalang bodi besar mobil tersebut. Gue memiringkan kepala, menyorot pandangan disisi kanan mobil mencari jejak teman gue yang sudah berada jauh di depan. Namun wujud motornya tidak terlihat. Patokan gue adalah helm merah yang dipakai Pia yang duduk diboncengi Ai. Banyak. Banyak banget kepala manusia yang memakai helm merah serupa yang dipakai Pia. Dimana pia yang beneran ?!!
Saat motor gue sudah sampai di persimpangan antara jalan menuju flyover dan menuju jalan raya lainnya, gue bingung. Pikiran gue menimbang-nimbang kanan dan kiri. Akil yang duduk dibelakang juga bingung harus ke kanan menuju fly over atau ke kiri menuju jalan raya yang nggak gue tahu namanya. Gue dan Akil sama sekali tidak tahu jalan menuju London School. Ternyata memilih jalan lebih membingungkan dibanding memilih jodoh.
“Ke kanan apa ke kiri ?” tanya gue resah sedangkan bunyi klakson motor dan mobil terus-terusan berteriak.
“Gatau” jawab Akil sambil nengok kanan lalu nengok kiri.
“Kiri kali ya ?” gue mengambil keputusan asal berharap benar.
“Yaudah kiri aja” Akil dengan mudahnya sepaham dengan keputusan gue yang tanpa dasar apapun.
Ketika stang motor gue berbelok kekiri, Akil melihat keatas flyover, Ai dan Pia sedang melaju di antara kemacetan flyover. Mantap. Ternyata gue salah pilih jalan. Gue lalu berhenti di sisi jalan mencari solusi yang tepat untuk mengejar Ai dan Pia.
“Aduh, gimana dah nih ?” gue membuka helm mengacak-ngacak rambut lalu memaki helm lagi. Nggak jelas memang, tapi dengan mengacak-ngacak rambut mudah-mudahan ada sedikit ide yang muncul.
Opsi yang gue pilih berkat berpikir dengan mengacak-ngacak rambut adalah memutar balik. Lawan arah adalah pelanggaran lalu lintas yang paling sering gue lakukan di jalanan dekat rumah. Walaupun sering lawan arah, untuk kali ini kayaknya gue harus benar-benar meyakinkan diri untuk melakukan tindakan berpasal itu. Takut-takut ada polisi yang menyergap gue lalu menilang, habis uang gue nanti. Dengan tarikan napas panjang gue memutar motor. Selama melawan arah tidak lebih keji dibanding melawan orang tua, akhirnya gue memutuskan untuk melawan arah.
Entah, tiba-tiba muncul darimana ada tukang es cincau melintas. Bapak-bapak setengah baya memakai topi cowboy dengan handuk yang tersemat dilehernya sedang mendorong gerobak. Dengan santainya abang cincau itu berjalan mengahadap arah yang berlawanan. Motor-motor yang melintas didepannya tidak ada yang protes. Seperti tidak ada yang salah dengan abang cincau ini. Salut buat abang cincau.
“AHA!” gue mengangkat jari telunjuk ke udara disamping kepala. Kemudian ada bohlam kuning yang menyala terang diatas kepala gue.
Berkat ide yang tiba-tiba muncul, gue pun membuntuti abang-abang cincau itu dari belakang. Beruntungnya lagi abang cincau itu ternyata juga menuju ke flyover. VOILA!. Detik itu juga abang cincau berubah seperti dewa keberuntungan untuk gue. Tanpa cela atau teriakan klakson dari mobil dan motor yang melintas, dengan lincah kayak messi lagi gocek-gocek gue menyebrang ke flyover, lalu BAM. Gue sudah berada di area flyover. Thanks abang cincau jasamu tiada tara.
Tidak perlu waktu lama gue menelusuri sepanjang jalan yang diramaikan oleh orang-orang yang baru pulang kerja. Memacu motor di cela-cela mobil. Menahan sabar dan batuk karena debu yang menghempas wajah kusam gue. Tidak lama setelah itu Ai dan Pia sudah menunggu didepan Sevel. Kemudian agar tidak membuang waktu lagi, kami segera menarik gas lalu meluncur ke London School.
---uUu---
Kami masuk ke dalam kampus London School. Ketika sampai disana teman gue Gadis dan pacarnya sudah menunggu, mereka datang jauh lebih dulu dari gue, Pia, Akil, dan Ai. Saat masuk dan menunggu di semacam ruangan recepsionis, kami langsung disuguhkan desain interior yang menciptakan kekaguman dibenak gue. Kesan klasik dan elegan terpancar dari ruangan ini. Beberapa piala terpajang di tengah ruangan. Pernak-pernik berwarna emas dan merah mendominasi, bingkai mahal berharga ratusan juta tergantung di dinding yang bermotif emas. Rasanya ini tidak seperti kampus, tapi seperti ruang tamu rumah-rumah orang kaya. Wajar sih, kampus mahal coy. London School coy!! Ya kali kampus mahal temboknya dibuat pake  kardus indomie terus gentengnya dari daun pohon pisang. Ya, kagaklah.
Udah gitu aroma anak-anak gaul begitu jelas terasa. Dari cowok-cowok yang memakai snapback dikebelakangin, rambut klimis, cara ngomong mereka yang di mix dengan bahasa inggris, dan cara jalan mereka menegaskan bahwa dia gaul. Lemah lembut kayak takut nginjek taik kucing gitu dah. Gue rada minder, apalagi melihat keadaan style gue yang terkesan seperti abang-abang kredit mau nagih uang kerumah-rumah. Muka kucel, dekil, berdebu kayak patung pancoran, badan bau matahari, cela-cela kuku banyak kotoran hitam, fix tau gini mending gue pulang.
Belum lagi di sini banyak cewek-cewek borjou. Cewek berkelas yang kalau ke mall minimal maen ice skating. Wajah putih mulus terawat, pusar diperut yang bertebaran kemana-mana, paha mulus crunchy nggak ada bekas knalpot kayak paha ayam di KFC, jadi pengen gigit paha-paha mereka, kemudian aroma wangi berkat parfum mahal menyebar dari lipatan ketek lembab mereka, leher dan tengkuk juga sangat putih seperti memanggil untuk dicupang, dan cewek-cewek disana dimata gue wajahnya mirip semua. Nggak tahu kenapa, pokoknya mirip. Cakep semua.
Acara dimulai, kami duduk di barisan ketiga dari panggung. Gue duduk disisi paling pinggir. Ya, gue memang selalu dipinggirkan. Acara dimulai dengan sambutan dari ibu-ibu yang membuang-buang waktu dengan bahasa inggris. Gue dengernya sambil mengangguk-ngangguk sok ngerti.
“Ladys and gentleman bla..bla…bla…bli..blu..ble..blooo” Ibu-ibu dengan model rambut bob itu berdiri menjadi pusat ratusan pasang mata.
“Lo ngerti kal ?” tanya Ai disamping gue.
Gue balas dengan anggukan sombong.
“Wihhh ngeriii…Beneran lu ngerti ?” Ai begitu antusias.
Gue menoleh ke arahnya, menatap matanya lekat-lekat, secepat mungkin sebelum ada perasaan cinta yang terpancar dari bias cahaya matanya, gue memalingkan wajah.
“Kagak!” seru gue lalu cengengesan.
“Jahahaha goblok”
Lampu mendadak mati. Ruangan gelap gulita. Cahaya hanya menyorot bagian panggung, memudahkan penonton untuk fokus. Teman-teman mulai kawatir takut gue menghilang. Gue juga takut kalau tiba-tiba kulit gue yang hitam ikut larut dalam kegelapan kemudian gue lenyap pindah ke dimensi lain.
Tirai besar bewarna merah marun bergesar membuka panggung. Tepuk tangan mengiringi pementasan acara yang diawali dengan tarian tradisional Sumatra barat. Gue kagum dengan gerakan wanita-wanita cantik diatas panggung. Lincah, gesit, dan cute. Badan mereka dengan lentur meliuk-liuk kesana kemari kayak uler kobra. Menghentak-hentakan kaki seperti memanggil dajal. Sebagai anak keturanan padang dan darah minang begitu deras mengalir di dalam tubuh. Gue cemburu, gue nggak bisa apa-apa untuk membanggakan tanah kelahiran leluhur gue. Gue gagal jadi keturunan rendang. Mau jadi apa gue ini, yang bisa gue banggain sebagai keturunan minang cuma pengalaman pas TK nari dinding pak dinding dan melanjutkan jiwa pelit khas orang padang. Cukup membanggakan, sih.
Taeter yang bertajuk Siti Nurgaya ini disajikan secara berbeda. Awalnya gue pikir pementasannya akan kelihatan kuno dan membosankan. Tetapi dugaan gue jauh berbeda. Tradisional dengan sajian yang modern. Mulai dari penggunaan bahasa inggris dalam percakapan mereka membuat gue bekerja ekstra keras untuk mengartikannya.  Saking bingungnya gue sempat berpikir untuk mentranslate ucapan mereka di google translate atau membuka kamus tebal setiap kali para pemain ngomong. Tapi nggak mungkin, yang ada sebelum gue selesai mengartikan satu kalimat tanpa gue sadari acaranya udah kelar kemudian cuma sisa OB yang lagi bersihin panggung. Meskipun begitu, ya lumayan ada satu dua kata yang gue ngerti. Gue nggak bego-bego amat kali ah. Selama menonton gue sih menikmati penuh antusias. Apalagi yang jadi Siti Nurbaya. Masyallah mata ini nggak bisa berkedip melihat tuh cewek, wajah oval, hidung mancung, rambut lurus hitam halus, dan lekukan bibir yang menggoda membuat siapa saja terhipnotis ketika memandangnya berlama-lama. Kemudian ada keinginan untuk mendekapnya lalu berbisik ditelinganya “itu muka cakep amat neng, sini abang elap pake kaos kutang abang.“
---uUu---
Pertunjukan selesai kami bergegas meluncur ke parkiran.
Gue menyalakan motor lalu membuntuti motor gadis dan cowoknya yang berada didepan. Mereka naik ke atas flyover gue mengikuti tanpa ragu. Sepanjang jalan di flyover perasaan gue mulai nggak enak. Gue melihat sekitar tidak ada motor lain yang melintas. Hanya mobil. Mata gue melirik ke kaca spion, ai dan Pia juga tidak tampak dibelakang. Hanya ada lampu mobil yang membuat gue memicingkan mata.
“Kil, lu sadar nggak sih motor tuh cuma kita doang ?” ujar gue ke Akil meyakinkan keraguan yang daritadi mengganggu otak.
“Lah, iya juga ya kayaknya kita salah jalan deh” lagi-lagi dia hanya mengikuti pendapat gue.
Gue melirik sekali lagi ke kaca spion. Benar saja ternyata flyover ini dikhususkan untuk mobil. Gue berdoa supaya tidak ada polisi didepan. Sedetik kemudian, 50 meter didepan musibah muncul, sudah ada bapak-bapak berbaju coklat dibalut rompi hijau berdiri gagah dan siap menerkam gue. MATI!
Gadis dan cowoknya mencoba menghindar dari jeratan polisi. Namun gagal. Gue mengendurkan gas, sudah tahu nggak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Seandainya bisa nge-cheat motor terbang, pasti gue lakuin. Sayangnya gue hanya bisa pasrah dan langsung menghampiri polisi itu tanpa disuruh. Gue mah gitu orangnya, polisi aja gue samperin.
Walaupun gue tahu saat ini gue nggak bisa melakukan apa-apa untuk menghindari polisi. Ada tiga opsi yang memungkin dilakukan saat keadaan mendesak seperti ini.
Pertama, muter balik. Namun, melihat dibelakang mobil melaju nggak santai, yang ada gue di tabrak. Oke, cancel opsi ini.
Kedua, pura-pura bego. Hmm… nggak deh, nggak banget. Udah bego ngapain dipura-purain.
Tiga, loncat dari flyover terjun payung. Oke, gue mulai stress.
Akhirnya nggak ada opsi yang gue pilih. Pasrah ajalah.
“Tunjukin surat-suratnya” gumam polisi itu sudah siap dengan pulpen dan kertas tilang.
Akil sang pemilik motor menyerahkan stnk dan ktp gue.
“SIMnya mana ?” tanya lagi pak polisi.
“Nggak ada pak hehehe” gue cengengesan untungnya pak polisinya baik. Takutnya gue di cekek gara-gara nggak sopan.
“Tanggal 5 hari jumat ambil di pengadilan ampera. Deket kan dari rumah kamu ?” ujar pak polisi dengan nada ramah sambil memberikan surat tilang dan ktp gue.
Berbekal cerita pengalaman temen-temen gue yang pernah ketilang, bujuk pak polisinya lalu berikan uang yang ada didompet. Gue pengen menempuh jalur damai supaya stnk Akil nggak di sita.
“Nggak bisa dipercepat apa pak ? jumat besok saya sibuk” ujar gue memulai sepik kode.
“Bisa diwakilin siapa saja”
“Tapi kalo nggak bisa jumat besok ?” gue terus memberikan kode.
“Kamu ambil di kejaksaan ranco, itu juga deket dari rumah kamu” sial, mentang-mentang abis ngeliat ktp gue, dia jadi tahu rumah gue. Mudah-mudahan dia nggak mampir, deh.
“Tapi pak ,saya bener-bener nggak bisa, emangnya nggak bisa diselesain disini?” gue langsung to the point , ini polisi nggak ngerti kode banget sih.
“Nggak ada tapi-tapian. AMBIL HARI JUMAT TANGGAL 5!” anjir, polisinya udah mulai nggak santai.
“Thankyu pak!” gue langsung nyelonong pergi sambil mendengus sebal. Kenapa gue harus ditilang sama polisi yang baik, nggak mau damai. Ah, payah polisinya nih. Nggak asyik.
Gue merasa nggak enak sama Akil karena stnk motornya di embat polisi. Seandainya gue punya SIM pasti stnk itu nggak bakal disita. Dan ngapa juga harus salah ngambil jalan, ah pe’a nih gadis sama cowoknya. Coba gue nggak ngikutin mereka pastinya gue bakal melenggang santai tanpa harus menukarkan stnk dengan surat tilang.
Walaupun rasa penyesalan karena ditilang. Dibenak gue masih ada serpihan kecil rasa senang dan bangga. Gue senang karena itu adalah kali perdana gue ditilang. Gila dah, akhirnya gue punya pengalaman ditilang. Setidaknya jika temen-temen gue ketilang, gue bisa ikutan rumpi bareng ngebahas tilang-menilang. Keren.
---uUu---
Setelah melupakan kekesalan karena ditilang polisi. Datang lagi musibah. Gue nyasar. Goblok banget sumpah, ini masih di Jakarta loh. Jakarta selatan pula! Tepatnya gue nyasar dibilangan tebet, tempat gue lahir dan tumbuh besar. Tanah gue berpijak selama delapan belas tahun. Tapi gue nyasar di tanah kelahiran gue. Bener-bener memalukan.
“Ini dimana dah ?” gue menengok ke sisi jalan mencari plang penunjuk jalan.
“Nggak tahu kal, yah, nggak lucu banget masa nyasar” ujar Akil dengan nada pasrah.
Gue mengambil hape dari kantung celana lalu membuka fitur google maps. Gue menelusuri jalan yang ditunjukkan oleh google. Alih-alih menemukan jalan pancoran, gue dan Akil malah makin nyasar.  Google goblok!. MAMPUS. MATI DAH!
Mengingat pepatah mengatakan, malu bertanya sesat dijalan. Gue pun nanya sama go-jek. Gue percaya sama go-jek karena dia pasti tahu jalan. Lebih tahu daripada google maps sialan ini. Cuma jalan menuju surga aja yang gojek nggak tahu.
Gue melihat seorang bapak dengan jaket go-jek sedang berdiri memegang segelas cendol. Lalu gue mendekati motor ke driver gojek itu.
“Maaf pak, tahu jalan ke pancoran nggak ?” tanya gue dengan nada sopan.
“Kalo mau kepancoran jangan lewat sini, kamu muter balik nih, abis itu belok kiri, terus belok kiri lagi” ujar driver gojek itu sambil membuat gesture belok kiri dengan tangan kanannya.
“Oh, makasih ya pak”  senyum gue lalu meninggalkan driver gojek itu.
Akhirnya setelah mengikuti arahan yang diberikan oleh gojek tadi gue sudah berada di jalan pancoran. Alhamdulillah, akhir dari perjalanan panjang penuh tantangan ini berakhir. Pantat perih, keringat bercucuran, tangan kapalan, dan kencing tidak dapat ditahan lagi. Masyallah, GUE KEBELET KENCING. Plis, wahai kencing yang baik, tolong jangan keluar disaat seperti ini, gue ngebatin.
Nggak lucu aja kalo gue ngompol ditengah macet kayak gini. Tiba-tiba ada pengendara lain ngeliat celana gue yang basah langsung penasaran kemudian kepo bertanya.
“Mas, hujan ya ?”
“Kagak”
“Tuh celananya kok basah?” tanyanya sambil nahan tawa dengan tangannya.
“In..ini pipis saya mas” jawab gue pasrah.
“Mas ngompol ? Yalloh muka doang item, serem, tukang palak tapi ngompol BAHAHAHAHA” kemudian dia menstandarkan motor, berdiri menghampiri gue lalu berteriak mengheningkan suara klakson yang membahana “BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU SEKALIAN, SAYA PUNYA PERTUNJUKKAN KEREN….ADA YANG NGOMOPOL NIH!” jarinya menunjuk gue yang keringat dingin diatas motor. Sontak para pengendara lain kompak menertawai gue yang tak berdaya dan selangkangan dibanjiri air kencing.
“HAHAHA MUKA DOANG KAYAK MIKE TYSON, TAPI NGOMPOL  BUAHAHAHAK”
“PAKE PEMPRES AJA. EH, KASIH EMPENG, ADA ANAK BAYIK NIH NGOMPOL BAHAHAHAH”
Gue buru-buru membuang pikiran menggelikan itu. Kemudian gue menemui Ai yang sudah tiba di rumah Pia duluan, lalu mengantar Akil kerumahnya. Setelah Akil pulang dan bersantai dirumah. Gue dan Ai mampir ke gerai pecel ayam di pinggir jalan. Memesan dua porsi pecel ayam. Menikmati bersama-sama dengan kucing kampung yang riweh mengeong-ngeong memohon untuk meminta jatah tulang.
Karena lapar, dengan cepat satu porsi pecel ayam tandas tanpa sisa. Tulang-tulang ayam yang tersisa gue sumbangkan ke kucing kampung itu. Gue ambil satu batang rokok dari dalam bungkus lalu menyulutnya dengan korek. Merengangkan otot yang pegal dan menggesek pantat yang perih dipermukaan bangku plastik karena terlalu lama duduk di atas jok motor.
Sambil menghembuskan asap rokok ke udara, gue memandangi jalanan yang kosong dibanjiri cahaya sayup lampu jalan yang kuning temaram. Sudah Jam dua belas malam, wajar kalau jalanan sudah kosong. Kendaraan sudah jarang melintas, hanya beberapa anak muda cabe-cabean dan orang-orang kelaparan mencari makan seperti gue ini.
Tiba-tiba terbesit dipikiran gue lagi tentang kejadian yang gue alami seharian ini. Tawa kecil membuahkan senyum merekah di wajah gue. Banyak saja kendala yang melanda gue hari ini. Mulai dari salah milih jalan, menonton teater Siti Nurgaya yang hampir bikin otak gue kornslet karena pake bahasa inggris, ditilang polisi, dan terakhir nyasar di tanah kelahiran sendiri. Dipikir-pikir sial amat gue hari ini.
Disetiap kesialan pasti ada pesan yang tersisa. Gue mematikan bara rokok dengan menginjaknya. Menopang dagu dengan tangan dan mengusap-ngusap janggut yang unyu-unyu di dagu lalu menatap ke jalanan lagi.
Ternyata setiap orang butuh salah untuk mengetahui apa yang dilakukannya itu benar. Jika saja setiap orang benar, maka tidak ada yang tahu mana yang salah dan mana yang menyesatkan.
Seperti saat gue tersesat dan nyasar di bilangan tebet dalam. Gue bingung mencari jalan yang benar. Gue nggak punya pilihan, semua opsi jalan masih random kebenarannya. Bisa salah bisa jugabenar. Itulah manusia, saat kita nggak tahu jalan sama sekali, satu-satunya pilihan hanya bertanya. Kita nggak bisa memilih ini dan itu dan menganggap salah satunya benar atau salah. Saat itu kita tidak tahu apa-apa, semua pilihan adalah kebenaran. Kita belum tahu apa yang menjelaskan pilihan kita salah atau benar. Ngambang penuh misteri.
Dalam cinta juga seperti itu, kita salah jalan dalam memilih bisa-bisa kita ditilang kemudian dapat peringatan bahwa kita harus mematuhi apa yang diinginkan pacar. Polisi memperingatkan kita dengan surat tilangnya, begitupun dengan pacar, lo bakal diberikan suratan kode dari sikap si pacar. Atau bisa juga lo salah milih pacar, jangan muter balik. Jalan terus meski lo tau didepan ada polisi, gapapa harus ditilang. Setidaknya lo tahu rasanya sakit hati. Agar jadi pelajaran kelak di perjalanan lo selanjutnya.
Kalau lo salah lagi diperjalanan selanjutnya, terimalah itu karena kebenaran yang baru akan lo dapatkan. Semua yang salah akan berujung pada kebenaran. Pasangan yang salah akan berujung pada pacar yang setia.

Lo, gue, kita, dia, dan semua manusia pernah berbuat salah. Dari situlah kebenaran tercipta. Karena kalau dipirkir sekali lagi kebenaran itu adalah rangkaian kesalahan yang tersusun rapih dalam muara kebingungan.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone