Ini Saatnya
Masalah datang nggak
tahu kapan, dimana, dan sedang apa kita saat itu. Jadi bersiaplah.
Beberapa hari yang lalu
saat matahari masih ogah-ogahan untuk keluar dari peraduannya. Ayam-ayam masih
tertidur karena begadang. Dan burung-burung masih malas mengepakkan sayapnya.
Terdengar teriakkan panik seorang ibu-ibu dari luar rumah. Gue yang tidur di
ruang tamu lantas mendengar teriakkan yang memekakan telinga itu. Gue terbangun, melihat bokap bertelanjang dada
dari kamar mandi hanya berbalut handuk merah yang bolong di bagian pahanya
berjalan keluar rumah. Dibalik gerbang rumah bokap berjinjit melihat keadaan
yang terjadi diluar rumah. Gue yang juga bertelanjang dada menghampiri bokap.
Berdiri disampingnya.
“Ada apaan sih ?”
“Gas bocor! Gas bocor!”
Teriak ibu-ibu yang terkenal sebagai ratu gosip seantero gang.
Ternyata gas bocor dari
rumah tetangga gue yang berada enam petak dari rumah gue ke kiri. Gue keluar
rumah. Melihat sepanjang gang dipenuhi kepulan gas yang tak terlihat tapi
baunya begitu jelas menusuk hidung. Gue masuk ke dalam rumah lagi memakai baju
dan keluar.
Ini bahaya. Ada
percikan api sedikit saja akan menimbulkan ledakan yang besar. Apalagi
sepanjang gang ini letak rumah-rumah berdempetan semua seperti kembar dempet.
Nggak menutup kemungkinan akan terjadi kebakaran besar jika tidak secepatnya
gas ini disapu habis. Gue panik. Bokap panik yang lalu pergi ke kamar mandi.
Cepat-cepat mandi sampai lupa sabunan, shampoan dan gosok gigi. Eh, ternyata
bokap nggak mandi. Dia Cuma pup sebentar, nggak tahan katanya. Biasanya kalo
kayak gini nyokap adalah orang yang paling ribet dan pasti suka teriak-teriak
nggak jelas. Suruh ini lah, itu lah, jangan kesana lah, jangan pake hot pants
lah. Tapi justru saat ini malah bokap yang menggantikan posisi nyokap. Ribet
ngemeng dan nggak ngelakuin apa-apa. Cuma bisa berteori. Entah karena dia hanya
memakai sehelai handuk dan malu keluar rumah atau memang malas.
“Tutupin karung goni
bu! ” ujar bokap dari balik pagar rumah. Namun sepertinya saran bokap tak
didengar ibu gosip itu.
“Kenapa bisa bocor ? Cemplungin
ke aer biar gasnya nggak semakin banyak keluar. Bilangin yang lain jangan pada
nyalain api!” bokap terus ngemeng. Suaranya terdengar tapi wujudnya terhalang
pagar rumah. Sayang sekali lagi-lagi bokap tidak didengar.
Tetangga semua keluar
dari rumah. Ada yang mencoba membantu dengan mengibas-ngibaskan kepulan gas
yang tak terlihat, ada yang menyiram udara dengan air, dan ada yang kabur
menjauhi rumah sambil membawa harta benda yang bisa dibawa. Untungnya tidak ada
yang menelepon kak seto. Gue bertugas
menjaga ujung gang. Berjaga-jaga supaya jika ada orang yang lewat agar tidak
membawa rokok atau pun benda-benda yang memicu kebakaran. Gas 3 kg yang menjadi
tersangka pada kejadian ini dibawa keluar rumah. Tetangga gue bernama Bang
Madoy membawa seember air. Menenggelamkan gas tersebut di dalam ember dengan
posisi terbalik. Gelembung-gelembung kecil tercipta dari dalam air. Namun bau
gas yang sudah menyebar ke dalam rumah-rumah masih menjadi masalah. Sekitar
tiga puluh menit, gang tidak bisa dilewati. Gang ini menjadi salah satu jalur utama
yang sering di lewati para pejalan kaki jika ingin ke pasar. Akhirnya beberapa
anak sekolah, ibu-ibu gosip yang mau belanja, dan bapak-bapak genit yang mau
godain ibu-ibu tukang ikan di pasar terpaksa memutar arah lewat gang lain yang
lebih jauh.
Tak lama setelah itu
bau gas di dalam rumah gue hilang. Aroma gas di sepanjang gang juga tak
terdeteksi lagi oleh indera penciuman. Gue masuk ke dalam rumah. Bokap masuk ke
kamar mandi melanjutkan mandinya yang pending. Nyokap nggak lama datang membawa
kantung plastik hitam yang berisi belanjaan.
“Kok ada rame-rame di
luar ?” tanya Nyokap sambil membenahi belanjaan di konter dapur.
“Abis diserang gas 3 kg
yang bocor di rumah Bu Gosip. Untung nggak meleduk” jawab gue sambil menadah
air yang keluar dari keran dispenser.
“Gas ? tadi kayaknya
pas mamak ke pasar nggak ada apa-apa ” nyokap heran “Terus gimana ?”
Gue mengangkat bahu
setelah meneguk segelas air putih “Ya nggak gimana-gimana. Udah kembali seperti
semula lagi”
Gue bergegas kembali ke
tempat yang paling nyaman saat mata membutuhkan waktu untuk terpejam. Kasur. Saat
ini kasurlah menjadi jawabannya. Gue menghempaskan punggung ke kasur. Tubuh gue
terpantul akibat per yang ada didalam kasur. Gue merengkuh hape yang berada
disamping bantal lalu menyetel lagu Hivi! – Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi.
Mata gue terpejam. Kedua tangan gue silangkan dibelakang kepala menjadi
penyangga meski sudah ada bantal. Gue terbenam dalam lirik lagu tersebut.
Menyerap lantunan lagu lewat lubang telinga masuk keotak lalu turun dengan
kecepatan 200 m/jam ke relung hati.
Dalam penjaman mata dan
mulut gue tak bisa berhenti melantunkan lagu yang saat ini gue dengar.
“Siapkah
kau tuk jatuh cintaaaaa..lagi ?”
Gue berdehem. Membuka
mata. Mengingat ternyata gue sudah terlalu lama jauh dari anugerah yang bernama
jatuh cinta. Lalu gue melihat langit-langit, mencoba mengingat terakhir kali
gue jatuh cinta. Sudah lama sampai gue nggak tahu pastinya itu kapan. Jangan-jangan
gue amnesia akibat kekurangan asupan cinta yang membuat gue menjadi gizi buruk
dan takut untuk jatuh cinta.
Lalu teringat kembali
kejadian gas tadi pagi yang membuat gue terbangun dari tidur. Kejadian itu
benar-benar membangunkan gue dari tidur panjang gue semalaman. Kedatangan
masalah gas bocor tadi hampir serupa dengan cerita cinta gue saat ini. Gue
benar-benar tidur terlalu lama sehingga lupa untuk jatuh cinta. Lalu
dibangunkan secara paksa oleh kerinduan akan kehadiran seseorang untuk singgah
dihati.
Terakhir kali gue jatuh
cinta endingnya menyedihkan. Gue ditolak sampai bersumpah tidak akan mencoba
lagi untuk berjuang hanya karena cewek. Itulah masalah yang gue alami. Masalah
gue saat ini adalah takut ditolak (lagi). Menghindari penolakkan itu gue
memilih untuk menunggu. Dan itu salah. Menunggu adalah cara menghindari keberanian
untuk memulai sesuatu. Gue terus menunggu sampai tubuh gue dipenuhi debu dan
sarang laba-laba, bibir gue kering, kulit gue semakin hitam legam.
Setelah dipikir-pikir
lagi yang harus gue lakukan saat ini adalah bangun. Cuci muka, mandi dan memulai.
Hadapi masalah yang siap menerjang. Masalah itu harus dilewati bukannya
dilihatin. Gue nggak bisa cuma melihat orang-orang bermesraan berpelukan
dimana-mana. Mata dan hati gue nggak kuat melihat itu. Mendengar ucapan
ayah-bunda, bebeb-ayank, cintaku-hatiku. Fungsi telinga gue bisa rusak kalau
mendengar itu terus-menerus.
Kini gue sudah bangun
dengan tubuh dan hati yang segar. Bersiap kembali untuk memulai. Melangkah maju
menyapu masa lalu. Menerjang masalah dengan penuh perjuangan. Berani mendengar
kata “Kayaknya kita temenan aja deh”, nggak masalah. Ditolak atau diterima urusan
belakangan. Sekarang yang terpenting dan harus dijalanin adalah mencoba lagi.
Gue menyisir rambut gue
di depan cermin. Belum kelar menyisir rambut. Di atas kasur hape gue berdering mengeluarkan
suara Adam Lavigne bernyanyi. Gue menyergap dengan cepat hape itu lalu menekan
tombol bergambar telpon berwarna hijau dari nomor asing.
“Halo ?” ucap gue
bengong menunggu jawaban dari orang diseberang sana.
“Kal, apa kabar ?”
terdengar suara cewek yang gue harap ini bukan operator atau penjaga kasir
Pizza Hut.
“Baik. Sangat baik jika
ini bukan gembong penipu mama pinta pulsa” gue tersenyum melihat bayangan gue
sendiri di cermin.
0 komentar:
Posting Komentar