123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Selasa, 05 Januari 2016

Ini Saatnya


Masalah datang nggak tahu kapan, dimana, dan sedang apa kita saat itu. Jadi bersiaplah.
Beberapa hari yang lalu saat matahari masih ogah-ogahan untuk keluar dari peraduannya. Ayam-ayam masih tertidur karena begadang. Dan burung-burung masih malas mengepakkan sayapnya. Terdengar teriakkan panik seorang ibu-ibu dari luar rumah. Gue yang tidur di ruang tamu lantas mendengar teriakkan yang memekakan telinga itu.  Gue terbangun, melihat bokap bertelanjang dada dari kamar mandi hanya berbalut handuk merah yang bolong di bagian pahanya berjalan keluar rumah. Dibalik gerbang rumah bokap berjinjit melihat keadaan yang terjadi diluar rumah. Gue yang juga bertelanjang dada menghampiri bokap. Berdiri disampingnya.
“Ada apaan sih ?”
“Gas bocor! Gas bocor!” Teriak ibu-ibu yang terkenal sebagai ratu gosip seantero gang.
Ternyata gas bocor dari rumah tetangga gue yang berada enam petak dari rumah gue ke kiri. Gue keluar rumah. Melihat sepanjang gang dipenuhi kepulan gas yang tak terlihat tapi baunya begitu jelas menusuk hidung. Gue masuk ke dalam rumah lagi memakai baju dan keluar.
Ini bahaya. Ada percikan api sedikit saja akan menimbulkan ledakan yang besar. Apalagi sepanjang gang ini letak rumah-rumah berdempetan semua seperti kembar dempet. Nggak menutup kemungkinan akan terjadi kebakaran besar jika tidak secepatnya gas ini disapu habis. Gue panik. Bokap panik yang lalu pergi ke kamar mandi. Cepat-cepat mandi sampai lupa sabunan, shampoan dan gosok gigi. Eh, ternyata bokap nggak mandi. Dia Cuma pup sebentar, nggak tahan katanya. Biasanya kalo kayak gini nyokap adalah orang yang paling ribet dan pasti suka teriak-teriak nggak jelas. Suruh ini lah, itu lah, jangan kesana lah, jangan pake hot pants lah. Tapi justru saat ini malah bokap yang menggantikan posisi nyokap. Ribet ngemeng dan nggak ngelakuin apa-apa. Cuma bisa berteori. Entah karena dia hanya memakai sehelai handuk dan malu keluar rumah atau memang malas.
“Tutupin karung goni bu! ” ujar bokap dari balik pagar rumah. Namun sepertinya saran bokap tak didengar ibu gosip itu.
“Kenapa bisa bocor ? Cemplungin ke aer biar gasnya nggak semakin banyak keluar. Bilangin yang lain jangan pada nyalain api!” bokap terus ngemeng. Suaranya terdengar tapi wujudnya terhalang pagar rumah. Sayang sekali lagi-lagi bokap tidak didengar.
Tetangga semua keluar dari rumah. Ada yang mencoba membantu dengan mengibas-ngibaskan kepulan gas yang tak terlihat, ada yang menyiram udara dengan air, dan ada yang kabur menjauhi rumah sambil membawa harta benda yang bisa dibawa. Untungnya tidak ada yang menelepon kak seto.  Gue bertugas menjaga ujung gang. Berjaga-jaga supaya jika ada orang yang lewat agar tidak membawa rokok atau pun benda-benda yang memicu kebakaran. Gas 3 kg yang menjadi tersangka pada kejadian ini dibawa keluar rumah. Tetangga gue bernama Bang Madoy membawa seember air. Menenggelamkan gas tersebut di dalam ember dengan posisi terbalik. Gelembung-gelembung kecil tercipta dari dalam air. Namun bau gas yang sudah menyebar ke dalam rumah-rumah masih menjadi masalah. Sekitar tiga puluh menit, gang tidak bisa dilewati. Gang ini menjadi salah satu jalur utama yang sering di lewati para pejalan kaki jika ingin ke pasar. Akhirnya beberapa anak sekolah, ibu-ibu gosip yang mau belanja, dan bapak-bapak genit yang mau godain ibu-ibu tukang ikan di pasar terpaksa memutar arah lewat gang lain yang lebih jauh.
Tak lama setelah itu bau gas di dalam rumah gue hilang. Aroma gas di sepanjang gang juga tak terdeteksi lagi oleh indera penciuman. Gue masuk ke dalam rumah. Bokap masuk ke kamar mandi melanjutkan mandinya yang pending. Nyokap nggak lama datang membawa kantung plastik hitam yang berisi belanjaan.
“Kok ada rame-rame di luar ?” tanya Nyokap sambil membenahi belanjaan di konter dapur.
“Abis diserang gas 3 kg yang bocor di rumah Bu Gosip. Untung nggak meleduk” jawab gue sambil menadah air yang keluar dari keran dispenser.
“Gas ? tadi kayaknya pas mamak ke pasar nggak ada apa-apa ” nyokap heran “Terus gimana ?”
Gue mengangkat bahu setelah meneguk segelas air putih “Ya nggak gimana-gimana. Udah kembali seperti semula lagi”
Gue bergegas kembali ke tempat yang paling nyaman saat mata membutuhkan waktu untuk terpejam. Kasur. Saat ini kasurlah menjadi jawabannya. Gue menghempaskan punggung ke kasur. Tubuh gue terpantul akibat per yang ada didalam kasur. Gue merengkuh hape yang berada disamping bantal lalu menyetel lagu Hivi! – Siapkah Kau Tuk Jatuh Cinta Lagi. Mata gue terpejam. Kedua tangan gue silangkan dibelakang kepala menjadi penyangga meski sudah ada bantal. Gue terbenam dalam lirik lagu tersebut. Menyerap lantunan lagu lewat lubang telinga masuk keotak lalu turun dengan kecepatan 200 m/jam ke relung hati.
Dalam penjaman mata dan mulut gue tak bisa berhenti melantunkan lagu yang saat ini gue dengar.
“Siapkah kau tuk jatuh cintaaaaa..lagi ?”
Gue berdehem. Membuka mata. Mengingat ternyata gue sudah terlalu lama jauh dari anugerah yang bernama jatuh cinta. Lalu gue melihat langit-langit, mencoba mengingat terakhir kali gue jatuh cinta. Sudah lama sampai gue nggak tahu pastinya itu kapan. Jangan-jangan gue amnesia akibat kekurangan asupan cinta yang membuat gue menjadi gizi buruk dan takut untuk jatuh cinta.
Lalu teringat kembali kejadian gas tadi pagi yang membuat gue terbangun dari tidur. Kejadian itu benar-benar membangunkan gue dari tidur panjang gue semalaman. Kedatangan masalah gas bocor tadi hampir serupa dengan cerita cinta gue saat ini. Gue benar-benar tidur terlalu lama sehingga lupa untuk jatuh cinta. Lalu dibangunkan secara paksa oleh kerinduan akan kehadiran seseorang untuk singgah dihati.
Terakhir kali gue jatuh cinta endingnya menyedihkan. Gue ditolak sampai bersumpah tidak akan mencoba lagi untuk berjuang hanya karena cewek. Itulah masalah yang gue alami. Masalah gue saat ini adalah takut ditolak (lagi). Menghindari penolakkan itu gue memilih untuk menunggu. Dan itu salah. Menunggu adalah cara menghindari keberanian untuk memulai sesuatu. Gue terus menunggu sampai tubuh gue dipenuhi debu dan sarang laba-laba, bibir gue kering, kulit gue semakin hitam legam.
Setelah dipikir-pikir lagi yang harus gue lakukan saat ini adalah bangun. Cuci muka, mandi dan memulai. Hadapi masalah yang siap menerjang. Masalah itu harus dilewati bukannya dilihatin. Gue nggak bisa cuma melihat orang-orang bermesraan berpelukan dimana-mana. Mata dan hati gue nggak kuat melihat itu. Mendengar ucapan ayah-bunda, bebeb-ayank, cintaku-hatiku. Fungsi telinga gue bisa rusak kalau mendengar itu terus-menerus.
Kini gue sudah bangun dengan tubuh dan hati yang segar. Bersiap kembali untuk memulai. Melangkah maju menyapu masa lalu. Menerjang masalah dengan penuh perjuangan. Berani mendengar kata “Kayaknya kita temenan aja deh”, nggak masalah. Ditolak atau diterima urusan belakangan. Sekarang yang terpenting dan harus dijalanin adalah mencoba lagi.
Gue menyisir rambut gue di depan cermin. Belum kelar menyisir rambut. Di atas kasur hape gue berdering mengeluarkan suara Adam Lavigne bernyanyi. Gue menyergap dengan cepat hape itu lalu menekan tombol bergambar telpon berwarna hijau dari nomor asing.
“Halo ?” ucap gue bengong menunggu jawaban dari orang diseberang sana.
“Kal, apa kabar ?” terdengar suara cewek yang gue harap ini bukan operator atau penjaga kasir Pizza Hut.
“Baik. Sangat baik jika ini bukan gembong penipu mama pinta pulsa” gue tersenyum melihat bayangan gue sendiri di cermin.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone