Rindu yang membucah
sampai ubun-ubun. Meluap hingga membanjiri kenangan. Sudah lama tak bersua
dengan hal yang berbau kerja keras, bagi gue itu sangatlah intim. Ada sekeping
kebiasaan yang hilang tertelan setiap dentuman detik di jalur waktu.
Senang, ketika akhirnya
rindu itu terselamatkan oleh sabar. Memperpanjang kinerja denyut nadi selagi
nafas masih mampu menghela oksigen bumi. Telah lama tidak bergelut pada
kerasnya dunia. Mencecerkan keringat demi setumpuk uang. Berdarah-darah
disetiap pekerjaan. Memekakan telinga mendengar umpatan para petinggi
perusahaan.
Rasa syukur tidak
pernah luput dari doa saat sujud diantara heningnya malam. Bagi setiap orang malam
adalah pupuk terlembut yang menumbuhkan perlahan mekarnya bunga tidur.
Menyuburkan mimpi dengan air liur yang mengalir deras di sudut bibir. Namun,
ujung bibir yang gue memiliki ideologi apatis, kalimat yang berbentuk sajak
terangkai satu persatu yang tanpa sadar ternyata itu doa. Doa keluh kesah,
kesehatan, harap, angan, dan segala keselamatan keluarga dan orang-orang
terkasih. Dikirimkan oleh bibir ini ditemani sepasang tangan yang menganga
lebar menadah di udara, berharap ada ridho yang terjatuh dari langit seperti
hujan pelaku banjir.
Tuhan selalu tahu
dimana dan kapan rejeki hambanya akan diberikan. Bagaimana cara hambanya untuk
berjuang menggapai rejeki tersebut. Bukan dengan tidur atau begadang, merokok
sambil menikmati secangkir kopi. Kadang kala beradu debat tentang satu topik
tanpa juntrungan yang jelas.
Secercah sinar mimpi
akan datang dari mana pun. Entah itu lewat sinar surya pagi atau temaram dikala
anggunnya senja jingga. Atau terangnya kerlingan bintang di antara gelap awan
kelam.
Gue menunggu berbagai
panggilan pekerjaan. Lama menganggur membuat gue seperti manusia tak berguna sedunia.
Tak jauh berbeda seperti debu jalanan yang ada hanya untuk mengotori wajah
pengendara.
Kehidupan gue menjadi
tidak jelas tujuannya. Seperti tersesat di tengah labirin tak berujung.
Mondar-mandir kesana kemari tanpa tujuan. Mempikan sesuatu yang direncana tanpa
perjuangan. Menikmati malam hingga pagi bersiul mencukil mentari. Atau menadah
tangan demi segepok rupiah pada keringat orang tua.
Tak berguna. Bodoh.
Bengis. Brengsek. Rasanya percuma terlalu lama mengenyam pendidikan hingga dua
belas tahun tetapi hanya berlabuh pada tumpukan kapuk berlapis selimut bermotif
batik. Menikmati mimpi di saat orang-orang di dunia nyata sedang berpeluh-peluh
menikmati kejamnya dunia fana.
Jangankan orang-orang.
Ayam, burung, bebek dan segala macam binatang mungkin akan menertawai kalau
tahu gue hanya penikmat kehidupan perahu
kapuk. Mereka tahu hidup tanpa perjuangan seperti lelucon tingkat tinggi yang
harus tertawa sampai menangis atau perlu sakit perut.
Setiap sabar akan ada
hasilnya. Tuhan sudah menuliskan garis rejeki untuk hamba-hambanya yang memang
ingin berjuang. Pada dasarnya berjuang adalah harus. Mimpi adalah cita. Harapan
adalah kenyataan. Tak perlu banyak lagi melakukan hal-hal tak berguna.
Menyusahkan orang tua atau menghabiskan jatah lauk yang dimasak ibu di pagi
buta.
Kini, semua telah
berbeda. Ada kesempatan yang dikirimkan oleh sang pencipta alam semesta untuk
gue. Tuhan telah memberikan gue istirahat yang cukup untuk menggali uang
sendiri. Sepertinya tuhan jengah melihat gue begini-begini saja. Kejengahan itu
pun berujung pada pekerjaan yang diberikannya.
Gue bersyukur kesabaran
ini ternyata didengar olehnya. Tuhan memang bukan seorang tuli apalagi bisu.
Walau tak pernah mendengar suaranya, rasa-rasanya petir pun kalah merdu.
Nyanyian tuhan adalah rasa syukur dan berkah bagi kita semua makhluknya.
Bersyukur adalah cara satu-satunya menghargai lantunan itu.
Tak ada yang bisa mengalahkan rasa syukur
kepada tuhan. Untuk kedepannya gue akan melakukan yang terbaik. Melakukan
segalanya sekuat tenaga. Meski darah dan peluh mengucur deras seperti air
terjun, tak peduli. Semua itu adalah tambahan-tambahan ujian yang diberikan
tuhan. Kalau jalan hanya mulus saja seperti jalan tol, untuk apa diciptakan
kecewa.