Cerpenkal : Hati Dalam Dusta
Berpura-pura
untuk cinta sama saja membunuh hati secara perlahan
“ Gue pembunuh! Gue pembunuh! Gue Pembunuh!” Kia
memukul-mukul gundukan tanah yang bertaburan bunga di bawah rintik hujan yang
kian lama membasahi tudung hitam yang membalut rambutnya.
“Seandainya gue tahu akhirnya bakal begini. Gue
nggak akan melakukan perbuatan keji ini. Sial! Gue pembunuh, Maafin gue, gue
emang bangsat!” Kia menghempaskan tubuhnya ke gundukan tanah yang kotor. Memeluk gundukan tersebuat sehingga membuat wajahnya yang cantik seketika berubah coklat karena tanah liat. Air
matanya begitu deras mengucur mengalahkan kecepatan air hujan yang semakin
deras.
Tito berdiri tegak sambil memegang payung dibelakang
Kia melihat cewek itu yang terus-menerus
meraung tak keruan menyesali perbuatannya. Ia sangat mengerti dan tahu bahwa
Kia bukanlah seorang pembunuh. Kia hanyalah seorang cewek yang tak mengerti apa
artinya sebuah keberadaan.
“ Selama lo menangis dan meraung kayak orang gila
begitu, Dia nggak akan bangun lagi. Lo buang-buang waktu disini. Lo justru
menyulitkan dia untuk pergi menghadap tuhan. Gue yakin dia akan tersenyum jika
melihat lo menerima kepergiannya. Tapi kalo lo terus-menerus menangis dan
menyalahkan diri lo sendiri, gue yakin, dia sangat marah pada lo!” Ujar Tito
tegas memberikan keyakinan kepada Kia untuk berhenti meratapi kepergian sahabatnya.
“ Tangisan lo sama saja penderitaannya. Dia sayang
sama lo. Dia nggak mau ngelihat orang yang disayangnya menangis apalagi sampai
meraung seperti serigala kayak gini. Lo ngaca deh, muka lo udah nggak keruan,
mata lo sembab, merah, kantung mata lo hitam, kayak monster!! Lo mau dia nangis
di dalam kubur karena melihat lo begini ? Hah ?!” dengus Tito lalu membalikkan
tubuhnya berancang-ancang untuk pergi “ Kalo lo masih mau disini. Silahkan.
Tapi gue nggak tega ngelihat dia menderita karena sifat lo yang kayak gini”
Tito melangkah pergi meninggalkan Kia yang masih sesak menangis di atas
gundukan tanah, tempat bersemayamnya orang yang dicintainya
----------
Malam pergantian tahun yang sudah ditunggu-tunggu
Iko kini telah hadir. Betapa senangnya Iko menyambut pergantian tahun 2015 ke
tahun 2016. Resolusi di tahun 2015 yang belum tercapai kini menjadi lanjutan
resolusi di tahun yang baru. Serta harapannya ingin bermalam tahun baruan
bersama Kia kini segera terealisasi.
Iko begitu antusias menyambut malam spesial ini.
Setelah mandi, memakai kemeja kotak-kotak berwarna dominan biru serta kombinasi
putih dan hitam, celana jeans, rambut disisir lalu diacak-acak lagi, dan tidak
lupa memakai parfum. Sebelum beranjak dari kamar, Iko pastikan sekali lagi di
depan cermin, menatap sekujur tubuhnya dari ujung kaki hingga kepala, lalu
tersenyum miring.
Sambil menyisir rambutnya dengan jari dan
memiringkan alis sebelah kanan Iko mengucap “Ganteng juga gue”
Iko menekan bel yang berada di samping gerbang. Lalu
Iko berjinjit di depan gerbang berharap
cewek yang ditunggunya segera keluar dari balik pintu. Tak ada jawaban selama
Iko tiga kali menekan bel, sebelum bel ke empatnya di tekan, cewek yang
ditunggunya akhirnya keluar dengan cantik seperti cinderalla di cerita dongeng.
Meski tidak memakai gaun dari bidadari dan kendaraan labu atau apalah, Ika
keluar rumah disambut dengan senyuman Iko.
Dengan stelan hoodie
merah marun, celana jeans yang dilipat diujungnya dan sepatu converse abu-abu,
membuat Kia terlihat casual. Ini lah
yang disukai oleh Iko dari penampilan Kia yang tidak terlalu ribet. Karena Iko
tidak suka dengan perempuan yang penuh dengan gaya bak ratu tidur. Pakai gaun
panjangnya sepanjang tol jagorawi atau mengharuskan cowoknya memakai jas. Itulah
alasan kenapa Iko nyaman dan sangatlah suka dengan Kia.
“Maaf ya gue kelamaan dandannya hehehe” Kia
tersenyum merasa bersalah.
“Nggak apa-apa kok selow aja kali. Mau lima puluh
tahun lamanya juga gue jabanin hahahaha”
“Ah bisa aje lo” Kia menodorong bahu Iko seraya
tersenyum melihat tingkah Iko yang kian lama membuat hatinya berdegup kencang.
Dengan motor matic
milik Iko, mereka berdua menyusuri
jalanan Ibu kota yang gemerlap cahaya lampu jalan serta tingginya gedung-gedung
pencakar langit. Sorot lampu jalan menerangi mereka berdua, seakan mereka
berdua adalah pemeran romeo dan Juliet di sebuah drama panggung yang ditonton
oleh halayak ramai.
Perjalanan mereka berujung di sebuah pancuran yang
menjadi ikon metropolitannya Jakarta. Yaitu, bundaran HI. Dipinggiran jalan HI
mereka duduk di atas motor bercengkrama, tawa selalu menyertakan di setiap obrolan
mereka, sambil menikmati jagung bakar mereka menanti waktu yang telah
ditunggu-tunggu oleh orang-orang di seluruh dunia. Tepat pukul 00.00 hari
pergantian tahun.
“Tahun depan resolusi lu apa ? “ Tanya Kia lalu
mengigit biji-biji jagung yang berwarna hitam dan kuning.
“Hmm..rahasia” ledek Iko.
“Yeee dasar. Jawab nggak lo!!” Paksa Kia sembari membuat
gaya seakan ingin memukul Iko dengan jagung yang sudah dimakannya
“Iyaa..iyaa gue jawab. Baperan sih weeee” Iko
menjulurkan lidahnya lalu ia memalingkan tatapannya kearah pancuran air di
bundaran HI. Tatapannya fokus ke aliran air tersebut lalu ia tersenyum dan
menyodorkan wajahnya ke wajah Kia. Kini wajah mereka berjarak hanya sejengkal “Resolusi
gue tahun depan cukup lo jadi pacar gue hahahahaha”
Ucapan Iko yang terkesan bercanda justru membuat Kia
terdiam seribu bahasa. Tak ada senyum yang terlukis di wajahnya. Hanya ada raut
wajah yang datar tanpa warna disana. Tatapan Kia kosong tak berisi apapun, Kia
seperti terisi oleh makhluk halus di acara Dunia Lain. Sikapnya yang tiba-tiba
berubah seperti orang kesambet, membuat Iko panik. Ia pun menghentak-hentak
tubuh Kia.
“Ki..Kiaaaa..Lu nggak apa-apa kan ?” tanya Iko
risau.
Kia tersadar dalam goncangan tangan Iko di lengannya
“Gue nggak apa-apa kok hehehe. Ihh lihat tuh kembang apinya bagus banget” Kia
menunjuk kearah langit yang dihiasi warna warni kembang api. Senyum lalu
tergambar di wajahnya, Iko pun demikian. Mereka saling tersenyum melihat riuh
rendahnya ledakan dan lukisan kembang api di langit gelap malam ini. Dibalik semua itu ada sebuah rahasia yang
membuat Kia bimbang dalam menjalani hidupnya saat ini. Sebuah kesalahan yang
seharusnya tidak ia lakukan. Kesalahan besar. Hatinya seperti meledak-ledak
layaknya kembang api. Sama tapi beda, ledakan kembang api yang indah sangat lah
berbeda dengan ledakan kekawatiran hati Kia yang carut marut tak keruan.
------------
“Hah ? lo jalan sama Iko ? Gue pikir lu cuma nggak
enak sama dia gara-gara dia sering nembak lu terus nggak lu terima-terima” Ujar
Reni kaget setelah mereka keluar dari toilet.
“Gue sih sebenarnya emang nggak suka sama dia, tapi
mau gimana lagi ya, ren. Dia tuh orangnya udah baik banget ke gue, guenya juga
nggak enak kalo harus ninggalin dia tiba-tiba apalagi harus bilang kalo gue
emang terpaksa jalan sama dia” Sahut Kia sambil mengikat rambutnya dengan karet
berwarna merah pemberian Iko.
“Terus..terus gimana dong kalo dia bener-bener jatuh
cinta sama lo. Jangan bikin orang sampe tergila-gila sama lo, Ki. Ntar kalau lo
tinggal, bisa gila tuh Iko”
Kia menepuk pundak Reni. Mereka berdua berhenti
sejenak “Tenang aja Reni ku sayang. Gue nggak sejahat itu kok. Setelah selama
ini gue jalanin kepura-puraan gue dengan Iko, ternyata Iko tuh orangnya asik
dan gue---” Kia membisikkan kata-katanya ditelinga Reni yang membuat Reni
awalnya kaget lalu berubah menjadi kepanikan setelah menengok kebelakang
tubuhnya ternyata Iko sudah berada di balik tubuh mereka berdua selama percakapan
mereka tentang cowok itu berlangsung.
Iko berdiri gagah disana dengan tatapan bengis.
Hatinya hancur ketika mendengar pernyataan Kia barusan. Padahal semua harapan
dan cintanya sudah di letakkan tepat di hati Kia selama ini. Cewek yang
diharapkannya kan menjadi pacarnya ternyata menyimpan sebuah kepura-puraan
selama ini. Selama ini ternyata hanya semu yang dirasakan Iko. Semua kasih
sayang, kata-kata cinta yang terlontar dari Kia ternyata hanya bayangan
bukanlah nyata. Harapan yang diinginkan Iko kepada Kia ternyata palsu, semua
tak akan terwujud.
“Gue udah tahu semuanya” Iko tersenyum, menjadikan
senyumannya sebagai topeng kemarahannya terhadap Kia.
“Iko, kok kamu disini ?” Kia bingung harus berkata apa
lagi tapi dia mencoba menjelaskan “Ini nggak seperti yang kamu dengar tadi,
sebenarnya aku say----” ucapannya terpotong oleh Iko.
“Cukup!!” Teriak Iko membuat Kia dan Reni mundur
satu langkah karena takut “ Lo nggak usah takut begitu, Ki. Gue cuma mau ngasih
tahu ke lo kalo gue bukan orang yang haus akan cinta. Gue nggak butuh
keberadaan orang yang nggak benar-benar mencintai gue. Selama ini gue memang
sayang sama lo, gue cinta sama lo, dan bahkan dengan bodohnya gue berharap lo
akan menjadi milik gue”
Iko menghela nafas panjang menahan sesak yang
mendera hati. Iko mencoba menyeimbangkan kemarahannya dengan ketenangannya
dalam berbicara “Ternyata selama ini gue mencintai orang yang salah. Orang yang
berpura-pura dengan sandiwaranya membuat adegan dengan sempurna di hadapan gue.
Gobloknya gue adalah gue sebagai penonton sangatlah terkesima melihat adegan
bodoh lo itu. Gue terhipnotis dengan kemampuan lo saat berdrama” Iko bertepuk
tangan, Kia hanya bisa menunduk melihat lantai “ Selamat Kia, drama lo selesai
disini. Gue sebagai penonton cukup kagum dengan penampilan lo selama ini.
Semoga tuhan memberi berkah dengan kemampuan drama lo ini. Mungkin setelah
lulus nanti, lo bisa gantiin Luna Maya di dunia sandiwara hahahaha” Ujar Iko
sarkas lalu pergi meninggalkan Kia. Sebelum langkahnya menjauh dari Kia, Iko
berhenti lalu berbalik menatap lekat mata Kia yang tak lagi menunduk, “Brengsek!”
Iko pergi, langkahnya tak sadar ditemani air bening
dari pelupuk mata. Ia tak mau dilihat seseorang kalo dia sedang menangis hanya
karena cewek brengsek yang mempermainkan hatinya. Disisi lain, Kia salah. Waktu
dan tempat tidaklah tepat baginya. Sesungguhnya apa yang dikatakan Kia tadi
benar adanya, ia sangatlah tidak ingin di dekati ataupun ingin menolak
kehadiran Iko. Namun, hati berkata lain. Semakin lama hati bertemu, semakin
banyak butir-butir cinta yang tumbuh membentuk rasa sayang. Begitulah yang
dirasakan Kia, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Iko lah bagian dari
hatinya. Sayangnya, Iko sudah terlanjur marah kepadanya.
----------
Dua hari Iko tidak masuk sekolah membuat Kia risau.
Dia fikir mungkin Iko sedang sakit atau cabut sekolah karena tidak ingin
bertemu dengannya. Namun, Iko bukanlah orang yang sangat bodoh dan gila karena
cinta sampai tidak sekolah karena ingin menghindari Kia.
Setelah bel masuk berbunyi, siswa-siswi memasuki
kelas dengan teratur. Sebelum pelajaran dimulai, terdengar suara ketukan mic dari speaker di ujung ruang kelas.
“Tes.Tes.” suara guru BK dibalik speaker hitam yang
bergantung “Innalillahi wa innaillahi rojiun. Kabar duka cita bagi kita semua
atas meninggalnya salah satu keluarga kita ananda Federiko Kalama tadi pagi-----”
Suara dari speaker tersebut seketika senyap di
telinga Kia. Dia tidak bisa percaya dengan kenyataan ini. Kenapa ? Kenapa ?
Kenapa ? Pertanyaan tersebut terus bertubi-tubi mengerubungi otak Kia. Dia
seperti orang gila yang kacau. Wajahnya ia benamkan ke permukaan meja,
rambutnya ia gosok-gosok dengan telapak tangannya hingga membuatnya kacau
balau.
Hatinya hancur seketika berkeping-keping seperti
pecahan gelas.
“Nggak mungkin! Nggak mungkin Iko meninggal. Iko
nggak boleh meninggal!! Iko jangan tinggalin gueeeeee!!” Tiba-tiba Kia
berteriak uring-uringan di kursinya. Ia berdiri lalu berlari keluar kelas. Reni
yang duduk disampingnya dan dibantu teman sekelasnya dengan sigap mengejar Kia
yang berteriak seperti orang tidak waras.
Dengan kekuatan dari lima anak laki-laki dikelas,
Kia akhirnya berhenti meraung-raung. Dia dibawa ke ruang UKS untuk meredam
kekacauan hatinya yang kalut karena ditinggal Iko.
Bunyi decikan pintu mengalihkan perhatian Reni yang
sedang menjaga Kia. Sumber suara tersebut ternyata diciptakan oleh Tito, teman
baik Iko.
“Iko nitipin ini” Tito menyodorkan gelang yang
bertuliskan Iko ke Kia.
“Makasih ya, to” Kia menerima gelang yang diberikan
Tito itu, lalu dipakainya di tangan kanannya.
Tak kuasa air mata Kia lagi-lagi berjatuhan
membasahi tangan dan gelang pemberian Iko.
“Gue yakin, Iko pasti seneng ngelihat gelang yang
dibuatnya udah dipake sama orang yang disayanginya” ujar Reni seraya tersenyum
ke arah Kia. Kia pun tertunduk menatap lekat gelang yang bertuliskan nama IKO.
Tak sadar tatapannya membuahkan senyum yang indah diwajahnya.