Merelakan Luapan Banjir
Hujan. Hujan. Hujan!
Fenomena alam yang paling labil dari segala fenomena
alam lainnya. Orang akan minta hujan ketika musim kemarau. Setelah hujan datang
mengganti posisi kemarau yang sedang asik mengikis asupan air tanah, justru
beberapa orang meminta untuk hujannya berhenti dan kembali ke musim panas.
Maunya apa sih nih ?
Serba salah. Apalagi buat orang yang tinggal di
pinggir kali. Lebih tepatnya mepet sama kali percis. Pastinya nggak kaget lagi
kalo rumahnya bakal berubah jadi Samudra Hindia pas musim hujan. Contohnya gue,
rumah gue percis banget di samping kali. Makannya setiap kali temen-temen gue
datang ke rumah pas musim hujan, gue pastikan mereka bisa berenang. Minimal
bawa pelampung dari rumah untuk mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak
diinginkan. Seperti tenggelam atau ketelan hiu.
Beberapa hari yang lalu gue nonton film Thailand yang
keren abis ceritanya. Selain alur ceritanya yang ciamik dan lucunya merusak
rahang, film ini menurut gue menggambarkan kehidupan gue banget sebagai panitia
tetap pelanggan banjir meskipun realitanya nggak terlalu banyak mengandung
romantika. Setidaknya film ini mengingatkan kembali dengan kejadian banjir yang
sudah lama nggak melanda rumah gue. Film yang berjudul Love At First Flood
menggunakan latar banjir sebagai tema ceritanya. Entah kapan mereka bisa
syuting pas di tengah banjir saat itu. Pastinya mereka akan terus berharap
banjir nggak surut-surut saat melakukan proses produksi film.
Nih fimnya, recommended buat yang suka banjir-banjiran
-----
Wahai
hujan, kenapa kamu menciptakan banjir ?
Gue teringat saat banjir parah melanda rumah gue
lima tahun yang lalu. Seinget gue sih, lima tahun yang lalu nih ya.
Mudah-mudahan bener kek lima tahun yang lalu. Saat itu diluar rumah hujan
sangat deras ditambah angin bertiup begitu ganasnya menerpa segalanya yang
tidak menyukai kehadirannya. Pohon di depan rumah menukik tajam ke tanah,
seperti terkena osteoporosis karena salah duduk sewaktu muda. Hewan-hewan
seperti kucing, tikus, belalang dan burung berburu tempat yang dapat
menyelamatkan mereka dari rintik hujan. Nggak jarang mereka malah masuk kerumah
gue, kalo udah gini nyokap pastinya sudah siap dengan sebilah sapu ijuk di
tangan kanannya. Siap kapan saja mengusir mereka para hewan yang ingin mengungsi
di dalam rumah.
Gue di dalam kamar ketakutan kayak anak kucing
kehilangan induknya di tengah pasar. Gue meringkuk di atas kasur sambil
menutupi kepala dengan bantal berusaha supaya suara geledek yang menggelegar
itu tak tertangkap oleh telinga. Nyokap di depan pintu memantau aliran air yang
semakin lama meluap ke jalanan depan rumah. Gawat. Banjir!
Sekedar informasi, nyokap gue selalu tahu kapan akan
terjadi banjir atau tidak. Tandanya kalo tidak terjadi banjir, nyokap akan
biasa-biasa saja dengan tiduran di depan tivi sambil nonton film india. Tetapi
kalau intensitas hujan sudah tidak bisa dibendung lagi oleh sungai di samping
rumah gue, akan ada teriakan seperti sirine dari nyokap ‘Naikin semua
barang-barangnya buruan! Air udah masuk!’ Kalau udah denger suara peringatan
itu pastinya dengan cepat gue akan mengikuti perintah beliau.
Barang-barang yang dianggap penting akan lebih dulu
di letakkan ke tempat yang lebih tinggi. Biasanya di atas lemari. Sialnya,
rumah gue tidak ada tingkat dua yang mampu menampung barang-barang penting di
sana. Rumah gue yang tidak memiliki tingkat mau tidak mau harus lebih
bervariasi menggunakan ruang yang lebih tinggi sebagai tempat yang aman dari
air. Selain diatas lemari, bokap pernah bikin tempat khusus untuk menyimpan
barang-barang seperti dvd, tv, kipas angin dll diatas tembok. Tempat itu dibuat
dari papan yang ditopang dengan sebuah besi yang berbentuk siku-siku dan
ditempel di tembok. Memang harus kreatif kalo tinggal di pinggir kali mah.
Untungnya nyokap dan bokap juga sudah membuatkan meja untuk kulkas supaya tidak
langsung berdiri diatas lantai. Disini gue menyadari kalo kreatifitas ternyata
bisa juga tercipta dari keadaan
terdesak. Ya, seperti banjir ini.
Nyokap yang menjadi leader kala menyuruh gue dan
bokap mengangkat segala barang ke tempat yang lebih tinggi, wajahnya mulai
mengerut melihat air yang lama-kelamaan perlahan mengalir ke dalam rumah.
Bendungan yang dibuat dari kain dan kayu tepat di depan pintu tidak mampu
menahan aliran air yang membludak. Byur…byurr..byurr. Air kecoklatan itu
akhirnya masuk tanpa permisi. Beruntung, semua barang-barang telah
diselamatkan.
Air semakin lama semakin tinggi hingga sebetis kaki
gue. Nyokap menyarankan gue gue untuk mengungsi ke rumah tante yang tidak jauh
dari rumah. Beruntung sekali tante gue karena rumahnya berada di daratan yang
jauh dari kali. Awalnya gue tidak mau mengungsi karena ingin menjaga rumah
sampai banjirnya surut.
‘Nggak mau. Dirumah aja’ sahut gue menolak.
‘Kerumah tante aja sono kamu disini malah nyusahin,
adek kamu udah disana’ nyokap gue menarik tangan gue. Sekilas terdengar sakit
sekali ketika gue dibilang nyusahin, padahal sebandel-bandelnya gue ke nyokap
palingan cuma berak di depan kamar mandi karena nggak bisa nahan. Udah itu
doang kok.
‘Iyaudah deh’ gue nggak bisa ngelawan lagi. Mungkin
disini nyokap nggak mau ngeliat anak tertuanya hanyut disapu air dan berenang-renang
ria dengan tokai.
Gue digendong bokap melewati jembatan yang sudah
tidak terlihat wujud aslinya karena sudah tertutup oleh genangan air yang
keruh. Setelah mengantar gue ke rumah tante, bokap balik lagi kerumah. Di rumah
nyokap sudah menunggu.
Sebenarnya gue nggak mau ngungsi di rumah tante.
Memang sih lebih nyaman tinggal di rumah tante. Gimana nggak nyaman, AC ada, TV
LCD ada, kasur empuk ada, kipas angin merk jepang ada, lemari juga terbuat dari
kayu jati. Kurang apa coba ? Udah kayak apartemen. Kalo dibandingin sama rumah
gue jauh banget perbedaanya. Kayak perbedaannya Manchester United dan
Manchester City dah. MU punya 20 gelar liga inggris, sedangkan City ?
Ah..sudahlah nggak enak nyebutinnya.
Di rumah tante, gue berbaring di atas kasur yang
dibalut sprei bermotif Lighning Macqueen di film cars. Menatap langit-langit
lalu memindaikan pandangan kearah AC yang menunjukkan angka 18. Buset ! Pantesan
dingin banget daritadi! Gue menyergap remot AC itu lalu mematikannya. Gue suka
kasian sama nyokap dan bokap kalo lagi banjir begini. Gue nggak bisa bantu sama
sekali. Bukannya nggak bisa bantu, tapi nyokapnya yang selalu nganggep gue anak
kecil. Padahal gue udah 13 tahun. Sial, apa gue masih terlalu imut ?! Gue
mendengus kesal.
Gue selalu merasa tidak enakan sama nyokap dan bokap
kalau mengungsi dirumah tante, karena disini gue bisa merasakan fasilitas yang
mewah dan makanan yang enak. Bisa tidur ditemani AC dan TV. Sedangkan Bokap
sama Nyokap ? Tidur diatas kasur yang tergenang ditengah air. Belum lagi kalo
ada tokai yang tanpa assalammualaikum masuk kerumah dan mengelilingi ranjang.
Bayangin dah gelinya kayak apa itu ? Bawaannya mau banana bout-an aja kalo ngeliat tokai masuk ke dalem rumah. Itu
masih mending kalo cuma tokai yang diusir nggak bakal ngelawan. Gue pernah lagi
maen-maen air waktu kecil pas banjir juga, tiba-tiba ada ular menggeliat
dilantai rumah gue. Gue yang panik langsung sekilat mungkin ngambil sapu. Plak! Ulernya nggak mati. Plak! Ulernya mulai keliyengan. Plak! Ulernya tidur untuk
selama-lamanya. Itu yang gue takutin, apa-apa lagi enak-enaknya tidur tanpa
disadari ditengah nyokap dan bokap udah ada uler sambil bersis-sisss ria.
Sampai akhirnya dua hari banjir baru surut. Selama
dua hari itu banjir kadang surut, kadang naik. Tergantung intensitas hujannya.
Seharian ini untungnya hari menampakkan sinar yang cerah. Senyuman matahari
mampu menggiring gue ke rumah menggantikan bokap yang kerja untuk membersihkan
kotoran sampah, lumpur, kecoa dari dalam rumah.
Ketika sedang menyeret lumpur dan sampah keluar
rumah. Lalu menyiramnya dengan air. Terlintas dipikiran gue bayangan seorang
cewek. Mantan. Kenapa disaat ini mantan harus datang mengganggu gue ? dan
kenapa anak umur 13 tahun udah punya mantan pacar ? Laporin kak seto juga nih!
Gue memandangi lumpur yang tergenang air. Mengendap
didalamnya seperti sedang berpelukan. Gue menopang gagang serokan banjir ini di
dagu gue sambil berpikir. Ternyata hujan
dan banjir sama pacaran itu nggak jauh beda ya. Bahkan sama.
Pacaran itu layaknya hujan. Kadang ada yang menanti dan kadang juga tidak ada
yang benar-benar menginginkannya dengan segala macam alasan tertentu. Ketika
hujan datang selalu tercipta banjir yang meluapkan segala amarah dari dalam
hati. Puncaknya pacaran akan teruji ketika banjir datang. Apa itu banjir ?
Banjir bisa dibilang sebuah bentuk masalah di tengah sebuah hubungan.
Saat banjir datang, gue akan bergegas menyelamatkan
apapun yang bisa gue selamatkan supaya tidak tertangkap oleh genangan air.
Begitu juga saat kita pacaran. Ketika masalah datang seharusnya kita tahu apa
yang akan kita selamatkan dan apa yang harus kita pertahankan. Apa ? Ya,
hubungan kita dengan pasangan. Mungkin akan banyak cercaan seperti tokai yang
mampir kedalam rumah merusak ketenangan hati kita. Disitu lah masalah akan
semakin menguji kita.
Didalam permasalahan sudah sepatutnya kita mengerti
bagaimana menanganinya. Kalau sudah tidak menemukan jalan keluar yang menuju
pada kesepakatan yang menggembirakan. Pada akhirnya kita akan menuju suatu
garis yang berujung di titik yang bernama ‘Merelakan’. Seperti nyokap dan bokap
gue yang merelakan gue dan adik gue untuk mengungsi ketempat yang lebih nyaman.
Mereka tahu apa yang baik buat gue dan apa yang buruk buat gue. Buruknya jika
gue tetap berada di rumah, gue akan semakin sulit mejalankan aktifitas gue.
Tetapi mereka merelakan itu demi gue yang mereka sayangi.
Kaitkan dengan pacaran, merelakan bukanlah keputusan
yang selamanya buruk. Selama kita punya tujuan baik untuk merelakan orang yang
kita sayangi, setidaknya orang yang kita sayang tidak merasakan kesulitan yang
kita rasakan ketika bersama-sama. Meski sakit, merelakan lebih baik daripada
selamanya terasa sesak
Why you should gamble online for money at the casino
BalasHapusA gambler 대전광역 출장안마 can be 통영 출장샵 hard to find 강릉 출장마사지 at casinos, especially in gambling halls. If you've ever found 강릉 출장안마 a site that offers a gambling 공주 출장안마 option,