Setiap orang perlu salah untuk mendapatkan
kebenaran yang absolut.
Semua berawal dari perjalanan gue menuju
kampus London School of Public Relations di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat
untuk menonton penampilan teater temen gue, Oca. Ketika jalanan macet, motor
yang gue kendarai berada dibelakang mobil sehingga pandangan gue terhalang bodi
besar mobil tersebut. Gue memiringkan kepala, menyorot pandangan disisi kanan
mobil mencari jejak teman gue yang sudah berada jauh di depan. Namun wujud
motornya tidak terlihat. Patokan gue adalah helm merah yang dipakai Pia yang
duduk diboncengi Ai. Banyak. Banyak banget kepala manusia yang memakai helm
merah serupa yang dipakai Pia. Dimana pia yang beneran ?!!
Saat motor gue sudah sampai di persimpangan
antara jalan menuju flyover dan menuju
jalan raya lainnya, gue bingung. Pikiran gue menimbang-nimbang kanan dan kiri.
Akil yang duduk dibelakang juga bingung harus ke kanan menuju fly over atau ke kiri menuju jalan raya
yang nggak gue tahu namanya. Gue dan Akil sama sekali tidak tahu jalan menuju
London School. Ternyata memilih jalan lebih membingungkan dibanding memilih jodoh.
“Ke kanan apa ke kiri ?” tanya gue resah
sedangkan bunyi klakson motor dan mobil terus-terusan berteriak.
“Gatau” jawab Akil sambil nengok kanan lalu nengok
kiri.
“Kiri kali ya ?” gue mengambil keputusan asal
berharap benar.
“Yaudah kiri aja” Akil dengan mudahnya
sepaham dengan keputusan gue yang tanpa dasar apapun.
Ketika stang
motor gue berbelok kekiri, Akil melihat keatas flyover, Ai dan Pia sedang melaju di antara kemacetan flyover. Mantap. Ternyata gue salah
pilih jalan. Gue lalu berhenti di sisi jalan mencari solusi yang tepat untuk mengejar
Ai dan Pia.
“Aduh, gimana dah nih ?” gue membuka helm
mengacak-ngacak rambut lalu memaki helm lagi. Nggak jelas memang, tapi dengan
mengacak-ngacak rambut mudah-mudahan ada sedikit ide yang muncul.
Opsi yang gue pilih berkat berpikir dengan
mengacak-ngacak rambut adalah memutar balik. Lawan arah adalah pelanggaran lalu
lintas yang paling sering gue lakukan di jalanan dekat rumah. Walaupun sering
lawan arah, untuk kali ini kayaknya gue harus benar-benar meyakinkan diri untuk
melakukan tindakan berpasal itu. Takut-takut ada polisi yang menyergap gue lalu
menilang, habis uang gue nanti. Dengan tarikan napas panjang gue memutar motor.
Selama melawan arah tidak lebih keji dibanding melawan orang tua, akhirnya gue
memutuskan untuk melawan arah.
Entah, tiba-tiba muncul darimana ada tukang
es cincau melintas. Bapak-bapak setengah baya memakai topi cowboy dengan handuk yang tersemat dilehernya sedang mendorong
gerobak. Dengan santainya abang cincau itu berjalan mengahadap arah yang
berlawanan. Motor-motor yang melintas didepannya tidak ada yang protes. Seperti
tidak ada yang salah dengan abang cincau ini. Salut buat abang cincau.
“AHA!” gue mengangkat jari telunjuk ke udara
disamping kepala. Kemudian ada bohlam kuning yang menyala terang diatas kepala
gue.
Berkat ide yang tiba-tiba muncul, gue pun membuntuti
abang-abang cincau itu dari belakang. Beruntungnya lagi abang cincau itu
ternyata juga menuju ke flyover. VOILA!. Detik itu juga abang cincau berubah
seperti dewa keberuntungan untuk gue. Tanpa cela atau teriakan klakson dari
mobil dan motor yang melintas, dengan lincah kayak messi lagi gocek-gocek gue
menyebrang ke flyover, lalu BAM. Gue
sudah berada di area flyover. Thanks abang cincau jasamu tiada tara.
Tidak perlu waktu lama gue menelusuri
sepanjang jalan yang diramaikan oleh orang-orang yang baru pulang kerja. Memacu
motor di cela-cela mobil. Menahan sabar dan batuk karena debu yang menghempas
wajah kusam gue. Tidak lama setelah itu Ai dan Pia sudah menunggu didepan
Sevel. Kemudian agar tidak membuang waktu lagi, kami segera menarik gas lalu
meluncur ke London School.
---uUu---
Kami masuk ke dalam kampus London School.
Ketika sampai disana teman gue Gadis dan pacarnya sudah menunggu, mereka datang
jauh lebih dulu dari gue, Pia, Akil, dan Ai. Saat masuk dan menunggu di semacam
ruangan recepsionis, kami langsung disuguhkan desain interior yang menciptakan
kekaguman dibenak gue. Kesan klasik dan elegan terpancar dari ruangan ini.
Beberapa piala terpajang di tengah ruangan. Pernak-pernik berwarna emas dan
merah mendominasi, bingkai mahal berharga ratusan juta tergantung di dinding
yang bermotif emas. Rasanya ini tidak seperti kampus, tapi seperti ruang tamu
rumah-rumah orang kaya. Wajar sih, kampus mahal coy. London School coy!! Ya
kali kampus mahal temboknya dibuat pake kardus indomie terus gentengnya dari daun
pohon pisang. Ya, kagaklah.
Udah gitu aroma anak-anak gaul begitu jelas
terasa. Dari cowok-cowok yang memakai snapback
dikebelakangin, rambut klimis, cara ngomong mereka yang di mix dengan bahasa inggris, dan cara jalan mereka menegaskan bahwa
dia gaul. Lemah lembut kayak takut nginjek taik kucing gitu dah. Gue rada
minder, apalagi melihat keadaan style gue
yang terkesan seperti abang-abang kredit mau nagih uang kerumah-rumah. Muka
kucel, dekil, berdebu kayak patung pancoran, badan bau matahari, cela-cela kuku
banyak kotoran hitam, fix tau gini mending gue pulang.
Belum lagi di sini banyak cewek-cewek borjou. Cewek berkelas yang kalau ke
mall minimal maen ice skating. Wajah putih mulus terawat, pusar diperut yang
bertebaran kemana-mana, paha mulus crunchy
nggak ada bekas knalpot kayak paha ayam di KFC, jadi pengen gigit paha-paha
mereka, kemudian aroma wangi berkat parfum mahal menyebar dari lipatan ketek lembab
mereka, leher dan tengkuk juga sangat putih seperti memanggil untuk dicupang,
dan cewek-cewek disana dimata gue wajahnya mirip semua. Nggak tahu kenapa,
pokoknya mirip. Cakep semua.
Acara dimulai, kami duduk di barisan ketiga
dari panggung. Gue duduk disisi paling pinggir. Ya, gue memang selalu dipinggirkan.
Acara dimulai dengan sambutan dari ibu-ibu yang membuang-buang waktu dengan
bahasa inggris. Gue dengernya sambil mengangguk-ngangguk sok ngerti.
“Ladys and gentleman
bla..bla…bla…bli..blu..ble..blooo” Ibu-ibu dengan model rambut bob itu berdiri
menjadi pusat ratusan pasang mata.
“Lo ngerti kal ?” tanya Ai disamping gue.
Gue balas dengan anggukan sombong.
“Wihhh ngeriii…Beneran lu ngerti ?” Ai begitu
antusias.
Gue menoleh ke arahnya, menatap matanya lekat-lekat,
secepat mungkin sebelum ada perasaan cinta yang terpancar dari bias cahaya matanya,
gue memalingkan wajah.
“Kagak!” seru gue lalu cengengesan.
“Jahahaha goblok”
Lampu mendadak mati. Ruangan gelap gulita.
Cahaya hanya menyorot bagian panggung, memudahkan penonton untuk fokus.
Teman-teman mulai kawatir takut gue menghilang. Gue juga takut kalau tiba-tiba
kulit gue yang hitam ikut larut dalam kegelapan kemudian gue lenyap pindah ke
dimensi lain.
Tirai besar bewarna merah marun bergesar
membuka panggung. Tepuk tangan mengiringi pementasan acara yang diawali dengan
tarian tradisional Sumatra barat. Gue kagum dengan gerakan wanita-wanita cantik
diatas panggung. Lincah, gesit, dan cute.
Badan mereka dengan lentur meliuk-liuk kesana kemari kayak uler kobra.
Menghentak-hentakan kaki seperti memanggil dajal. Sebagai anak keturanan padang
dan darah minang begitu deras mengalir di dalam tubuh. Gue cemburu, gue nggak
bisa apa-apa untuk membanggakan tanah kelahiran leluhur gue. Gue gagal jadi keturunan
rendang. Mau jadi apa gue ini, yang bisa gue banggain sebagai keturunan minang
cuma pengalaman pas TK nari dinding pak dinding dan melanjutkan jiwa pelit khas
orang padang. Cukup membanggakan, sih.
Taeter yang bertajuk Siti Nurgaya ini
disajikan secara berbeda. Awalnya gue pikir pementasannya akan kelihatan kuno
dan membosankan. Tetapi dugaan gue jauh berbeda. Tradisional dengan sajian yang
modern. Mulai dari penggunaan bahasa inggris dalam percakapan mereka membuat
gue bekerja ekstra keras untuk mengartikannya. Saking bingungnya gue sempat berpikir untuk
mentranslate ucapan mereka di google translate atau membuka kamus tebal setiap
kali para pemain ngomong. Tapi nggak mungkin, yang ada sebelum gue selesai
mengartikan satu kalimat tanpa gue sadari acaranya udah kelar kemudian cuma
sisa OB yang lagi bersihin panggung. Meskipun begitu, ya lumayan ada satu dua
kata yang gue ngerti. Gue nggak bego-bego amat kali ah. Selama menonton gue sih
menikmati penuh antusias. Apalagi yang jadi Siti Nurbaya. Masyallah mata ini
nggak bisa berkedip melihat tuh cewek, wajah oval, hidung mancung, rambut lurus
hitam halus, dan lekukan bibir yang menggoda membuat siapa saja terhipnotis
ketika memandangnya berlama-lama. Kemudian ada keinginan untuk mendekapnya lalu
berbisik ditelinganya “itu muka cakep amat neng, sini abang elap pake kaos
kutang abang.“
---uUu---
Pertunjukan selesai kami bergegas meluncur ke
parkiran.
Gue menyalakan motor lalu membuntuti motor
gadis dan cowoknya yang berada didepan. Mereka naik ke atas flyover gue mengikuti tanpa ragu.
Sepanjang jalan di flyover perasaan
gue mulai nggak enak. Gue melihat sekitar tidak ada motor lain yang melintas.
Hanya mobil. Mata gue melirik ke kaca spion, ai dan Pia juga tidak tampak
dibelakang. Hanya ada lampu mobil yang membuat gue memicingkan mata.
“Kil, lu sadar nggak sih motor tuh cuma kita
doang ?” ujar gue ke Akil meyakinkan keraguan yang daritadi mengganggu otak.
“Lah, iya juga ya kayaknya kita salah jalan
deh” lagi-lagi dia hanya mengikuti pendapat gue.
Gue melirik sekali lagi ke kaca spion. Benar
saja ternyata flyover ini dikhususkan
untuk mobil. Gue berdoa supaya tidak ada polisi didepan. Sedetik kemudian, 50
meter didepan musibah muncul, sudah ada bapak-bapak berbaju coklat dibalut
rompi hijau berdiri gagah dan siap menerkam gue. MATI!
Gadis dan cowoknya mencoba menghindar dari
jeratan polisi. Namun gagal. Gue mengendurkan gas, sudah tahu nggak akan bisa
berbuat apa-apa lagi. Seandainya bisa nge-cheat
motor terbang, pasti gue lakuin. Sayangnya gue hanya bisa pasrah dan langsung
menghampiri polisi itu tanpa disuruh. Gue mah gitu orangnya, polisi aja gue
samperin.
Walaupun gue tahu saat ini gue nggak bisa
melakukan apa-apa untuk menghindari polisi. Ada tiga opsi yang memungkin
dilakukan saat keadaan mendesak seperti ini.
Pertama,
muter balik. Namun, melihat dibelakang mobil melaju nggak santai, yang ada gue
di tabrak. Oke, cancel opsi ini.
Kedua, pura-pura
bego. Hmm… nggak deh, nggak banget. Udah bego ngapain dipura-purain.
Tiga, loncat
dari flyover terjun payung. Oke, gue mulai stress.
Akhirnya nggak ada opsi yang gue pilih.
Pasrah ajalah.
“Tunjukin surat-suratnya” gumam polisi itu
sudah siap dengan pulpen dan kertas tilang.
Akil sang pemilik motor menyerahkan stnk dan
ktp gue.
“SIMnya mana ?” tanya lagi pak polisi.
“Nggak ada pak hehehe” gue cengengesan
untungnya pak polisinya baik. Takutnya gue di cekek gara-gara nggak sopan.
“Tanggal 5 hari jumat ambil di pengadilan ampera.
Deket kan dari rumah kamu ?” ujar pak polisi dengan nada ramah sambil
memberikan surat tilang dan ktp gue.
Berbekal cerita pengalaman temen-temen gue
yang pernah ketilang, bujuk pak polisinya lalu berikan uang yang ada didompet.
Gue pengen menempuh jalur damai supaya stnk Akil nggak di sita.
“Nggak bisa dipercepat apa pak ? jumat besok
saya sibuk” ujar gue memulai sepik kode.
“Bisa diwakilin siapa saja”
“Tapi kalo nggak bisa jumat besok ?” gue
terus memberikan kode.
“Kamu ambil di kejaksaan ranco, itu juga
deket dari rumah kamu” sial, mentang-mentang abis ngeliat ktp gue, dia jadi
tahu rumah gue. Mudah-mudahan dia nggak mampir, deh.
“Tapi pak ,saya bener-bener nggak bisa,
emangnya nggak bisa diselesain disini?” gue langsung to the point , ini polisi nggak ngerti kode banget sih.
“Nggak ada tapi-tapian. AMBIL HARI JUMAT
TANGGAL 5!” anjir, polisinya udah mulai nggak santai.
“Thankyu pak!” gue langsung nyelonong pergi
sambil mendengus sebal. Kenapa gue harus ditilang sama polisi yang baik, nggak
mau damai. Ah, payah polisinya nih. Nggak asyik.
Gue merasa nggak enak sama Akil karena stnk
motornya di embat polisi. Seandainya gue punya SIM pasti stnk itu nggak bakal
disita. Dan ngapa juga harus salah ngambil jalan, ah pe’a nih gadis sama
cowoknya. Coba gue nggak ngikutin mereka pastinya gue bakal melenggang santai
tanpa harus menukarkan stnk dengan surat tilang.
Walaupun rasa penyesalan karena ditilang.
Dibenak gue masih ada serpihan kecil rasa senang dan bangga. Gue senang karena
itu adalah kali perdana gue ditilang. Gila dah, akhirnya gue punya pengalaman
ditilang. Setidaknya jika temen-temen gue ketilang, gue bisa ikutan rumpi
bareng ngebahas tilang-menilang. Keren.
---uUu---
Setelah melupakan kekesalan karena ditilang
polisi. Datang lagi musibah. Gue nyasar. Goblok banget sumpah, ini masih di
Jakarta loh. Jakarta selatan pula! Tepatnya gue nyasar dibilangan tebet, tempat
gue lahir dan tumbuh besar. Tanah gue berpijak selama delapan belas tahun. Tapi
gue nyasar di tanah kelahiran gue. Bener-bener memalukan.
“Ini dimana dah ?” gue menengok ke sisi jalan
mencari plang penunjuk jalan.
“Nggak tahu kal, yah, nggak lucu banget masa
nyasar” ujar Akil dengan nada pasrah.
Gue mengambil hape dari kantung celana lalu
membuka fitur google maps. Gue menelusuri jalan yang ditunjukkan oleh google.
Alih-alih menemukan jalan pancoran, gue dan Akil malah makin nyasar. Google goblok!. MAMPUS. MATI DAH!
Mengingat pepatah mengatakan, malu bertanya
sesat dijalan. Gue pun nanya sama go-jek. Gue percaya sama go-jek karena dia
pasti tahu jalan. Lebih tahu daripada google maps sialan ini. Cuma jalan menuju
surga aja yang gojek nggak tahu.
Gue melihat seorang bapak dengan jaket go-jek
sedang berdiri memegang segelas cendol. Lalu gue mendekati motor ke driver gojek itu.
“Maaf pak, tahu jalan ke pancoran nggak ?”
tanya gue dengan nada sopan.
“Kalo mau kepancoran jangan lewat sini, kamu
muter balik nih, abis itu belok kiri, terus belok kiri lagi” ujar driver gojek itu sambil membuat gesture
belok kiri dengan tangan kanannya.
“Oh, makasih ya pak” senyum gue lalu meninggalkan driver gojek itu.
Akhirnya setelah mengikuti arahan yang
diberikan oleh gojek tadi gue sudah
berada di jalan pancoran. Alhamdulillah, akhir dari perjalanan panjang penuh
tantangan ini berakhir. Pantat perih, keringat bercucuran, tangan kapalan, dan
kencing tidak dapat ditahan lagi. Masyallah, GUE KEBELET KENCING. Plis, wahai
kencing yang baik, tolong jangan keluar disaat seperti ini, gue ngebatin.
Nggak lucu aja kalo gue ngompol ditengah
macet kayak gini. Tiba-tiba ada pengendara lain ngeliat celana gue yang basah langsung
penasaran kemudian kepo bertanya.
“Mas, hujan ya ?”
“Kagak”
“Tuh celananya kok basah?” tanyanya sambil
nahan tawa dengan tangannya.
“In..ini pipis saya mas” jawab gue pasrah.
“Mas ngompol ? Yalloh muka doang item, serem,
tukang palak tapi ngompol BAHAHAHAHA” kemudian dia menstandarkan motor, berdiri
menghampiri gue lalu berteriak mengheningkan suara klakson yang membahana “BAPAK-BAPAK
DAN IBU-IBU SEKALIAN, SAYA PUNYA PERTUNJUKKAN KEREN….ADA YANG NGOMOPOL NIH!”
jarinya menunjuk gue yang keringat dingin diatas motor. Sontak para pengendara
lain kompak menertawai gue yang tak berdaya dan selangkangan dibanjiri air
kencing.
“HAHAHA MUKA DOANG KAYAK MIKE TYSON, TAPI
NGOMPOL BUAHAHAHAK”
“PAKE PEMPRES AJA. EH, KASIH EMPENG, ADA ANAK
BAYIK NIH NGOMPOL BAHAHAHAH”
Gue buru-buru membuang pikiran menggelikan
itu. Kemudian gue menemui Ai yang sudah tiba di rumah Pia duluan, lalu
mengantar Akil kerumahnya. Setelah Akil pulang dan bersantai dirumah. Gue dan
Ai mampir ke gerai pecel ayam di pinggir jalan. Memesan dua porsi pecel ayam.
Menikmati bersama-sama dengan kucing kampung yang riweh mengeong-ngeong memohon
untuk meminta jatah tulang.
Karena lapar, dengan cepat satu porsi pecel
ayam tandas tanpa sisa. Tulang-tulang ayam yang tersisa gue sumbangkan ke
kucing kampung itu. Gue ambil satu batang rokok dari dalam bungkus lalu
menyulutnya dengan korek. Merengangkan otot yang pegal dan menggesek pantat
yang perih dipermukaan bangku plastik karena terlalu lama duduk di atas jok
motor.
Sambil menghembuskan asap rokok ke udara, gue
memandangi jalanan yang kosong dibanjiri cahaya sayup lampu jalan yang kuning
temaram. Sudah Jam dua belas malam, wajar kalau jalanan sudah kosong. Kendaraan
sudah jarang melintas, hanya beberapa anak muda cabe-cabean dan orang-orang
kelaparan mencari makan seperti gue ini.
Tiba-tiba terbesit dipikiran gue lagi tentang
kejadian yang gue alami seharian ini. Tawa kecil membuahkan senyum merekah di
wajah gue. Banyak saja kendala yang melanda gue hari ini. Mulai dari salah
milih jalan, menonton teater Siti Nurgaya yang hampir bikin otak gue kornslet karena
pake bahasa inggris, ditilang polisi, dan terakhir nyasar di tanah kelahiran
sendiri. Dipikir-pikir sial amat gue hari ini.
Disetiap kesialan pasti ada pesan yang
tersisa. Gue mematikan bara rokok dengan menginjaknya. Menopang dagu dengan
tangan dan mengusap-ngusap janggut yang unyu-unyu di dagu lalu menatap ke
jalanan lagi.
Ternyata setiap orang butuh salah untuk
mengetahui apa yang dilakukannya itu benar. Jika saja setiap orang benar, maka
tidak ada yang tahu mana yang salah dan mana yang menyesatkan.
Seperti saat gue tersesat dan nyasar di bilangan
tebet dalam. Gue bingung mencari jalan yang benar. Gue nggak punya pilihan,
semua opsi jalan masih random
kebenarannya. Bisa salah bisa jugabenar. Itulah manusia, saat kita nggak tahu jalan
sama sekali, satu-satunya pilihan hanya bertanya. Kita nggak bisa memilih ini
dan itu dan menganggap salah satunya benar atau salah. Saat itu kita tidak tahu
apa-apa, semua pilihan adalah kebenaran. Kita belum tahu apa yang menjelaskan
pilihan kita salah atau benar. Ngambang penuh misteri.
Dalam cinta juga seperti itu, kita salah
jalan dalam memilih bisa-bisa kita ditilang kemudian dapat peringatan bahwa
kita harus mematuhi apa yang diinginkan pacar. Polisi memperingatkan kita
dengan surat tilangnya, begitupun dengan pacar, lo bakal diberikan suratan kode
dari sikap si pacar. Atau bisa juga lo salah milih pacar, jangan muter balik.
Jalan terus meski lo tau didepan ada polisi, gapapa harus ditilang. Setidaknya
lo tahu rasanya sakit hati. Agar jadi pelajaran kelak di perjalanan lo
selanjutnya.
Kalau lo salah lagi diperjalanan selanjutnya,
terimalah itu karena kebenaran yang baru akan lo dapatkan. Semua yang salah
akan berujung pada kebenaran. Pasangan yang salah akan berujung pada pacar yang
setia.
Lo, gue,
kita, dia, dan semua manusia pernah berbuat salah. Dari situlah kebenaran tercipta.
Karena kalau dipirkir sekali lagi kebenaran itu adalah rangkaian kesalahan yang
tersusun rapih dalam muara kebingungan.