123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Minggu, 21 Agustus 2016

Besok Lusa Aku Nggak Tahu


Besok, lusa, atau bulan depan mungkin aku bukan kamu
Aku lagi di dapur masak air buat bikin kopi
Kamu suka kopi ?
Jangan! Kopi rasanya pahit besok aja aku kasih susu

Sampai malam ini kamu masih kayak dulu
Cantiknya nggak abis-abis
Besok jangan ngilang ya, aku takut nggak bisa nemuin kamu
Soalnya GPS ku rusak,sering aku pake buat maen pokemon

Bulan depan tanggal 27 hari selasa
Kamu pasti sibuk, nyari pulpen di dalem tempat pensil,buat ngerjain tugas
Aku duduk sambil ngerokok, sial banget harga rokok naek
Jadi gocap, hmmm kayaknya aku bakal berenti

Habis gelap terbitlah terang, kata Raden Ajeng Kartini
Abis dapet yang gelap cari yang terang-terang aja
Biar kalo mati lampu masih keliatan

Denger-denger ada yang kangen sama kamu
Aku ? Bukan, tapi dia. Siapa ? anak pak RT, RT 07 kalo nggak salah
Ngomong-ngomong kuota aku abis
Beli 1GB harganya dua puluh ribu, buat chating kamu, buka youtube, tube8, sama instagram.
Sekali-kali update path biar nggak kayak anak rumah aja gitu

Bulan depannya, aku masih sayang sama kamu
Nggak tahu sayang sama pacar orang atau sama anaknya pak RT 07




Selasa, 24 Mei 2016

Hipokrit


Tidaklah kamu ingat sekeping coklat di bulan Pebruari

Berbentuk hati dengan pita merah terikat simpul diatas kemasannya

Penuh harap aku menggapaimu

Walau aku tahu tak mudah, setidaknya itu tanda bukti bahwa coklat adalah simbol
Cinta

Masih teringat senyummu dan harapan yang kau berikan padaku

Setiap dentuman jam hingga berganti hari hanya harum bunga yang kau berikan

Saat hati dimana aku mulai penat menggantung di pusaran angin

Ku suguhkan sebait sajak, seolah itu tanda kalau aku ingin kau melengkapi puzzle hatiku yang kosong

Kemudian kau bilang, “Kau adalah sahabat terbaikku”

Ku ambil sebilah pisau, ku robek-robek lembaran kisah kita yang sebentar itu

Sengaja aku sakit agar tak pedih selamanya

Kini, saat kau telah bertuan, kau coba mendekat dan mempersilahkanku untuk mencurimu

Hei, tidaklah kau ingat ? Kita sahabat, jangan biarkan aku merobohkan dinding yang telah kau bangun dengan tuanmu. Jika itu ku lakukan, panggilku penghianat!

Aku tidak akan mencuri


Sebab, tidak ada alasan terbaik untuk membela pencuri

Kamis, 05 Mei 2016

Terlambat


Aku mengenal waktu saat umurku menginjak lima tahun
Ibuku yang mengajariku untuk paham pada angka di lingkaran jam di tembok kamar yang telah retak
Kelak supaya aku tidak terlambat sekolah
Atau menepati suatu janji

Ayahku yang memberikanku sebuah jam tangan
Agar aku tahu setiap waktu yang terlewatkan selalu kita genggam
Saat ku dewasa, aku tahu bahwa waktu adalah harta paling berharga
Aku pernah menjadi orang pertama datang ke sekolah karna menghargai waktu

Bukan menyembah waktu, tetapi bagaimana cara mengaturnya dengan baik
Saat aku mengerti cinta, waktu itu pun banyak terlewatkan dengan harum aroma kasih sayang
Kemudian saat aku sakit hati, waktu itu hilang menjadi rindu atau berubah menjadi wadah kesedihan paling dalam
Sekali waktu aku mencoba menyusuri hutan penuh pohon-pohon tua

Ditengah hutan tumbuh sangat bijak sebuah pohon apel muda yang kutanam dari bibit di tengah pohon-pohon yang sudah uzur
Mendekatinya tuk menggapai buah apel yang bergantung di pohon itu
Akan sangat manis bila ku makan apel tersebut

Ketika belum sempat menyentuhnya aku terhenti beranjak
Termenung pada sebuah penyesalan
Ku tatap nanar batang pohon yang sudah kosong tanpa apel
Batang itu tergoyang lunglai oleh angin

Kali ini waktu ternyata mendahuluiku
Aku terlambat
Aku tidak datang pada saat yang tepat
Bibit yang ku tanam dan waktu yang kurawat ternyata menghinatiku

Jumat, 29 April 2016

Seperempat Hari Penunggang Peluh


Kala itu pagi sekali. Sepotong matahari belum sempat muncul mengintip fajar. Sedangkan lantunan ayat-ayat al-quran paling merdu di masjid sedang indahnya berkumandang menyambut sang surya. Percakapan antar pagi dengan gelap begitu terdengar di telinga kecilku. Bentuk suaranya yang membangunkanku pada setiap aktivitas.

Mengusap mata kemudian membasuh diri. Mencium sajadah kemudian menyiapkan tunggangan. Ibu sudah bergegas pergi ke pasar. Menyiapkan hidangan hangat pengisi perut penunda lapar.

Tak lama, tunggangan besi membawaku melaju menghempas jalan yang masih gelap. Bersama dengan orang-orang yang memiliki tujuan serupa. Mencari rezeki supaya tidak di patuk ayam.

Memikul kewajiban bukan beban. Kebanyakan orang menyatakan bebannya mereka pikul di pundak. Sedangkan yang ku lakukan adalah menggandeng bebanku supaya tidak menyusahkan setiap kegiatanku. Menggenggam erat beban itu kemudian melepasnya di waktu yang paling tepat.

Seperempat bagian pada dua kali putaran tiga ratus enam puluh derajat di permukaan jam aku isi dengan peluh keras. Kerja keras itu semata-mata bukan untuk mengisi waktu kosong atau sebagai pengganti tidurku ketika menganggur. Melainkan meniti mimpi. Merajut masa depan dengan jutaan pengalaman. Mengenal bagaimana rasanya menjadi babu. Dibayar ketika bulan sudah melambaikan tangan.

Pastinya semua itu hanyalah awal dari sebuah dongeng nyata. Yang di awali dengan kesulitan kemudian bahagia. Halaman masih tebal. Baru saja dua halaman ku buka. Masih ada lembar demi lembar yang akan aku buka. Entah, sampai lembaran berapa akan terus berganti. Intinya aku selalu berharap, ketika aku membuka lembaran terakhir dongeng itu akan menciptakan senyum bagi siapa saja yang membacanya.


Kini, rasanya aku butuh secangkir teh ditambah sepotong biskuit.

Minggu, 06 Maret 2016

Rindu terbayar syukur


Rindu yang membucah sampai ubun-ubun. Meluap hingga membanjiri kenangan. Sudah lama tak bersua dengan hal yang berbau kerja keras, bagi gue itu sangatlah intim. Ada sekeping kebiasaan yang hilang tertelan setiap dentuman detik di jalur waktu.
Senang, ketika akhirnya rindu itu terselamatkan oleh sabar. Memperpanjang kinerja denyut nadi selagi nafas masih mampu menghela oksigen bumi. Telah lama tidak bergelut pada kerasnya dunia. Mencecerkan keringat demi setumpuk uang. Berdarah-darah disetiap pekerjaan. Memekakan telinga mendengar umpatan para petinggi perusahaan.
Rasa syukur tidak pernah luput dari doa saat sujud diantara heningnya malam. Bagi setiap orang malam adalah pupuk terlembut yang menumbuhkan perlahan mekarnya bunga tidur. Menyuburkan mimpi dengan air liur yang mengalir deras di sudut bibir. Namun, ujung bibir yang gue memiliki ideologi apatis, kalimat yang berbentuk sajak terangkai satu persatu yang tanpa sadar ternyata itu doa. Doa keluh kesah, kesehatan, harap, angan, dan segala keselamatan keluarga dan orang-orang terkasih. Dikirimkan oleh bibir ini ditemani sepasang tangan yang menganga lebar menadah di udara, berharap ada ridho yang terjatuh dari langit seperti hujan pelaku banjir.
Tuhan selalu tahu dimana dan kapan rejeki hambanya akan diberikan. Bagaimana cara hambanya untuk berjuang menggapai rejeki tersebut. Bukan dengan tidur atau begadang, merokok sambil menikmati secangkir kopi. Kadang kala beradu debat tentang satu topik tanpa juntrungan yang jelas.
Secercah sinar mimpi akan datang dari mana pun. Entah itu lewat sinar surya pagi atau temaram dikala anggunnya senja jingga. Atau terangnya kerlingan bintang di antara gelap awan kelam.
Gue menunggu berbagai panggilan pekerjaan. Lama menganggur membuat gue seperti manusia tak berguna sedunia. Tak jauh berbeda seperti debu jalanan yang ada hanya untuk mengotori wajah pengendara.
Kehidupan gue menjadi tidak jelas tujuannya. Seperti tersesat di tengah labirin tak berujung. Mondar-mandir kesana kemari tanpa tujuan. Mempikan sesuatu yang direncana tanpa perjuangan. Menikmati malam hingga pagi bersiul mencukil mentari. Atau menadah tangan demi segepok rupiah pada keringat orang tua.
Tak berguna. Bodoh. Bengis. Brengsek. Rasanya percuma terlalu lama mengenyam pendidikan hingga dua belas tahun tetapi hanya berlabuh pada tumpukan kapuk berlapis selimut bermotif batik. Menikmati mimpi di saat orang-orang di dunia nyata sedang berpeluh-peluh menikmati kejamnya dunia fana.
Jangankan orang-orang. Ayam, burung, bebek dan segala macam binatang mungkin akan menertawai kalau tahu gue hanya penikmat kehidupan  perahu kapuk. Mereka tahu hidup tanpa perjuangan seperti lelucon tingkat tinggi yang harus tertawa sampai menangis atau perlu sakit perut.
Setiap sabar akan ada hasilnya. Tuhan sudah menuliskan garis rejeki untuk hamba-hambanya yang memang ingin berjuang. Pada dasarnya berjuang adalah harus. Mimpi adalah cita. Harapan adalah kenyataan. Tak perlu banyak lagi melakukan hal-hal tak berguna. Menyusahkan orang tua atau menghabiskan jatah lauk yang dimasak ibu di pagi buta.
Kini, semua telah berbeda. Ada kesempatan yang dikirimkan oleh sang pencipta alam semesta untuk gue. Tuhan telah memberikan gue istirahat yang cukup untuk menggali uang sendiri. Sepertinya tuhan jengah melihat gue begini-begini saja. Kejengahan itu pun berujung pada pekerjaan yang diberikannya.
Gue bersyukur kesabaran ini ternyata didengar olehnya. Tuhan memang bukan seorang tuli apalagi bisu. Walau tak pernah mendengar suaranya, rasa-rasanya petir pun kalah merdu. Nyanyian tuhan adalah rasa syukur dan berkah bagi kita semua makhluknya. Bersyukur adalah cara satu-satunya menghargai lantunan itu.
 Tak ada yang bisa mengalahkan rasa syukur kepada tuhan. Untuk kedepannya gue akan melakukan yang terbaik. Melakukan segalanya sekuat tenaga. Meski darah dan peluh mengucur deras seperti air terjun, tak peduli. Semua itu adalah tambahan-tambahan ujian yang diberikan tuhan. Kalau jalan hanya mulus saja seperti jalan tol, untuk apa diciptakan kecewa.

Minggu, 31 Januari 2016

Belajar Dari Salah


Setiap orang perlu salah untuk mendapatkan kebenaran yang absolut.
Semua berawal dari perjalanan gue menuju kampus London School of Public Relations di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat untuk menonton penampilan teater temen gue, Oca. Ketika jalanan macet, motor yang gue kendarai berada dibelakang mobil sehingga pandangan gue terhalang bodi besar mobil tersebut. Gue memiringkan kepala, menyorot pandangan disisi kanan mobil mencari jejak teman gue yang sudah berada jauh di depan. Namun wujud motornya tidak terlihat. Patokan gue adalah helm merah yang dipakai Pia yang duduk diboncengi Ai. Banyak. Banyak banget kepala manusia yang memakai helm merah serupa yang dipakai Pia. Dimana pia yang beneran ?!!
Saat motor gue sudah sampai di persimpangan antara jalan menuju flyover dan menuju jalan raya lainnya, gue bingung. Pikiran gue menimbang-nimbang kanan dan kiri. Akil yang duduk dibelakang juga bingung harus ke kanan menuju fly over atau ke kiri menuju jalan raya yang nggak gue tahu namanya. Gue dan Akil sama sekali tidak tahu jalan menuju London School. Ternyata memilih jalan lebih membingungkan dibanding memilih jodoh.
“Ke kanan apa ke kiri ?” tanya gue resah sedangkan bunyi klakson motor dan mobil terus-terusan berteriak.
“Gatau” jawab Akil sambil nengok kanan lalu nengok kiri.
“Kiri kali ya ?” gue mengambil keputusan asal berharap benar.
“Yaudah kiri aja” Akil dengan mudahnya sepaham dengan keputusan gue yang tanpa dasar apapun.
Ketika stang motor gue berbelok kekiri, Akil melihat keatas flyover, Ai dan Pia sedang melaju di antara kemacetan flyover. Mantap. Ternyata gue salah pilih jalan. Gue lalu berhenti di sisi jalan mencari solusi yang tepat untuk mengejar Ai dan Pia.
“Aduh, gimana dah nih ?” gue membuka helm mengacak-ngacak rambut lalu memaki helm lagi. Nggak jelas memang, tapi dengan mengacak-ngacak rambut mudah-mudahan ada sedikit ide yang muncul.
Opsi yang gue pilih berkat berpikir dengan mengacak-ngacak rambut adalah memutar balik. Lawan arah adalah pelanggaran lalu lintas yang paling sering gue lakukan di jalanan dekat rumah. Walaupun sering lawan arah, untuk kali ini kayaknya gue harus benar-benar meyakinkan diri untuk melakukan tindakan berpasal itu. Takut-takut ada polisi yang menyergap gue lalu menilang, habis uang gue nanti. Dengan tarikan napas panjang gue memutar motor. Selama melawan arah tidak lebih keji dibanding melawan orang tua, akhirnya gue memutuskan untuk melawan arah.
Entah, tiba-tiba muncul darimana ada tukang es cincau melintas. Bapak-bapak setengah baya memakai topi cowboy dengan handuk yang tersemat dilehernya sedang mendorong gerobak. Dengan santainya abang cincau itu berjalan mengahadap arah yang berlawanan. Motor-motor yang melintas didepannya tidak ada yang protes. Seperti tidak ada yang salah dengan abang cincau ini. Salut buat abang cincau.
“AHA!” gue mengangkat jari telunjuk ke udara disamping kepala. Kemudian ada bohlam kuning yang menyala terang diatas kepala gue.
Berkat ide yang tiba-tiba muncul, gue pun membuntuti abang-abang cincau itu dari belakang. Beruntungnya lagi abang cincau itu ternyata juga menuju ke flyover. VOILA!. Detik itu juga abang cincau berubah seperti dewa keberuntungan untuk gue. Tanpa cela atau teriakan klakson dari mobil dan motor yang melintas, dengan lincah kayak messi lagi gocek-gocek gue menyebrang ke flyover, lalu BAM. Gue sudah berada di area flyover. Thanks abang cincau jasamu tiada tara.
Tidak perlu waktu lama gue menelusuri sepanjang jalan yang diramaikan oleh orang-orang yang baru pulang kerja. Memacu motor di cela-cela mobil. Menahan sabar dan batuk karena debu yang menghempas wajah kusam gue. Tidak lama setelah itu Ai dan Pia sudah menunggu didepan Sevel. Kemudian agar tidak membuang waktu lagi, kami segera menarik gas lalu meluncur ke London School.
---uUu---
Kami masuk ke dalam kampus London School. Ketika sampai disana teman gue Gadis dan pacarnya sudah menunggu, mereka datang jauh lebih dulu dari gue, Pia, Akil, dan Ai. Saat masuk dan menunggu di semacam ruangan recepsionis, kami langsung disuguhkan desain interior yang menciptakan kekaguman dibenak gue. Kesan klasik dan elegan terpancar dari ruangan ini. Beberapa piala terpajang di tengah ruangan. Pernak-pernik berwarna emas dan merah mendominasi, bingkai mahal berharga ratusan juta tergantung di dinding yang bermotif emas. Rasanya ini tidak seperti kampus, tapi seperti ruang tamu rumah-rumah orang kaya. Wajar sih, kampus mahal coy. London School coy!! Ya kali kampus mahal temboknya dibuat pake  kardus indomie terus gentengnya dari daun pohon pisang. Ya, kagaklah.
Udah gitu aroma anak-anak gaul begitu jelas terasa. Dari cowok-cowok yang memakai snapback dikebelakangin, rambut klimis, cara ngomong mereka yang di mix dengan bahasa inggris, dan cara jalan mereka menegaskan bahwa dia gaul. Lemah lembut kayak takut nginjek taik kucing gitu dah. Gue rada minder, apalagi melihat keadaan style gue yang terkesan seperti abang-abang kredit mau nagih uang kerumah-rumah. Muka kucel, dekil, berdebu kayak patung pancoran, badan bau matahari, cela-cela kuku banyak kotoran hitam, fix tau gini mending gue pulang.
Belum lagi di sini banyak cewek-cewek borjou. Cewek berkelas yang kalau ke mall minimal maen ice skating. Wajah putih mulus terawat, pusar diperut yang bertebaran kemana-mana, paha mulus crunchy nggak ada bekas knalpot kayak paha ayam di KFC, jadi pengen gigit paha-paha mereka, kemudian aroma wangi berkat parfum mahal menyebar dari lipatan ketek lembab mereka, leher dan tengkuk juga sangat putih seperti memanggil untuk dicupang, dan cewek-cewek disana dimata gue wajahnya mirip semua. Nggak tahu kenapa, pokoknya mirip. Cakep semua.
Acara dimulai, kami duduk di barisan ketiga dari panggung. Gue duduk disisi paling pinggir. Ya, gue memang selalu dipinggirkan. Acara dimulai dengan sambutan dari ibu-ibu yang membuang-buang waktu dengan bahasa inggris. Gue dengernya sambil mengangguk-ngangguk sok ngerti.
“Ladys and gentleman bla..bla…bla…bli..blu..ble..blooo” Ibu-ibu dengan model rambut bob itu berdiri menjadi pusat ratusan pasang mata.
“Lo ngerti kal ?” tanya Ai disamping gue.
Gue balas dengan anggukan sombong.
“Wihhh ngeriii…Beneran lu ngerti ?” Ai begitu antusias.
Gue menoleh ke arahnya, menatap matanya lekat-lekat, secepat mungkin sebelum ada perasaan cinta yang terpancar dari bias cahaya matanya, gue memalingkan wajah.
“Kagak!” seru gue lalu cengengesan.
“Jahahaha goblok”
Lampu mendadak mati. Ruangan gelap gulita. Cahaya hanya menyorot bagian panggung, memudahkan penonton untuk fokus. Teman-teman mulai kawatir takut gue menghilang. Gue juga takut kalau tiba-tiba kulit gue yang hitam ikut larut dalam kegelapan kemudian gue lenyap pindah ke dimensi lain.
Tirai besar bewarna merah marun bergesar membuka panggung. Tepuk tangan mengiringi pementasan acara yang diawali dengan tarian tradisional Sumatra barat. Gue kagum dengan gerakan wanita-wanita cantik diatas panggung. Lincah, gesit, dan cute. Badan mereka dengan lentur meliuk-liuk kesana kemari kayak uler kobra. Menghentak-hentakan kaki seperti memanggil dajal. Sebagai anak keturanan padang dan darah minang begitu deras mengalir di dalam tubuh. Gue cemburu, gue nggak bisa apa-apa untuk membanggakan tanah kelahiran leluhur gue. Gue gagal jadi keturunan rendang. Mau jadi apa gue ini, yang bisa gue banggain sebagai keturunan minang cuma pengalaman pas TK nari dinding pak dinding dan melanjutkan jiwa pelit khas orang padang. Cukup membanggakan, sih.
Taeter yang bertajuk Siti Nurgaya ini disajikan secara berbeda. Awalnya gue pikir pementasannya akan kelihatan kuno dan membosankan. Tetapi dugaan gue jauh berbeda. Tradisional dengan sajian yang modern. Mulai dari penggunaan bahasa inggris dalam percakapan mereka membuat gue bekerja ekstra keras untuk mengartikannya.  Saking bingungnya gue sempat berpikir untuk mentranslate ucapan mereka di google translate atau membuka kamus tebal setiap kali para pemain ngomong. Tapi nggak mungkin, yang ada sebelum gue selesai mengartikan satu kalimat tanpa gue sadari acaranya udah kelar kemudian cuma sisa OB yang lagi bersihin panggung. Meskipun begitu, ya lumayan ada satu dua kata yang gue ngerti. Gue nggak bego-bego amat kali ah. Selama menonton gue sih menikmati penuh antusias. Apalagi yang jadi Siti Nurbaya. Masyallah mata ini nggak bisa berkedip melihat tuh cewek, wajah oval, hidung mancung, rambut lurus hitam halus, dan lekukan bibir yang menggoda membuat siapa saja terhipnotis ketika memandangnya berlama-lama. Kemudian ada keinginan untuk mendekapnya lalu berbisik ditelinganya “itu muka cakep amat neng, sini abang elap pake kaos kutang abang.“
---uUu---
Pertunjukan selesai kami bergegas meluncur ke parkiran.
Gue menyalakan motor lalu membuntuti motor gadis dan cowoknya yang berada didepan. Mereka naik ke atas flyover gue mengikuti tanpa ragu. Sepanjang jalan di flyover perasaan gue mulai nggak enak. Gue melihat sekitar tidak ada motor lain yang melintas. Hanya mobil. Mata gue melirik ke kaca spion, ai dan Pia juga tidak tampak dibelakang. Hanya ada lampu mobil yang membuat gue memicingkan mata.
“Kil, lu sadar nggak sih motor tuh cuma kita doang ?” ujar gue ke Akil meyakinkan keraguan yang daritadi mengganggu otak.
“Lah, iya juga ya kayaknya kita salah jalan deh” lagi-lagi dia hanya mengikuti pendapat gue.
Gue melirik sekali lagi ke kaca spion. Benar saja ternyata flyover ini dikhususkan untuk mobil. Gue berdoa supaya tidak ada polisi didepan. Sedetik kemudian, 50 meter didepan musibah muncul, sudah ada bapak-bapak berbaju coklat dibalut rompi hijau berdiri gagah dan siap menerkam gue. MATI!
Gadis dan cowoknya mencoba menghindar dari jeratan polisi. Namun gagal. Gue mengendurkan gas, sudah tahu nggak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Seandainya bisa nge-cheat motor terbang, pasti gue lakuin. Sayangnya gue hanya bisa pasrah dan langsung menghampiri polisi itu tanpa disuruh. Gue mah gitu orangnya, polisi aja gue samperin.
Walaupun gue tahu saat ini gue nggak bisa melakukan apa-apa untuk menghindari polisi. Ada tiga opsi yang memungkin dilakukan saat keadaan mendesak seperti ini.
Pertama, muter balik. Namun, melihat dibelakang mobil melaju nggak santai, yang ada gue di tabrak. Oke, cancel opsi ini.
Kedua, pura-pura bego. Hmm… nggak deh, nggak banget. Udah bego ngapain dipura-purain.
Tiga, loncat dari flyover terjun payung. Oke, gue mulai stress.
Akhirnya nggak ada opsi yang gue pilih. Pasrah ajalah.
“Tunjukin surat-suratnya” gumam polisi itu sudah siap dengan pulpen dan kertas tilang.
Akil sang pemilik motor menyerahkan stnk dan ktp gue.
“SIMnya mana ?” tanya lagi pak polisi.
“Nggak ada pak hehehe” gue cengengesan untungnya pak polisinya baik. Takutnya gue di cekek gara-gara nggak sopan.
“Tanggal 5 hari jumat ambil di pengadilan ampera. Deket kan dari rumah kamu ?” ujar pak polisi dengan nada ramah sambil memberikan surat tilang dan ktp gue.
Berbekal cerita pengalaman temen-temen gue yang pernah ketilang, bujuk pak polisinya lalu berikan uang yang ada didompet. Gue pengen menempuh jalur damai supaya stnk Akil nggak di sita.
“Nggak bisa dipercepat apa pak ? jumat besok saya sibuk” ujar gue memulai sepik kode.
“Bisa diwakilin siapa saja”
“Tapi kalo nggak bisa jumat besok ?” gue terus memberikan kode.
“Kamu ambil di kejaksaan ranco, itu juga deket dari rumah kamu” sial, mentang-mentang abis ngeliat ktp gue, dia jadi tahu rumah gue. Mudah-mudahan dia nggak mampir, deh.
“Tapi pak ,saya bener-bener nggak bisa, emangnya nggak bisa diselesain disini?” gue langsung to the point , ini polisi nggak ngerti kode banget sih.
“Nggak ada tapi-tapian. AMBIL HARI JUMAT TANGGAL 5!” anjir, polisinya udah mulai nggak santai.
“Thankyu pak!” gue langsung nyelonong pergi sambil mendengus sebal. Kenapa gue harus ditilang sama polisi yang baik, nggak mau damai. Ah, payah polisinya nih. Nggak asyik.
Gue merasa nggak enak sama Akil karena stnk motornya di embat polisi. Seandainya gue punya SIM pasti stnk itu nggak bakal disita. Dan ngapa juga harus salah ngambil jalan, ah pe’a nih gadis sama cowoknya. Coba gue nggak ngikutin mereka pastinya gue bakal melenggang santai tanpa harus menukarkan stnk dengan surat tilang.
Walaupun rasa penyesalan karena ditilang. Dibenak gue masih ada serpihan kecil rasa senang dan bangga. Gue senang karena itu adalah kali perdana gue ditilang. Gila dah, akhirnya gue punya pengalaman ditilang. Setidaknya jika temen-temen gue ketilang, gue bisa ikutan rumpi bareng ngebahas tilang-menilang. Keren.
---uUu---
Setelah melupakan kekesalan karena ditilang polisi. Datang lagi musibah. Gue nyasar. Goblok banget sumpah, ini masih di Jakarta loh. Jakarta selatan pula! Tepatnya gue nyasar dibilangan tebet, tempat gue lahir dan tumbuh besar. Tanah gue berpijak selama delapan belas tahun. Tapi gue nyasar di tanah kelahiran gue. Bener-bener memalukan.
“Ini dimana dah ?” gue menengok ke sisi jalan mencari plang penunjuk jalan.
“Nggak tahu kal, yah, nggak lucu banget masa nyasar” ujar Akil dengan nada pasrah.
Gue mengambil hape dari kantung celana lalu membuka fitur google maps. Gue menelusuri jalan yang ditunjukkan oleh google. Alih-alih menemukan jalan pancoran, gue dan Akil malah makin nyasar.  Google goblok!. MAMPUS. MATI DAH!
Mengingat pepatah mengatakan, malu bertanya sesat dijalan. Gue pun nanya sama go-jek. Gue percaya sama go-jek karena dia pasti tahu jalan. Lebih tahu daripada google maps sialan ini. Cuma jalan menuju surga aja yang gojek nggak tahu.
Gue melihat seorang bapak dengan jaket go-jek sedang berdiri memegang segelas cendol. Lalu gue mendekati motor ke driver gojek itu.
“Maaf pak, tahu jalan ke pancoran nggak ?” tanya gue dengan nada sopan.
“Kalo mau kepancoran jangan lewat sini, kamu muter balik nih, abis itu belok kiri, terus belok kiri lagi” ujar driver gojek itu sambil membuat gesture belok kiri dengan tangan kanannya.
“Oh, makasih ya pak”  senyum gue lalu meninggalkan driver gojek itu.
Akhirnya setelah mengikuti arahan yang diberikan oleh gojek tadi gue sudah berada di jalan pancoran. Alhamdulillah, akhir dari perjalanan panjang penuh tantangan ini berakhir. Pantat perih, keringat bercucuran, tangan kapalan, dan kencing tidak dapat ditahan lagi. Masyallah, GUE KEBELET KENCING. Plis, wahai kencing yang baik, tolong jangan keluar disaat seperti ini, gue ngebatin.
Nggak lucu aja kalo gue ngompol ditengah macet kayak gini. Tiba-tiba ada pengendara lain ngeliat celana gue yang basah langsung penasaran kemudian kepo bertanya.
“Mas, hujan ya ?”
“Kagak”
“Tuh celananya kok basah?” tanyanya sambil nahan tawa dengan tangannya.
“In..ini pipis saya mas” jawab gue pasrah.
“Mas ngompol ? Yalloh muka doang item, serem, tukang palak tapi ngompol BAHAHAHAHA” kemudian dia menstandarkan motor, berdiri menghampiri gue lalu berteriak mengheningkan suara klakson yang membahana “BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU SEKALIAN, SAYA PUNYA PERTUNJUKKAN KEREN….ADA YANG NGOMOPOL NIH!” jarinya menunjuk gue yang keringat dingin diatas motor. Sontak para pengendara lain kompak menertawai gue yang tak berdaya dan selangkangan dibanjiri air kencing.
“HAHAHA MUKA DOANG KAYAK MIKE TYSON, TAPI NGOMPOL  BUAHAHAHAK”
“PAKE PEMPRES AJA. EH, KASIH EMPENG, ADA ANAK BAYIK NIH NGOMPOL BAHAHAHAH”
Gue buru-buru membuang pikiran menggelikan itu. Kemudian gue menemui Ai yang sudah tiba di rumah Pia duluan, lalu mengantar Akil kerumahnya. Setelah Akil pulang dan bersantai dirumah. Gue dan Ai mampir ke gerai pecel ayam di pinggir jalan. Memesan dua porsi pecel ayam. Menikmati bersama-sama dengan kucing kampung yang riweh mengeong-ngeong memohon untuk meminta jatah tulang.
Karena lapar, dengan cepat satu porsi pecel ayam tandas tanpa sisa. Tulang-tulang ayam yang tersisa gue sumbangkan ke kucing kampung itu. Gue ambil satu batang rokok dari dalam bungkus lalu menyulutnya dengan korek. Merengangkan otot yang pegal dan menggesek pantat yang perih dipermukaan bangku plastik karena terlalu lama duduk di atas jok motor.
Sambil menghembuskan asap rokok ke udara, gue memandangi jalanan yang kosong dibanjiri cahaya sayup lampu jalan yang kuning temaram. Sudah Jam dua belas malam, wajar kalau jalanan sudah kosong. Kendaraan sudah jarang melintas, hanya beberapa anak muda cabe-cabean dan orang-orang kelaparan mencari makan seperti gue ini.
Tiba-tiba terbesit dipikiran gue lagi tentang kejadian yang gue alami seharian ini. Tawa kecil membuahkan senyum merekah di wajah gue. Banyak saja kendala yang melanda gue hari ini. Mulai dari salah milih jalan, menonton teater Siti Nurgaya yang hampir bikin otak gue kornslet karena pake bahasa inggris, ditilang polisi, dan terakhir nyasar di tanah kelahiran sendiri. Dipikir-pikir sial amat gue hari ini.
Disetiap kesialan pasti ada pesan yang tersisa. Gue mematikan bara rokok dengan menginjaknya. Menopang dagu dengan tangan dan mengusap-ngusap janggut yang unyu-unyu di dagu lalu menatap ke jalanan lagi.
Ternyata setiap orang butuh salah untuk mengetahui apa yang dilakukannya itu benar. Jika saja setiap orang benar, maka tidak ada yang tahu mana yang salah dan mana yang menyesatkan.
Seperti saat gue tersesat dan nyasar di bilangan tebet dalam. Gue bingung mencari jalan yang benar. Gue nggak punya pilihan, semua opsi jalan masih random kebenarannya. Bisa salah bisa jugabenar. Itulah manusia, saat kita nggak tahu jalan sama sekali, satu-satunya pilihan hanya bertanya. Kita nggak bisa memilih ini dan itu dan menganggap salah satunya benar atau salah. Saat itu kita tidak tahu apa-apa, semua pilihan adalah kebenaran. Kita belum tahu apa yang menjelaskan pilihan kita salah atau benar. Ngambang penuh misteri.
Dalam cinta juga seperti itu, kita salah jalan dalam memilih bisa-bisa kita ditilang kemudian dapat peringatan bahwa kita harus mematuhi apa yang diinginkan pacar. Polisi memperingatkan kita dengan surat tilangnya, begitupun dengan pacar, lo bakal diberikan suratan kode dari sikap si pacar. Atau bisa juga lo salah milih pacar, jangan muter balik. Jalan terus meski lo tau didepan ada polisi, gapapa harus ditilang. Setidaknya lo tahu rasanya sakit hati. Agar jadi pelajaran kelak di perjalanan lo selanjutnya.
Kalau lo salah lagi diperjalanan selanjutnya, terimalah itu karena kebenaran yang baru akan lo dapatkan. Semua yang salah akan berujung pada kebenaran. Pasangan yang salah akan berujung pada pacar yang setia.

Lo, gue, kita, dia, dan semua manusia pernah berbuat salah. Dari situlah kebenaran tercipta. Karena kalau dipirkir sekali lagi kebenaran itu adalah rangkaian kesalahan yang tersusun rapih dalam muara kebingungan.

Sabtu, 23 Januari 2016

Nostalgila


Musim, malam, siang, bahkan waktu pun tidak akan bisa mengurai hangatnya persahabatan.

Persahabatan bukan hanya berawal dari sebuah jabat tangan menggelitik atau senyuman halus yang terulas dari lekukan bibir. Gue percaya bahwa persahabatan datang dengan sendirinya. Takdirlah yang membawa kita untuk mengikat sebuah persahabatan dengan segelintir orang. Mungkin dua sampai sepuluh tahun kedepan orang yang tidak pernah kita kenal sekalipun akan hadir dalam kehidupan kita dan akan menjadi sahabat baru. Begitu datangnya sahabat baru, sahabat lama tak akan pernah hilang. Mereka hanya menepi sejenak untuk mencari sahabat baru yang mereka butuhkan. Jika waktunya sudah tepat, sahabat lama akan tetap muncul dan merangkul kita kembali.
Begitulah yang gue alami ketika lima sahabat era gue sd kembali lagi berkumpul di rumah Empin. Sudah enam tahun semenjak lulus sd gue nggak pernah bertemu mereka dan nginep seperti ini. Akhirnya setelah melewati masa biru dan abu-abu, masa putih-merah kembali lagi berkumpul meski salah satu dari kami nggak bisa datang karena dia sedang mengabdi menjadi seorang the jak mania dan mendukung persija di malang. Semoga itu jalan terbaik buat dia. Amin.
Sekalinya kami ngumpul, rekaman-rekaman aksi berandalan masa sd kami ulas sebagai bahan pembicaraan. Mulai dari maling makanan dan minuman di warung, naik kereta nggak bayar kemudian akhirnya di tangkap pamsus stasiun, mendukung fauzi bowo dengan cara menyiram poster adang darajatun dengan air kecing atau menambahkan kumis diwajahnya, sampai hobi menjatuhkan pot bunga orang ketika melintas didepannya, dan masih banyak lagi tingkah konyol yang menjadi bahan tertawaan kami.
Tetapi dari semua kisah konyol yang kami lakukan, ada satu kejadian yang tak pernah gue dan lima sahabat gue lupakan sampai tua nanti, yaitu saat kami semua melempari rumah orang dengan nasi urap karena mencurigai rumah itu memelihara babi ngepet. Kecurigaan kami berawal dari rumahnya yang memiliki sebuah batu besar bertuliskan aksara cina, entahlah ada hubungan apa antara cina dengan babi ngepet, mungkin babinya sipit. Ditambah si Empin katanya pernah ngeliat sekelebat bayangan babi ngepet melintas di depan rumahnya (gua rasa sih ini cuma akal-akalan empin biar keliatan keren aja karena bisa ngeliat setan). Itulah yang membuat kami semakin yakin untuk melempari rumah itu dengan nasi urap.
“Lu inget nggak babi ngepet yang kita lemparin nasi urap waktu itu ?” tanya Odon  sambil menahan tawa.
“Bahahaha oh iya-iya yang terus paginya kita diomelin yang punya rumah. Gue rasa babi ngepetnya kenyang tuh makan urap” jawab gue asal.
“Palalu, orang babinya kepedesan, kena ranjau cabe rawit BAHAHAHa” seru empin seketika tawa terdengar dari kami semua.
Kami pun serempak tertawa dalam dekapan cerita babi ngepet dengan nasi urapnya.
Selain kisah konyol yang kami buat waktu era sd. Banyak pula perubahan yang dialami diri kami masing-masing. Mulai dari suara yang lebih membawa jiwa kebapak-bapakan dan udah nggak lagi terdengar imut-imut unyu seperti suara upin-upin, tinggi yang mulai menjulang melebihi pohon nangka, bulu-bulu halus yang mulai menggeliat dibawah hidung bahkan ada yang nyambung sampai kedalam ketek, dan sampai kami semua menasbihkan diri sebagai perokok aktif. Padahal waktu sd, kami pernah ketahuan ngerokok sampai akhirnya ibu kami main salah-salahan mencari siapa dalang yang membawa kami semua menghisap satu batang samsu yang dibeli dari patungan uang jajan dibelakang gedung sekolah.
Ada kehangatan kecil yang menyelimuti ngumpul kali ini. Sesuatu yang sudah lama hilang ditelan waktu. Ngumpul lebih berbeda dari biasanya. Mulai dari pembahasan mengenai masa-masa smp dan smk. Membahas orang-orang yang sama-sama kita kenal. Dunia begitu sempit memang. Sampai membahas cewek-cewek sd yang sekarang mulai mengalami pengembangan dada. Kami memang pemikir yang vulgar.
“Eh si anu sekarang anunya udah gedean ya. Gila dah, gondal-gandul coy”
“Itu bola basket apa bola voli ? gue rasa tumor tuh Bahahahaha”
“Jadi pengen nyusu...”
Ngga tahu kenapa selalu ada percakapan seperti ini dimana pun gue berada. Kenapa gue bisa terbelenggu ke dunia bokep seperti ini ??!! saalloh
Umur bertambah, pemikiran juga bertambah. Dulu kita cuma bisa ngobrolin, maen bola, maen petak umpet, besok ada pr apa nggak ?, sekarang obrolan jadi lebih intim. Ada yang membahas cewek, tawuran, pekerjaan, sampai pekerjaan sambil tawuran. Banyaklah obrolan yang terangkai selama ngumpul sampai pagi ditemani seteko kopi hangat dan satu bungkus rokok yang kami nikmati bareng-bareng.
Detak jam terdengar jelas ditengah obrolan kami. Pukul 04.30 pagi. Sambil main pes dan menonton film. Ngumpul kali ini tidak terasa sudah memakan setengah pagi. Kemudian  angin berhembus lewat celah pintu hawa dingin khas suasana pagi membuyarkan hangatnya nostalgia. Gue menghembuskan asap rokok yang menari-nari di depan wajah gue. Gue memandangi sahabat-sahabat gue bergantian. Tidaklah aneh memang melihat mereka-mereka ini sudah dewasa. Meski sudah lama tidak bertemu, kita masih sangatlah akrab. Tidak ada jaim ataupun jarak yang memisahkan obrolan kita. Masih sama seperti enam tahun yang lalu. Hanya umur dan kebiasaan kami saja yang membedakan dengan masa lalu.
Benar-benar nggak percaya, sudah selama ini berpisah akhirnya bisa berkumpul lagi. Enam tahun yang lalu gue cuma punya mereka sebagai sahabat sekaligus keluarga, sekarang sahabat gue sudah bertambah, bukan hanya mereka. Begitu pun mereka. Kami sama-sama punya sahabat yang berbeda. Namun sebanyak sahabat yang kita miliki, tali persahabatan yang telah kami ikat erat daridulu tak akan pernah lepas. Gunting atau gergaji tak akan bisa memutusnya. Sekuat apapun untuk melepaskan, sahabat tetaplah sahabat. Tidak akan pernah lenyap oleh waktu. Waktu bukanlah jarak, tetapi hanya pengingat bahwa kita masih punya sahabat dimasalalu. Seiring jalannya waktu sahabat kecil kita akan menjadi lebih besar. Kemudian semakin kecil pula waktu kita untuk bersama-sama. Jadi, memaksimalkan pertemuan adalah jalan terbaik untuk menghilangkan rasa rindu dengan kehangatan nostalgia bersama sahabat.
Mentari pagi menyapa kami. Saatnya kasur dirumah tidak sabar untuk dibuai lembut. Kami pulang dengan satu ‘TOS’ sebagai lambang sampai jumpa lagi.

Senin, 18 Januari 2016

Tentang Pencarian


Pencarian bukan sebatas  lewat google atau media social. Selalu ada perjalanan yang kerap penuh dengan tantangan yang akan selalu menghadang di depan mata.

Setiap kali mencari barang-barang yang gue lupa terakhir kali meletekannya. Pasti gue selalu melancarkan pertanyaan ke nyokap “Mak, anuan paskal dimana ?” dan nyokap akan menjawab dengan ketus sedikit berteriak “Cari dulu pake mata!”. Terus-menerus begitu sampai gue benar-benar nggak mendapatkan barang yang gue cari, lalu nyokap akan memeriksa tempat pencarian gue. Ajaibnya, nyokap selalu menemukan barang yang gue cari. Entah, apakah memang setiap emak-emak memiliki kemampuan pencarian barang diatas rata-rata dari makhluk hidup lainnya atau guenya aja yang nggak benar-benar mencari dengan teliti.
Kejadian seperti itu tidak terjadi sekali atau dua kali. Tapi bisa berkali-kali sampai gue nggak tahu berapa kali nyokap harus menembus telinga gue dengan umpatannya “Makannya, cari tuh pake mata! Jangan pake dengkul!” Kalau sudah begitu gue hanya bisa cengengesan sambil garuk-garuk pantat (FYI, gue suka lupa kalau abis berak itu harus cebok).
Seperti halnya tadi siang sebelum sholat jumat. Setelah mandi dan memakai perlengkapan anak masjid seperti baju koko, sarung, dan uang dua rebu rupiah buat dimasukin ke kotak amal. Ketika becermin di depan kaca, penampilan gue seperti ada yang kurang dari tempatnya. Rasanya ada yang hilang dari kedudukannya. Gue mikir sambil meneliti seluruh bagian tubuh gue yang kurang. Rambut ? udah di semir pake pomade, muka ? udah begini aja nggak bisa dirubah-rubah lagi. Kuku ? udah rapih di warna-warnain pake kutek. Bibir ? ya, boleh lah poles lipstick sedikit. Buset apaan ya yang kurang. Gue masih menekuri tubuh gue yang masih kurang dengan perangkat solat jumat ini.
Sekedar melupakan perangkat yang sepertinya tidak terlalu penting-penting amat, gue segera meluncur keluar rumah. Saat menutup pagar, tetangga gue lewat mau berangkat solat jumat juga. Dia menyapa gue kemudian gue menyapanya balik. Gue memandangi dia dari belakang. Kendati bukan memandangi bapak-bapak itu karena cinta, gue mulai paham dan tahu bahwa dari tadi yang gue lupain adalah kopiah. Nah, kopiah hitam kesayangan gue.
Gue masuk lagi kedalam rumah. Membuka lemari dan mencari-cari kopiah yang telah tertinggal itu. Maafkan aku kopiah karena ku telah melupakanmu. Gue mencari ditumpukkan baju yang tersusun rapih setelah di setrika dua hari yang lalu. Gue mengobrak-abrik sampai tumpukan baju itu benar-benar menjadi berantakan. Tidak ada. Semua baju, celana, kancut, dan bh di lemari gue sudah dipisahkan di luar lemari. Sayangnya kopiah itu nggak bisa gue temukan. Merasa gagal dalam pencarian seonggok kopiah. Akhirnya gue mengambil insiatif terakhir yang seharusnya gue hindari jauh-jauh. Karena gue akan menjadi bahan maki-makian nyokap kalau sampai dia tahu kalau gue lagi-lagi lupa meletakkan barang pada tempatnya. Belum lagi kalau nyokap yang menemukan kopiah gue yang hilang itu, pastinya gue akan dicincang-cincang dengan kalimat mautnya. Ah, bodoamat. Pilihan terakhir pun gue putuskan. Tanya nyokap. Sebenarnya pilihan ini lebih sulit daripada memilih duluan telor atau ayam.
“Mak, ngeliat kopiah aku nggak ?” tanya gue dengan suara agak keras pada nyokap yang sedang asoy tiduran sambil megang remot dan nonton film india. Kalau gini sih sama aja kayak bangunin singa tidur.
“Cari dulu pake mata!” kalimat itu lagi-lagi keluar dari mulut nyokap dan menerjang kuping gue tanpa permisih.
“Udah dicari tapi nggak ada mak” kilah gue.
“Cari dulu pake mata!” ujar nyokap lagi dengan ketus.
“Beneran dah, ini udah aku bongkar seisi lemari tapi nggak ada juga kopiahnya. Udah mau adzan jumat nih. Dipake bapak kali ya ?”
Nyokap berdiri dari tapuk singgah sananya. Melempar remot ke sembarang tempat. Dengan muka garang secantik Sofiala Jubah lagi marah lalu menghampiri gue.
“Lupa mulu sih! Awas lo” nyokap menyibak gue dari depan lemari. Mencari dengan gesit. Tangannya menari-nari ganas didalam lemari. Sepertinya nyokap cocok jadi tim SAR nih.
Gue hanya bisa menunggu nyokap mendapatkan kopiah. Sembari berharap kopiah itu ditemukan. Tetapi disisi lain dalam benak gue bilang, “Mudah-mudahan nggak ketemu. Kalo ketemu, habislah gue”
Nyokap tampaknya nyerah. Terlihat dari wajahnyanya yang menampakkan kegagalan. Kemudian nyokap mendongak ke atap lemari. Wajahnya melukiskan seringai kejam. Ada pesan kengerian dibalik senyuman itu. Dan tampaknya nyokap sudah menemukan kopiah yang gue cari. Betul saja, ketika mata gue tertuju pada atap lemari, dengan kampretnya kopiah itu bertengger terbalik. Penuh debu dan tampak usang. Nyokap merenggut kopiah itu sebelum gue mendapatkannya lalu kabur sebelum nyokap mengatakan hal-hal yang nggak ingin gue denger.
Nyokap menyibakkan debu di kopiah dengan tangan kirinya. Lalu menyodorkannya kearah gue. Matanya sedikit nyalang. Lalu kata-kata itu pun muncul tanpa gue persiapkan mental terlebih dahulu.
“Ini apaan ?” tanya nyokap seperti pertanyaan dari polisi ketika sedang menilang ‘anda tahu kesalahan anda ?’
“Kopiah mak” gue merenggut kopiah itu pelan dari genggaman tangan nyokap, tidak melihat kedua mata nyokap yang mulai berapi-api.
“Makannya!---” dengus nyokap lalu melanjutkan kalimat yang kurang penjelasan ngeri itu “Makannya nyari tuh pake mata! Jangan pake dengkul! Bisanya mak-mek-mak-mek doang”
“Iya mak. Iya maaf” gue menyalimi tangan nyokap. Mencium punggung tangannya lalu pergi secepat mungkin dari rumah ke masjid sebelum nyokap menambah kalimat-kalimat yang sedikit demi sedikit menyayat gendang telinga gue.
“Assalammulaikum” teriak gue seraya menutup pagar hingga menimbulkan bunyi gemeletuk keras.

Sampainya di masjid, gue duduk bersila menyalimi bapak-bapak yang berada di samping kiri kanan gue. Untaian senyum mengiringi jabat tangan gue pada mereka. Setidaknya meskipun senyum gue rada senikmat asam kecut cuka bakso, bapak-bapak ini merasakan hangatnya telapak tangan gue yang seringkali gue gunakan sebagai  penggaruk pantat saat menemani gue untuk tidur nyenyak.
Gue duduk sambil memainkan kuku yang panjang pendeknya tidak beraturan. Membersihkan kotoran hitam dari sela-sela kuku lalu menciumnya. Jijik sih, tapi enak sih. Kemudian serangkaian penghilang bosan dilanjutkan dengan mengelupas kulit samping kuku yang menimbulkan efek perih yang sangat amat dahsyat. Sial berdarah, gue ambil wudhu lagi lalu duduk di tempat yang berbeda. Menunggu adzan dan khotbah, gue duduk tepekur memandangi ka’bah yang tersulam indah di lembaran sajadah. Memandanginya seraya mengingat sedikit memori ketika kopiah gue nggak bisa ditemukan tetapi nyokap mampu menjadi penyelamat dari pencarian tersebut.
Ternyata ketika pencarian kita harus benar-benar detail dan nggak gampang putus asa. Tidak hanya sekedar mencari, nggak ketemu, lalu menyerah begitu saja. Semua yang berkaitan dengan mencari kadang-kadang memang menyusahkan. Terutama mencari pasangan. Sial, lagi-lagi gue mengaitkan ini dengan cinta.
Begitulah, cinta sama kayak bola. Harus dikejar bukan ditunggu. Harus dicari bukan didiamkan. Perlu aksi pencarian yang cermat dan teliti dalam prosesnya. Meski akan memakan waktu yang panjang, percayalah pencarian nggak akan membohongi kita. Akan ada hasil yang melegakan dibaliknya. Akan ada jiwa yang senantiasa mengisi hati kita jika benar-benar mencari dengan tulus. Pentingnya ketulusan ketika mencari adalah supaya tidak ada kata lelah yang menghalangi.
Segala sesuatu di dunia ini butuh pencarian. Untuk mendapatkan nilai  dalam soal matematika seorang professor yang kepalanya botak sampai mengkilap kaya bodi mobil Porsche sekali pun perlu menggunakan pencarian yang kongkrit untuk mendapatkan hasil yang absolut. Cinta itu absolut. Mutlak pada sebuah kesan bernama kasih sayang. Jika pencarian kita sukses pada seseorang yang menurut kita pantas untuk mengisi ruang kosong dihati. Mulai saat itulah kita harus benar-benar berhenti mencari. Berhenti berkilah bahwa kita membutuhkan cinta ini dan itu. Berhenti pula membutuhkan kasih sayang ini dan itu. Pencarian adalah proses. Hasil adalah harta karunnya. Jadi, carilah yang ideal dengan detail sehingga harta karun itu akan menjadi keindahan dan kenyamanan di dalam kebersamaan yang biasa disebut cinta.

Jumat, 08 Januari 2016

Siulan Harmonikamu


Langkah kaki dengan pasti menapaki jalan setapak di sisi taman. Sepasang kaki itu berjalan menuju bangku taman berwarna putih. Jita, cewek manis berambut pendek dengan poni yang menjadi tirai di dahinya. Mendaratkan pantatnya di sebuah bangku. Sambil menikmati lagu Endah n Rhesa yang berjudul Liburan Indie yang didengarnya via earphone sambil membaca rangkaian kata yang terangkai indah di dalam sebuah novel. Sejenak ia menengadahkan kepalanya berpaling dari lembar halaman 102 di novelnya tuk sekedar melihat keadaan taman. Sore jam 4, dipenuhi anak-anak kecil yang bermain bola, bermain jungkat-jungkit, petak jongkok, petak umpet, ayunan, sampai bermain ular naga. Jita tersenyum oleh ingatannya yang langsung melambung jauh kearah masa kanak-kanaknya yang penuh dengan keriangan tawa.
Tatapannya kembali lagi ke lembaran novel. Ia membaca kalimat yang terangkai dilembaran itu. Membaliknya dan sedetik melirik kearah pohon ceri yang berdiri gagah tepat dihadapannya sekitar 10 meter dari tempatnya duduk. Belum sempat kembali menatap lembaran novelnya, ia menutup novel itu lalu tatapannya tak rela pergi dari pohon ceri yang ia pandang. Jita melepas earphone yang ia kenakan, mendengarkan alunan merdu suara yang keluar dari alat musik tiup di seberang sana. Indah, nyaman, sejuk, dan lembut. Lantunan satu per satu nada yang terlantun dari harmonika diatonik itu membuatnya seperti berada di bawah pohon rimbun yang sejuk.
“Keren” ujarnya kagum, sambil memangku dagunya dengan telapak tangan ia menatapi cowok gondrong sebahu itu duduk bersandar dibatang pohon ceri dengan sangat khusuk meniup dan menghisap lubang-lubang kecil di harmonikanya.
Jita begitu kagum melihat cowok itu. Senyumnya tak redup saat cowok itu memainkan harmonikanya. Teriakan anak kecil, tangisan balita jatuh tersandung batu, dan suara klakson mobil saat lampu merah terdengar senyap ditelinganya. Hanya suara sejuk dari harmonika cowok gondrong itu yang terdengar di gendang telinganya. Ini seperti memanjakan gendang telinganya yang sering disuguhkan lagu-lagu pop, jazz, rock, dan dangdut. Bukan main permainan harmonika yang tunjukkan cowok itu. Jita sampai-sampai ingin menyewanya sebagai guru musiknya.
Cowok itu melepaskan harmonikanya dari gandengan mulutnya. Cowok itu menyeka keringat yang banjir di dahinya. Hari ini sangat terik. Dari kejauhan Jita ingin sekali mengusap dahi cowok itu dengan tisu yang ia belinya tadi di kantin kampus. Namun sayang, keinginannya harus terbendung karena cowok itu pergi meninggalkan taman dengan menyisakan bekas pantat diatas tanah. Jita melihat punggung tegap cowok itu sambil tersenyum mesam. Ingin sekali ia berkenalan dengan cowok itu. Cowok misterius yang ahli memainkan udara menjadi satu rangkaian melodi yang indah. Punggung cowok itu menghilang ketika ia berbelok kearah gang. Jita menghela napas penuh sesal. Besok! Besok ia harus kenalan. Tidak peduli dirinya cewek. Cinta nggak memandang siapa yang lebih dulu, kalau cinta ya, ungkapkan. Bukan dipendam. Tapi Jita belum yakin kalau ini benar-benar cinta, mungkin ini hanya sekedar mengagumi. Yap, ini hanya mengaggumi. Jadi, Jita tak perlu repot-repot mengingikannya menjadi yang lebih untuk singgah dihatinya.
--------------
Sore ini Jita sengaja datang ke taman tepat saat kemarin ia melihat cowok yang memainkan harmonika dengan indah dibawah rindangnya pohon ceri. Ia menunggu di bangku yang letaknya lebih dekat dari pohon ceri. Hati Jita penuh harap menunggu cowok itu memainkan harmonikanya. Tiga puluh menit ia tidak menemukan sosok cowok yang ia tunggu. Penuh pertanyaan dimana dia ? dalam otak Jita. Jangan-jangan hari ini dia tidak kesini. Ia Berdiri dari bangku menelusuri pandangannya kesetiap sudut taman. Pencariannya berhenti ketika melihat cowok itu berjalan melewati anak-anak kecil. Mengenakan switer abu-abu, celana jeans, rambut gondrong yang menutupi sebagian matanya, ia berjalan menunduk dan menenggelamkan kedua tangannya didalam kantung switer yang berada di perut. Jita cepat-cepat merogoh tas ranselnya menyergap novel, pura-pura baca. Ia menutupi wajahnya dengan novel, menurunkan novel perlahan lalu melirik cowok itu yang sudah duduk bersandar di pohon. Jita tersenyum senang. Yes, ayo lantunkan harmonikanya.
Dibalik novel Jita tenggelam ke dasar melodi indah. Tiupan lembut dari mulut cowok itu dengan rapih menyatukan dan menerpa desir angin yang bising. Nyaman. Jita sampai memejamkan matanya menikmati rangakaian melodi yang cowok itu ciptakan. Angin topan sepertinya iri dengan angin yang keluar dari sela-sela lubang harmonika itu. Tak sadar kaki-kaki Jita menghentak-hentakkan rumput taman, saking merdunya melodi itu Jita benar-benar terbelunggu dengan cara hipnotis lewat harmonika ini. Jita terlelap, angin-angin taman menambah kesejukan sore.
PRAK! Buku Jita terjatuh. Suara harmonika yang dilantunkan cowok itu berhenti. Hening. Jita melongo menatap cowok itu yang berhenti memainkan harmonika, cowok itu pun menoleh kearah Jita lalu tersenyum ramah. Jita membalas senyuman itu penuh malu, wajahnya merah. Lalu ia mengambil novel yang jatuh dan memasukannya ke dalam ransel.
Cowok itu memainkan harmonikanya lagi. Ia memainkannya penuh dengan penghayatan. Disetiap tiupannya mengandung banyak arti. Meski Jita tak mengerti musik blues yang dimainkan oleh cowok itu, setidaknya melodi dan suara yang terdengar cukup menyejukkan telinganya. Ditengah cowok itu memainkan harmonika tiba-tiba terdengar suara gedebuk keras. Wajah cowok itu terkena sepakan bola anak-anak SMP yang sedang bermain di lapangan futsal. Harmonika yang ia mainkan terlepas dari genggaman mulut dan tangannya, melayang jauh ke jalanan. Dari arah selatan meluncur sebuah truk hijau bermuatan pasir melintas. Gemeretak keras terdengar. Harmonika cowok itu hancur berkeping-keping menjadi serpihan puzzle yang berantakan.
Jita melongo dengan mata nyalang melihat harmonika yang dua hari ini memanjakan telinganya berubah menjadi  kepingan puzzle yang tak berarti.
Cowok itu beranjak dari duduknya. Berlari menyelamatkan harmonikanya yang telah hancur. Ia susun komponen-komponen yang menyatukan harmonika itu, tapi tak ada yang berubah. Ia tidak bisa memberbaiki harmonika kesayangannya. Harmonika itu tetap hancur.Wajahnya redup dipenuhi kekecewaan. Ia tidak marah kepada sang penendang bola. Ia justru tersenyum dan mengusap kepala anak smp yang menendangnya. Bibir cowok itu mengalir darah segar. Menyadari bibirnya terluka, ia segera meninggalkan taman. Begitu parahnya tendangan yang dihempaskan ke wajahnya. Jita ingin sekali menghampiri cowok itu, tapi rasa malu masih menyeruak didalam tubuhnya. Hatinya mendorong dirinya untuk membantu cowok itu tapi raganya masih tertahan oleh rasa takut. Entah takut apa ? Padahal cowok itu sama sekali bukan cowok yang kasar atau keras.
Remukan harmonika yang hancur ia masukan kedalam kantung celana. Lalu ia pergi meninggalkan Jita yang masih gelisah dibangku taman.
----------------------
Napas tersengal-sengal tak beraturan ketika Jita tiba di taman. Ia melirik jam, sudah setengah enam sore. Sebentar lagi langit gelap. Jita tergesah-gesah mencari orang yang ia kagumi. Lebih tepatnya yang ia cintai meski hanya lewat lantunan suara harmonika, rasa cinta itu merambat dengan cepat kehatinya dan membentuk cinta yang kuat. Aneh memang, tapi itu kenyataannya. Jita berdiri di atas bangku, tidak memperdulikan larangan yang tertulis “Dilarang Berdiri di Atas Bangku” matanya seperti lensa dslr dengan ditambah lensa tele supaya lebih mendapatkan objek dengan jarak yang jauh. Tak ada. Taman perlahan mulai sepi, langit senja menunjukkan jingganya disudut barat. Ia melompat dari bangku setelah menyadari bahwa cowok yang ia cari sedang duduk dipinggiran rooftop gedung parkiran yang letak gedung tersebut berada dipinggir taman. Cowok itu dengan santai menikmati alunan alami angin yang berhembus ke wajahnya sambil mengayunkan kedua kakinya ia memandang lurus kearah tenggelamnya matahari.
Tibanya di rooftop, Jita dengan hati-hati mendekati cowok itu. Sampai Jita berada di belakang punggung cowok harmonika itu, ia sama sekali tidak disadari kedatangannya. Perlahan-lahan ia duduk disamping cowok itu. Jita menggeser duduknya beberapa inci. Menyadari ada orang disampingnya, cowok itu melirik kearah Jita terperangah. Terkejut lalu tersenyum ramah. Jita membalasnya dengan senyuman manisnya. Dalam hati Jita meragu sambil menghitung kancing kemejanya, ngomong nggak ya ? ngomong nggak ya ? ngomong nggak ya ?
Ngomong ! Harus ngomong!
“Kamu ngapain disini ?” tanya Jita tidak berani menatap cowok itu.
Cowok itu hanya diam menatap matahari yang hendak berlahan mulai tertidur.
“Kamu ngapain disini ?” Jita tanya sekali lagi. Ia tak di gubris oleh cowok itu. Lalu ia mencolek bahu cowok itu dengan jari telunjuknya. Cowok itu menoleh kearah Jita dengan tatapan penuh bingung “Kamu ngapain disini ?” tanya Jita.
Cowok itu menggaruk kepalanya. Lalu menggerakkan tangannya layaknya pengguna bahasa isyarat.
Jita mengernyitkan dahi “Maksudnya ?”
Cowok itu menggerakkan pergelangan tanganya dengan lincah. Jarinya dimainkan seperti sedang menari-nari membuat Jita ingin pingsan karena tak mengerti.
Jita lalu merogoh ranselnya. Mengambil binder dan pulpen lalu menuliskannya di lembar kosong.

“Kamu sedang apa ?” tanya Jita lewat tulisan di atas lembar kosong bindernya.
“Menikmati udara sejuk. Maafkan aku tidak bisa mendengarmu. Aku tunarungu”
Ketika menerima kembali binder yang telah ditulis oleh cowok  itu, Jita tercekat. Seperti ada yang menusuk hatinya dengan jarum tajam penuh pertanyaan. Bagaimana bisa seorang tuna rungu memainkan harmonika sebagus itu ?
“Tidak apa-apa, itu sebagian kelebihan kamu yang tidak aku miliki. Kenapa kamu tidak bermain harmonika ?” tanya Jita pura-pura tidak tahu kalau harmonika kesayangan cowok itu telah rusak.
“Perlu satu hari untukku berpisah dengan barang yang satu itu”
“Kenapa berpisah ?”
“Sepertinya dia perlu istirahat untuk menepi sebentar”
“Padahal kamu jago loh main harmonikanya. Keren abissss deh J
“Aku tidak sejago itu. Itu standar, kamu juga bisa memainkan seperti yang aku lakukan”
“Ihh..kamu batu ya. Oh iya bolehkah aku mengetahui namamu ?”
“Falen, namamu ?”
“Jelita Dwi Melody”
Falen tersenyum ketika mengetahui nama Jita lalu membalas lembaran kertasnya lagi.
“Nama yang indah. Pantas untuk wanita sepertimu ”
“Terimakasih. Apakah kamu tidak ingin bermain harmonika ?”
“Untuk saat ini belum”
Falen memberikan binder ke Jita menatap manis wajah Jita dengan penuh kasih lalu menoleh ke arah matahari yang beberapa menit lagi akan menghilang. Hatinya penuh gemuruh, pertanyaan yang ia jawab adalah kebohongan hatinya. Dalam kejujuran hatinya ia sangatlah ingin memainkan alat musik kesayangannya itu.
“Kenapa ? bagaimana kamu bisa tahu bahwa kamu belum mau memainkannya lagi ?”
“Entahlah”
“Kenapa ?!” Jita menubrukkan ujung binder itu ke Falen, matanya nyalang memaksa Falen untuk menjawab pertanyaannya.
“Harmonikaku rusak. Aku tak bisa memperbaikinya lagi. Padahal cuma itu bentuk pertemananku. Dengan harmonika itu aku merasa lebih tenang dan merasa tidak sendiri. Selama ini aku hidup sendiri dan tak ada orang yang bisa menerimaku, kecuali teman-teman sependeritaan sepertiku ini”
Jita menahan haru dibenaknya ketika membaca kalimat dari Falen.
“Kamu sekarang tidak sendiri kok. Ada aku disini. Dan mohon maaf sebelumnya untuk pertanyaan ini, bagaimana kamu bisa memainkan harmonika sebagus itu padahal kamu tidak bisa mendengarnya ?”
Falen menghadap Jita, menunjuk dadanya dengan telunjuknya sambil tersenyum“Dengan hati. Aku mampu merasakan lantunan yang kurangkai dengan harmonikaku. Tidak perlu dengan indera pendengaran, aku bisa mendengarnya dengan hati ini. Aku belajar dari Bethoveen, meski tuli ia masih bisa menjadi seorang musisi”
“Kamu memang beda dari yang lain. Aku kagum denganmu, Falen”
“Terima kasih telah menjadi pengagumku J. Baru kali ini seseorang yang menganggap diriku ada. Sebelumnya mereka hanya mencelaku sebagai pendengar yang buruk. Terimakasih sekali lagi.”
“Aku akan menjadi pengagummu untuk selamanya jika kamu mau memberikanku lantunan indah harmonikamu, bagaimana ? apakah kau setuju ?”
“Kan harmonikaku rusak”
Jita menarik tangan kanan Falen, meletakkan harmonika diatonik dan selembar kertas post-it yang bertuliskan ”Mainkan untukku, atau akan ku lempar harmonika ini ke kepalamu!” di telapak tangannya.
Falen tertawa melihat ini. Lalu sorot matanya jelas dengan lembut menatap mata bulat di wajah Jita. Jita lalu menyerahkan bindernya ke Falen.
“Buruan mainin! Jangan dilihatin aja heh!! ” ujarnya diatas kertas kosong dengan memperagakan gestur marah di hadapan Falen. Tangannya dilipat didepan dada dan wajahnya sarat amarah tapi wajah Jita justru lebih terlihat imut ketika marah. Itulah pandangan Falen terhadap Jita.
Falen memutar-mutar harmonika barunya. Ia pandangi sepuluh lubang yang terletak disana. Ia tersenyum senang. Lesung pipinya tak terhindari ketika senyum itu merekah penuh kebahagiaan. Lalu Falen menanggkupkan harmonika barunya itu ditelapak tangannya. Lalu ditempelkannya sepuluh lubang harmonika di ujung bibirnya. Suara merdu nan indah keluar perlahan dari lubang-lubang harmonikanya. Sepuluh lubang itu menjadi pintu awal keindahan melodi yang tercipta dari bibir sang pencipta harmoni. Jita menikmati lantunan melodi harmonika yang dimainkan oleh Falen. Jita menggoyangkan ke kiri kanan kepalanya riang sambil mengayun-ayunkan kaki di pinggiran rooftop gedung. Falen begitu menghayati permainan harmonikanya sampai memejamkan mata. Sesekali Jita melirik wajah Falen yang terpejam sambil menikmati permainan harmonikanya. Ia tersenyum lalu mengambil binder yang berada di samping Falen kemudian menuliskan sesuatu yang akan diberikannya kepada Falen setelah Falen selesai bermain.
“Lantunan angin merdu yang keluar dari sela-sela lubang harmonikamu ini membuat kesunyianku yang tak terdengar berubah sedemikian rupa menjadi rasa sayang yang sejuk dan indah”

Jita menengadahkan kepalanya. Melihat senja yang iri dengan lantunan angin-angin merdu yang dibuat oleh Falen. Bukan hanya senja yang iri, dia yakin angin malam, angin fajar, bulan, bintang, hingga matahari akan cemburu mendengar suara merdu harmonika yang dimainkan Falen. Buktinya jelas, senja kini pergi berlari menjauhi Jita dan Falen ditengah merdunya iringan melodi yang keluar dari harmonikanya.

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone