Power Of Juri
Merana adalah tindakan
bodoh yang dilakukan oleh pecundang dalam menyikapi sebuah kekalahan. Dalam
sebuah kondisi apapun jangan pernah melakukan hal yang bernama merana. Merana
nggak akan menyelesaikan apapun apalagi menjadi jalan keluar dalam menanggapi
sebuah kekalahan. Merana hanya mengmhabat perjuangan lo untuk merubah sesuatu ke
tingkat yang lebih baik. Menerima dan semangat lah jalan satu-satunya yang
tepat untuk dilakukan.
Begitulah ketika gue
menyikapi kekalahan saat mengikuti sebuah perlombaan. Saat itu gue dipercaya untuk
mewakili sekolah gue dalam perlombaan printing
tingkat provinsi DKI Jakarta. Diikuti oleh beberapa sekolah yang jurusannya
adalah Grafika (Baca : Sebuah jurusan
yang mempelajari teori dan praktik bidang cetak mencetak. Intinya grafika itu
berkaitan khusus pada sebuah cetakan. Contohnya buku, poster, undangan sunat,
kawin, koran, majalah, dll. Segalanya tentang hasil cetakan itulah yang
dipelajari dari mulai ide, desain, proses cetak, dan finishing / pengemasan
hingga menjadi sebuah cetakan yang layak jual) Panjang amat yak gue
jelasinnya.
Perlombaan tersebut
adalah perlombaan tahunan yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan dalam mengembangkan bakat siswa/siswi smk di Indonesia. Dibagi
menjadi beberapa bidang sesuai jurusan dari masing-masing sekolah. Ada IT,
Otomotif, Pariwisata, dll. Nah, yang saat ini gue ikuti adalah dibidang Grafika. Namun untuk pengetahuan kalian,
sekolah dengan bidang Grafika masih
sangat terbatas di Indonesia. Untuk di Jakarta hanya ada lima sekolah. Dari
lima sekolah hanya satu yang berbasis negeri, empat lainnya adalah swasta. Dan
sekolah gue berbasis swasta.
Diperlombaan kali ini
hanya ada dua sekolah yang diikut sertakan. Ditingkat provinsi Jakarta, sekolah
yang berbasis negeri ini selalu ikut serta bahkan panitia perlombaannya adalah
guru-guru dari sekolah tersebut. Pemerintah mempercayai sekolah negeri ini untuk
mengadakan perlombaan sekaligus memilih salah satu dari empat sekolah Grafika swasta untuk dijadikan sebagai
lawan. Beruntungnya tahun ini sekolah gue yang mendapat kesempatan. Lebihnya
lagi gue menjadi wakil dari dua anak yang beruntung dipilih oleh sekolah
sebagai duta di perlombaan tersebut.
Hoki.
Bisa
dibilang begitu. Merasa kemampuan gue nggak terlalu wah, tetapi gue yang
ditunjuk untuk mengikuti lomba. Ini juga berkat Allah swt yang mendengar doa
kecil gue saat gue masih duduk di kelas sepuluh. Ketika melihat kaka kelas gue
mendapat penghargaan juara satu dan dua di sebuah perlombaan Printing timbul keinginan dalam hati gue
untuk melanjutkan perjuangan mereka. Gayung bersambut, dua tahun kemudian doa
yang nggak terlalu gue niatin banget ternyata terwujud. Tuhan memang selalu
mendengar doa apapun yang terucap dari hati. Makannya itu saat ini kalo ada
cewek cakep lewat gue selalu menyilipkan sebuah doa kecil ‘Yallah mudah-mudahan
dia jodoh hamba. Walaupun bukan jodoh, seenggaknya bisa lah dipikir-pikir dulu.
Kali aja jodoh’.
Latihan di mesin cetak selama
satu bulan bersama para instruktur praktik dipercatakan milik yayasan sekolah
pun selesai. Berkat gemblengan dan pengalaman yang mereka miliki gue dilatih
menjadi operator mesin cetak yang lumayan handal. Segala seluk beluk mesin dan
permasalahan yang mungkin akan terjadi di mesin cetak saat perlombaan nanti sudah
di simulasikan dengan melakukan segala antisipasi. Berkat latihan ini pula gue
jadi makin dekat dengan instruktur yang nggak terlalu gue kenal dan liburan
setelah ujian nasional dengan berat hati harus gue isi untuk latihan Full Time.
Mesin cetak offset bernama Heidelberg speedmaster 52. Ini adalah mesin ketika gue latihan.
Satu hari sebelum hari
perlombaan. Di sebuah kampus negeri yang letaknya tidak jauh dari sekolah gue. Gue,
sobat gue dan dua peserta dari sekolah negeri diberikan pelatihan singkat
selama tiga jam untuk mempelajari mesin cetak yang akan digunakan saat
perlombaan. Sialnya, gue sangat buta dengan mesin yang akan digunakan nanti.
Mesin yang digunakan adalah mesin buatan jepang, sedangkan ketika latihan
selama sebulan, yang gue gunakan adalah mesin buatan jerman. Yang otomatis
segala tombol dan cara penyetelan sangatlah berbeda. Meski tidak terlalu jauh
perbedaannya tetap aja KAMPRET!!. Kenapa
panitia nggak menginformasikan terlebih dahulu untuk mesin yang akan digunakan
saat lomba nanti. Ini nggak adil! Apa-apaan ini. Saat itu gue sudah merasa
kalah dalam berperang. Tapi semangat masih membara. Kalah menang belakangan
yang penting gue bisa menyelesaikan hasil cetakan.
Hayo. ngerti nggak ?
Mungkin gue hoki ketika
tahu kalo gue dapat mewakili sekolah untuk mengikuti sebuah perlombaan tingkat
provinsi. Tapi gue sangatlah tidak hoki ketika ditunjuk menjadi peserta
pertama. Beban peserta lain ada di pundak gue. Jika gue mampu melakukan yang
terbaik, gue yakin peserta lain akan panik. Tetapi jika gue melakukan
kesalahan, pasti peserta lain akan tertawa kayak nenek lampir lalu membuat
pesta dadakan, mengundang kangen band sebagai bintang tamu, dan menyoraki gue
ketika keluar dari ruangan sambil tepuk tangan ‘Paskal cemen, paskal cemen,
paskal cemen !!!!’.
Sakurai oliver 58, mesin yang digunakan ketika lomba. Buatan negeri matahari terbit.
Di hari perlombaan,
Step
by step cara mencetak sudah gue ikuti dengan baik sesuai
dari kertas petunjuk yang diberikan oleh juri. Mulai dari menyiapkan bahan
seperti kertas, blanket cleaner, plat cleaner, gom, spons, smash, minyak, plat
cetak (Cuman anak grafika yang ngarti nih). Serta penyetelan mesin sudah gue
lakukan dengan baik di computer yang berada di meja CPC (Computer Panel Control).
Nih computernya. Di layar tertera sebuah persentase tinta yang digunakan dari unit per unit.
Ini ketika penyetelan ukuran kertas yang digunakan untuk dicetak. Dan juga mengukur berat kertas serta side standar pada meja pemasukan otomatis bergerak (Anak grafika yang ngarti)
Petaka mulai
berdatangan ketika kertas dari meja pemasukan tidak berjalan dengan baik ketika
melewati meja penghantar. Padahal roda peraba, sikat peraba kertas, anginn penghembus,
dan doublesheet-nya sudah gue stel sebagaimana mestinya (Sori banget nih, Cuma anak
grafika yang ngarti.). Gue mulai panik. Berbagai cara gue lakukan demi
melancarkan jalannya kertas menuju meja pengeluaran. Dibelakang gue ada sebuah
kaca besar yang membatasi ruangan lomba dengan koridor diluarnya. Tepat saat
itu guru gue melihat kepanikan gue. Muka gue yang cemas membuat salah satu dari
guru gue menggerakan tangan seperti charly caplin, gue tau maksud guru gue itu,
kalau gue harus mengatur angina penghembusa dan mengecek ulang doublesheet.
Namun sudah gue lakukan tidak ada yang berubah.
Diluar, harap-harap cemas menonton gue dari sebuah layar tancep. Eh layar dinding deng.
Gue yakin ada yang
salah dengan mesin ini. Seharusnya mesin ini tidak mengalami masalah. Alhasil
waktu gue sudah terbuang 30 menit. Dari dua jam yang diberikan gue belum sempat
mencetak selembar pun. Akhirnya gue meminta bantuan dan menghampiri juri. Peraturan
yang tertera di kertas adalah jika
peserta menanyakan sesuatu ke juri atau ke teknisi, peserta tersebut akan
mendapatkan -1 dari penilaian. Bodoamat!! Daripada gue nggak nyetak-nyetak,
lagian siapa suruh mesin belum distel dengan baik langsung digunain buat lomba.
Udah gitu gue lagi yang jadi korbannya!! Taik nih.
Setelah
mesin sudah benar diperbaiki. Hasilnya kertas yang tadi terhambat dimeja
penghantar, berjalan dengan lancar. Dengan cepat gue segera mencetak satu
persatu kertas. Mulai dari selembar gue mencari register cetakan (Baca : Register cetakan merupakan ketepatan cetak
dalam sebuah lembaran cetakan. Harus sesuai dengan contoh cetakan yang sudah
ada. Mulai dari centring, margin kanan, kiri, atas dan bawah. Serta register warna
harus sama dengan contoh. Kalau contohnya merah ya harus merah, jangan warna
ijo.)
Detik-detik
injury time makin membuat gue panik.
Sedangkan mesin masih berjalan, masih ada 50 lembar yang belum tercetak. Sambil
melihat jam yang putarannya seolah semakin cepat kayak motornya Rossi. Gue
berdoa ‘Yallah 50 lembar lagi yallah!!’.
Baam!! Allhamdulillah cetakannya selesai sebelum waktunya habis. Sehingga gue
bisa membenahi mesin, melepas plat cetak dari silinder plat, menggosok
blangket, dan menghapus data stelan dari computer di meja CPC. Setelah selesai
mencetak. Dilanjutkan dengan sesi interview. Di sesi ini gue di lempari
beberapa pertanyaan kejam. Membuat gue ingin mencolok ketiga juri itu.
‘Tadi
kertasnya kenapa ?’ tanya salah satu juri yang wajahnya seperti bajak laut, dengan
kacamata khas bapak-bapak, bibirnya monyong seperti habis kejepit rolling door,
dan tompel di dagunya. Serta mata kanannya tertutup oleh sebuah perban,
sepertinya matanya habis kelilipan gajah.
Mendengar
pertanyaan kampret gitu. Sebenarnya gue mau jawab ‘Eh kampret, lu nggak ngeliat
sendiri tadi, hah ?!! mesinnya bapuk. Stelan doublesheetnya nggak sesuai sama
yang diajarin kemarin, ada perubahan yang bikin mesin itu nggak berfungsi
sebagaimana mestinya, lu tuh bego apa tolol sih.SEHARUSNYA NGGAK USAH NANYA, LU
KAN JURI, HEH JANGAN DIEM AJA LO!! NGAPA MELOTOT-MELOTOT ? MAU NAKUT-NAKUTIN
GUE?!! NGGAK TAKUT GUE?!!’
Sayangnya
gue nggak berani. Demi menjaga wibawa sekolah dan keselamatan gue ketika pulang
nanti, gue menjawab seadanya ‘Saya sudah atur doublesheetnya pak, tapi nggak
tau kenapa bisa begitu’
Juri
itu hanya mengangguk nggak puas dengan jawaban gue. Lagi-lagi gue pengen
nyemprotin matanya pake blanket cleaner. Perih-perih tuh mata.
Giliran
gue selesai. Gue keluar dari ruangan lomba dengan disambut beberapa pertanyaan
dari sobat gue tak luput juga lawan gue bertanya tentang apa saja yang terjadi
kepada gue. Gue hanya diem. Nggak mau membocorkan kejadian yang tidak
mengenakan ini ke lawan. Karna jika gue memberitahu kalo gue nggak maksimal
pastinya mereka akan mencoba lebih maksimal dari gue. Namun karna mereka nanya
terus akhirnya gue menakut-nakuti mereka dengan bilang ke mereka ‘GILAK.
JURINYA TERNYATA SUMANTO!’
Hasil cetakan gue saat itu. Cakep ya mba-mba digambar itu.
Guru
gue menepuk pundak gue sebagai ucapan ‘GOOD
JOB KAL’ namun gue menganggap tepukan itu sebagai ‘Goblok lu kal. Tolol lu ah gitu aja nggak bisa, percuma latihan
sebulan!!’. Dalam hal ini gue merasa sudah kalah. Gue yakin masalah yang
tadi terjadi pada mesin tidak akan dialami oleh para peserta lain. Mereka akan lancar
dan lebih tenang saat mencetak. Gue pun duduk, menyisir poni dengan tangan
sampai ke belakang, begini lah cara gue mengekspresikan kegagalan.
Untuk
menunggu tiga peserta lainnya gue mondar-mandir nggak jelas. Mengelilingi
mesin-mesin cetak rotogravure (Baca : Rotogravure
merupakan sebuah teknik cetak dalam yang menggunakan sebuah silinder yang dicukil
sebagai acuan cetaknya. Area cetaknya lebih rendah dibanding area tidak
mencetaknya. Tinta akan mengisi cell yang berada di silinder tersebut sehingga
ketika proses cetaknya silinder tersebut akan bersentuhan langsung dengan bahan
cetak dan memberikan gambar pada bahan cetak tersebut). Gue tidak mau
meratapi apa yang terjadi tadi. Gue nggak mau mengingat-ngingat kegagalan gue.
Gue sudah pasti mendapat nilai -1. Namun gue nggak akan tenggelam dalam sebuah
genangan kegagalan. Saat ini gue hanya bisa berharap peserta lain melakukan
blunder yang fatal. Ya, syukur-syukur ada yang pingsan atau ditelpon emaknya
disuruh pulang karna lupa ngangkat jemuran.
Selain
berharap sesuatu yang buruk terjadi. Gue juga nggak lupa solat dan berdoa.
Dengan berbakal download-an aplikasi islami di playstore dua hari yang lalu
yaitu, dzikir setelah solat fardu. Gue pun berdzikir dengan khusuk meminta yang
terbaik dari Allah SWT. Semoga kesalahan gue tadi menjadi yang terbaik di
perlombaan ini. Ya, minimal gue juara satu lah. Juara satu kok minimal ?!!
Yaudah dah, minimal juara dua dah, etdah. Begitulah gue, berdoa saat keadaan
terdesak.
Singkat
cerita perlombaan selesai hingga pukul 10 malam. Hari yang melelahkan dan
menunggu yang cukup lama. Preview perlombaan, sobat gue gagal total. Dari 500
kertas putih yang seharunya dicetak, 200 kertas tidak sempat dia cetak karena
dia terlalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan. Gue mengerti
perasaan dia sekarang, dia sangatlah merana. Ternyata sobat gue ini lebih parah
dari gue. Namun gue tetap memberikan semangat kepada dia. Supaya tidak terus
meratapi kegagalan. Karena meratapi nggak akan memperbaiki kegagalan yang tadi
dia ciptakan, justru hanya memperkeruh ketenangan hati. Support dari guru-guru dan gue akhirnya membuat dia sedikit
tersenyum dari gelombang merana.
Sebelum
pengumuman gue juga sudah dapat menerka-nerka siapa juaranya. Yang pasti bukan
gue atau sobat gue. Dia adalah peserta terakhir. Dia menghasilkan cetakan yang
bagus dan register yang baik.
Ketika
pengumuman juara di sebutkan berdasarkan nilai yang diberikan oleh juri. Mulai
dari nilai.
70+70+86,
segitulah kira-kira nilainya untuk sobat gue yang mendapatkan juara harapan 1.
Fak buat juara harapan. Sampai saat ini gue masih sangat tidak terima dengan
penghargaan yang menggunakan predikat HARAPAN.
Yang namanya harapan itu adalah sesuatu yang belum terwujud, masih semu dan
untuk apa sesuatu yang masih menjadi angan-angan dijadikan sebuah apresiasi
yang membuat peraihnya hanya menjadi sebuah angan-angan semata. Mending diberi
juara empat, jelas predikatnya.
Oke
kembali ke pengumuman. Dilanjutkan dengan angka 85+89+80. Nama gue lalu
disebut. Fix gue juara tiga. Pastinya juara satu dan duanya dari sekolah negeri
itu.
70+85+100.
Juara dua disebutkan lalu dilanjutkan 89+90+89 sebagai juara satunya.
Gue
menundukkan kepala lalu melihat ke guru gue yang ternyum dan mengacungkan
jempol. Perlombaan selesai, semua panitia bergegas pulang. Juri-juri memberikan
ucapan dan jabat tangan kepada peserta. Kemudian gue dihampiri salah satu juri.
Dia memberikan ucapan yang membuat gue sedikit bangga dengan kemampuan gue
serta membuat gue menyesali diri gue sendiri. Dia bilang, Di awal mulai kamu sebenarnya bagus. Tapi pas masalah muncul kamu mulai
banyak menimbulkan masalah dan kamu juga mulai panik, sukses ya. Jabat tangan antara gue dengan juri itu sekaligus
membubarkan acara perlombaan serta meninggalkan sesuatu yang janggal.
Mari
kita telaah. Bukannya gue tidak menerima kekalahan. Gue sangat menerima sebuah
kekalahan. Tapi yang nggak bisa gue terima adalah cara juri menyikapi suatu perlombaan.
Apalagi lomba ini tingkat provinsi. Seharusnya juri transparan dalam menilai,
tidak memihak satu instansi yang berbasis negeri. Okelah gue nggak permasalahin
yang juara satu, sang juara memang layak. Sudah gue lihat jelas dari cara dia
melakukan proses cetak, teratur, cekatan, dan tepat.
Yang
tidak bisa diterima sampai saat ini adalah nilai 100 dalam sebuah perlombaan.
Perlombaan sekelas olimpiade pun gue yakin nggak akan muncul nilai seratus.
NGGAK AKAN. Nilai seratus tidak akan muncul di suatu perlombaan. Gue pernah
denger Saiful Jamil di D Academy (Dangdut banget gue yak) dia bilang ‘Di penjurian nggak akan juri ngasih nilai seratus. Itu nggak boleh.’
meski gue rada dangdut, tapi dari ucapan bang Saiful jamil menyatakan bahwa
nilai seratus sangatlah tidak mungkin muncul di sebuah perlombaan.
Apa
yang terjadi dengan ini semua. Dari jajak pendapat ketika pulang dari lomba. Di
dalam mobil, guru-guru mendebatkan nilai seratus ini. Mereka menerka-nerka
kalau salah satu juri yang memberikan nilai seratus itu tidak sportif. Gue
memang sangat kecewa dengan itu, jika memang juri sportif mungkin gue bakal
juara dua. Ya, semua pun telah berlalu. Mereka yang mengadakan perlombaan, ya,
mereka juga lah yang harus menang.
Walau
gagal dan terlepas dari sebuah isu konspirasi penilaian dari salah satu juri.
Gue akhirnya berteman dengan salah satu lawan gue. Kebetulan sekali dia juga melamar
di sebuah perusahaan yang sama. Gue berbincang-bincang dengan dia, dan mendapat
info kalo sang juara satu mendapat juara nasional. Itu semua berkat latihan
yang rajin di mesin yang sama dengan gue lomba saat itu. Dan jurinya sama.
Sama!! Sama dengan juri ketika lomba tingkat provinsi waktu itu. Dari sini gue
semakin yakin kalau POWER OF JURI lebih kuat dibanding POWER OF SPIRIT.