123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Senin, 30 November 2015

Power Of Juri

Merana adalah tindakan bodoh yang dilakukan oleh pecundang dalam menyikapi sebuah kekalahan. Dalam sebuah kondisi apapun jangan pernah melakukan hal yang bernama merana. Merana nggak akan menyelesaikan apapun apalagi menjadi jalan keluar dalam menanggapi sebuah kekalahan. Merana hanya mengmhabat perjuangan lo untuk merubah sesuatu ke tingkat yang lebih baik. Menerima dan semangat lah jalan satu-satunya yang tepat untuk dilakukan.

Begitulah ketika gue menyikapi kekalahan saat mengikuti sebuah perlombaan. Saat itu gue dipercaya untuk mewakili sekolah gue dalam perlombaan printing tingkat provinsi DKI Jakarta. Diikuti oleh beberapa sekolah yang jurusannya adalah Grafika (Baca : Sebuah jurusan yang mempelajari teori dan praktik bidang cetak mencetak. Intinya grafika itu berkaitan khusus pada sebuah cetakan. Contohnya buku, poster, undangan sunat, kawin, koran, majalah, dll. Segalanya tentang hasil cetakan itulah yang dipelajari dari mulai ide, desain, proses cetak, dan finishing / pengemasan hingga menjadi sebuah cetakan yang layak jual) Panjang amat yak gue jelasinnya.

Perlombaan tersebut adalah perlombaan tahunan yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengembangkan bakat siswa/siswi smk di Indonesia. Dibagi menjadi beberapa bidang sesuai jurusan dari masing-masing sekolah. Ada IT, Otomotif, Pariwisata, dll. Nah, yang saat ini gue ikuti adalah dibidang Grafika. Namun untuk pengetahuan kalian, sekolah dengan bidang Grafika masih sangat terbatas di Indonesia. Untuk di Jakarta hanya ada lima sekolah. Dari lima sekolah hanya satu yang berbasis negeri, empat lainnya adalah swasta. Dan sekolah gue berbasis swasta.

Diperlombaan kali ini hanya ada dua sekolah yang diikut sertakan. Ditingkat provinsi Jakarta, sekolah yang berbasis negeri ini selalu ikut serta bahkan panitia perlombaannya adalah guru-guru dari sekolah tersebut. Pemerintah mempercayai sekolah negeri ini untuk mengadakan perlombaan sekaligus memilih salah satu dari empat sekolah Grafika swasta untuk dijadikan sebagai lawan. Beruntungnya tahun ini sekolah gue yang mendapat kesempatan. Lebihnya lagi gue menjadi wakil dari dua anak yang beruntung dipilih oleh sekolah sebagai duta di perlombaan tersebut.

Hoki. Bisa dibilang begitu. Merasa kemampuan gue nggak terlalu wah, tetapi gue yang ditunjuk untuk mengikuti lomba. Ini juga berkat Allah swt yang mendengar doa kecil gue saat gue masih duduk di kelas sepuluh. Ketika melihat kaka kelas gue mendapat penghargaan juara satu dan dua di sebuah perlombaan Printing timbul keinginan dalam hati gue untuk melanjutkan perjuangan mereka. Gayung bersambut, dua tahun kemudian doa yang nggak terlalu gue niatin banget ternyata terwujud. Tuhan memang selalu mendengar doa apapun yang terucap dari hati. Makannya itu saat ini kalo ada cewek cakep lewat gue selalu menyilipkan sebuah doa kecil ‘Yallah mudah-mudahan dia jodoh hamba. Walaupun bukan jodoh, seenggaknya bisa lah dipikir-pikir dulu. Kali aja jodoh’.

Latihan di mesin cetak selama satu bulan bersama para instruktur praktik dipercatakan milik yayasan sekolah pun selesai. Berkat gemblengan dan pengalaman yang mereka miliki gue dilatih menjadi operator mesin cetak yang lumayan handal. Segala seluk beluk mesin dan permasalahan yang mungkin akan terjadi di mesin cetak saat perlombaan nanti sudah di simulasikan dengan melakukan segala antisipasi. Berkat latihan ini pula gue jadi makin dekat dengan instruktur yang nggak terlalu gue kenal dan liburan setelah ujian nasional dengan berat hati harus gue isi untuk latihan Full Time.

Mesin cetak offset bernama Heidelberg speedmaster 52. Ini adalah mesin ketika gue latihan.

Satu hari sebelum hari perlombaan. Di sebuah kampus negeri yang letaknya tidak jauh dari sekolah gue. Gue, sobat gue dan dua peserta dari sekolah negeri diberikan pelatihan singkat selama tiga jam untuk mempelajari mesin cetak yang akan digunakan saat perlombaan. Sialnya, gue sangat buta dengan mesin yang akan digunakan nanti. Mesin yang digunakan adalah mesin buatan jepang, sedangkan ketika latihan selama sebulan, yang gue gunakan adalah mesin buatan jerman. Yang otomatis segala tombol dan cara penyetelan sangatlah berbeda. Meski tidak terlalu jauh perbedaannya tetap aja KAMPRET!!. Kenapa panitia nggak menginformasikan terlebih dahulu untuk mesin yang akan digunakan saat lomba nanti. Ini nggak adil! Apa-apaan ini. Saat itu gue sudah merasa kalah dalam berperang. Tapi semangat masih membara. Kalah menang belakangan yang penting gue bisa menyelesaikan hasil cetakan.

Hayo. ngerti nggak ?



Mungkin gue hoki ketika tahu kalo gue dapat mewakili sekolah untuk mengikuti sebuah perlombaan tingkat provinsi. Tapi gue sangatlah tidak hoki ketika ditunjuk menjadi peserta pertama. Beban peserta lain ada di pundak gue. Jika gue mampu melakukan yang terbaik, gue yakin peserta lain akan panik. Tetapi jika gue melakukan kesalahan, pasti peserta lain akan tertawa kayak nenek lampir lalu membuat pesta dadakan, mengundang kangen band sebagai bintang tamu, dan menyoraki gue ketika keluar dari ruangan sambil tepuk tangan ‘Paskal cemen, paskal cemen, paskal cemen !!!!’.

Sakurai oliver 58, mesin yang digunakan ketika lomba. Buatan negeri matahari terbit.


Di hari perlombaan,

Step by step cara mencetak sudah gue ikuti dengan baik sesuai dari kertas petunjuk yang diberikan oleh juri. Mulai dari menyiapkan bahan seperti kertas, blanket cleaner, plat cleaner, gom, spons, smash, minyak, plat cetak (Cuman anak grafika yang ngarti nih). Serta penyetelan mesin sudah gue lakukan dengan baik di computer yang berada di meja CPC (Computer Panel Control).

Nih computernya. Di layar tertera sebuah persentase tinta yang digunakan dari unit per unit.

Ini ketika penyetelan ukuran kertas yang digunakan untuk dicetak. Dan juga mengukur berat kertas serta side standar pada meja pemasukan otomatis bergerak (Anak grafika yang ngarti)


Petaka mulai berdatangan ketika kertas dari meja pemasukan tidak berjalan dengan baik ketika melewati meja penghantar. Padahal roda peraba, sikat peraba kertas, anginn penghembus, dan doublesheet-nya sudah gue stel sebagaimana mestinya (Sori banget nih, Cuma anak grafika yang ngarti.). Gue mulai panik. Berbagai cara gue lakukan demi melancarkan jalannya kertas menuju meja pengeluaran. Dibelakang gue ada sebuah kaca besar yang membatasi ruangan lomba dengan koridor diluarnya. Tepat saat itu guru gue melihat kepanikan gue. Muka gue yang cemas membuat salah satu dari guru gue menggerakan tangan seperti charly caplin, gue tau maksud guru gue itu, kalau gue harus mengatur angina penghembusa dan mengecek ulang doublesheet. Namun sudah gue lakukan tidak ada yang berubah.

Diluar, harap-harap cemas menonton gue dari sebuah layar tancep. Eh layar dinding deng.


Gue yakin ada yang salah dengan mesin ini. Seharusnya mesin ini tidak mengalami masalah. Alhasil waktu gue sudah terbuang 30 menit. Dari dua jam yang diberikan gue belum sempat mencetak selembar pun. Akhirnya gue meminta bantuan dan menghampiri juri. Peraturan yang tertera di kertas adalah jika peserta menanyakan sesuatu ke juri atau ke teknisi, peserta tersebut akan mendapatkan -1 dari penilaian. Bodoamat!! Daripada gue nggak nyetak-nyetak, lagian siapa suruh mesin belum distel dengan baik langsung digunain buat lomba. Udah gitu gue lagi yang jadi korbannya!! Taik nih.

Setelah mesin sudah benar diperbaiki. Hasilnya kertas yang tadi terhambat dimeja penghantar, berjalan dengan lancar. Dengan cepat gue segera mencetak satu persatu kertas. Mulai dari selembar gue mencari register cetakan (Baca : Register cetakan merupakan ketepatan cetak dalam sebuah lembaran cetakan. Harus sesuai dengan contoh cetakan yang sudah ada. Mulai dari centring, margin kanan, kiri, atas dan bawah. Serta register warna harus sama dengan contoh. Kalau contohnya merah ya harus merah, jangan warna ijo.)
 Detik-detik injury time makin membuat gue panik. Sedangkan mesin masih berjalan, masih ada 50 lembar yang belum tercetak. Sambil melihat jam yang putarannya seolah semakin cepat kayak motornya Rossi. Gue berdoa ‘Yallah 50 lembar lagi yallah!!’. Baam!! Allhamdulillah cetakannya selesai sebelum waktunya habis. Sehingga gue bisa membenahi mesin, melepas plat cetak dari silinder plat, menggosok blangket, dan menghapus data stelan dari computer di meja CPC. Setelah selesai mencetak. Dilanjutkan dengan sesi interview. Di sesi ini gue di lempari beberapa pertanyaan kejam. Membuat gue ingin mencolok ketiga juri itu.
 ‘Tadi kertasnya kenapa ?’ tanya salah satu juri yang wajahnya seperti bajak laut, dengan kacamata khas bapak-bapak, bibirnya monyong seperti habis kejepit rolling door, dan tompel di dagunya. Serta mata kanannya tertutup oleh sebuah perban, sepertinya matanya habis kelilipan gajah.
 Mendengar pertanyaan kampret gitu. Sebenarnya gue mau jawab ‘Eh kampret, lu nggak ngeliat sendiri tadi, hah ?!! mesinnya bapuk. Stelan doublesheetnya nggak sesuai sama yang diajarin kemarin, ada perubahan yang bikin mesin itu nggak berfungsi sebagaimana mestinya, lu tuh bego apa tolol sih.SEHARUSNYA NGGAK USAH NANYA, LU KAN JURI, HEH JANGAN DIEM AJA LO!! NGAPA MELOTOT-MELOTOT ? MAU NAKUT-NAKUTIN GUE?!! NGGAK TAKUT GUE?!!’
 Sayangnya gue nggak berani. Demi menjaga wibawa sekolah dan keselamatan gue ketika pulang nanti, gue menjawab seadanya ‘Saya sudah atur doublesheetnya pak, tapi nggak tau kenapa bisa begitu’
 Juri itu hanya mengangguk nggak puas dengan jawaban gue. Lagi-lagi gue pengen nyemprotin matanya pake blanket cleaner. Perih-perih tuh mata.
 Giliran gue selesai. Gue keluar dari ruangan lomba dengan disambut beberapa pertanyaan dari sobat gue tak luput juga lawan gue bertanya tentang apa saja yang terjadi kepada gue. Gue hanya diem. Nggak mau membocorkan kejadian yang tidak mengenakan ini ke lawan. Karna jika gue memberitahu kalo gue nggak maksimal pastinya mereka akan mencoba lebih maksimal dari gue. Namun karna mereka nanya terus akhirnya gue menakut-nakuti mereka dengan bilang ke mereka ‘GILAK. JURINYA TERNYATA SUMANTO!’

Hasil cetakan gue saat itu. Cakep ya mba-mba digambar itu.

 Guru gue menepuk pundak gue sebagai ucapan ‘GOOD JOB KAL’ namun gue menganggap tepukan itu sebagai ‘Goblok lu kal. Tolol lu ah gitu aja nggak bisa, percuma latihan sebulan!!’. Dalam hal ini gue merasa sudah kalah. Gue yakin masalah yang tadi terjadi pada mesin tidak akan dialami oleh para peserta lain. Mereka akan lancar dan lebih tenang saat mencetak. Gue pun duduk, menyisir poni dengan tangan sampai ke belakang, begini lah cara gue mengekspresikan kegagalan.
 Untuk menunggu tiga peserta lainnya gue mondar-mandir nggak jelas. Mengelilingi mesin-mesin cetak rotogravure (Baca : Rotogravure merupakan sebuah teknik cetak dalam yang menggunakan sebuah silinder yang dicukil sebagai acuan cetaknya. Area cetaknya lebih rendah dibanding area tidak mencetaknya. Tinta akan mengisi cell yang berada di silinder tersebut sehingga ketika proses cetaknya silinder tersebut akan bersentuhan langsung dengan bahan cetak dan memberikan gambar pada bahan cetak tersebut). Gue tidak mau meratapi apa yang terjadi tadi. Gue nggak mau mengingat-ngingat kegagalan gue. Gue sudah pasti mendapat nilai -1. Namun gue nggak akan tenggelam dalam sebuah genangan kegagalan. Saat ini gue hanya bisa berharap peserta lain melakukan blunder yang fatal. Ya, syukur-syukur ada yang pingsan atau ditelpon emaknya disuruh pulang karna lupa ngangkat jemuran.
 Selain berharap sesuatu yang buruk terjadi. Gue juga nggak lupa solat dan berdoa. Dengan berbakal download-an aplikasi islami di playstore dua hari yang lalu yaitu, dzikir setelah solat fardu. Gue pun berdzikir dengan khusuk meminta yang terbaik dari Allah SWT. Semoga kesalahan gue tadi menjadi yang terbaik di perlombaan ini. Ya, minimal gue juara satu lah. Juara satu kok minimal ?!! Yaudah dah, minimal juara dua dah, etdah. Begitulah gue, berdoa saat keadaan terdesak.
 Singkat cerita perlombaan selesai hingga pukul 10 malam. Hari yang melelahkan dan menunggu yang cukup lama. Preview perlombaan, sobat gue gagal total. Dari 500 kertas putih yang seharunya dicetak, 200 kertas tidak sempat dia cetak karena dia terlalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan. Gue mengerti perasaan dia sekarang, dia sangatlah merana. Ternyata sobat gue ini lebih parah dari gue. Namun gue tetap memberikan semangat kepada dia. Supaya tidak terus meratapi kegagalan. Karena meratapi nggak akan memperbaiki kegagalan yang tadi dia ciptakan, justru hanya memperkeruh ketenangan hati. Support dari guru-guru dan gue akhirnya membuat dia sedikit tersenyum dari gelombang merana.
 Sebelum pengumuman gue juga sudah dapat menerka-nerka siapa juaranya. Yang pasti bukan gue atau sobat gue. Dia adalah peserta terakhir. Dia menghasilkan cetakan yang bagus dan register yang baik. 
Ketika pengumuman juara di sebutkan berdasarkan nilai yang diberikan oleh juri. Mulai dari nilai.
 70+70+86, segitulah kira-kira nilainya untuk sobat gue yang mendapatkan juara harapan 1. Fak buat juara harapan. Sampai saat ini gue masih sangat tidak terima dengan penghargaan yang menggunakan predikat HARAPAN. Yang namanya harapan itu adalah sesuatu yang belum terwujud, masih semu dan untuk apa sesuatu yang masih menjadi angan-angan dijadikan sebuah apresiasi yang membuat peraihnya hanya menjadi sebuah angan-angan semata. Mending diberi juara empat, jelas predikatnya. 
Oke kembali ke pengumuman. Dilanjutkan dengan angka 85+89+80. Nama gue lalu disebut. Fix gue juara tiga. Pastinya juara satu dan duanya dari sekolah negeri itu. 
70+85+100. Juara dua disebutkan lalu dilanjutkan 89+90+89 sebagai juara satunya.
 Gue menundukkan kepala lalu melihat ke guru gue yang ternyum dan mengacungkan jempol. Perlombaan selesai, semua panitia bergegas pulang. Juri-juri memberikan ucapan dan jabat tangan kepada peserta. Kemudian gue dihampiri salah satu juri. Dia memberikan ucapan yang membuat gue sedikit bangga dengan kemampuan gue serta membuat gue menyesali diri gue sendiri. Dia bilang, Di awal mulai kamu sebenarnya bagus. Tapi pas masalah muncul kamu mulai banyak menimbulkan masalah dan kamu juga mulai panik, sukses ya. Jabat tangan antara gue dengan juri itu sekaligus membubarkan acara perlombaan serta meninggalkan sesuatu yang janggal.
 Mari kita telaah. Bukannya gue tidak menerima kekalahan. Gue sangat menerima sebuah kekalahan. Tapi yang nggak bisa gue terima adalah cara juri menyikapi suatu perlombaan. Apalagi lomba ini tingkat provinsi. Seharusnya juri transparan dalam menilai, tidak memihak satu instansi yang berbasis negeri. Okelah gue nggak permasalahin yang juara satu, sang juara memang layak. Sudah gue lihat jelas dari cara dia melakukan proses cetak, teratur, cekatan, dan tepat.
 Yang tidak bisa diterima sampai saat ini adalah nilai 100 dalam sebuah perlombaan. Perlombaan sekelas olimpiade pun gue yakin nggak akan muncul nilai seratus. NGGAK AKAN. Nilai seratus tidak akan muncul di suatu perlombaan. Gue pernah denger Saiful Jamil di D Academy (Dangdut banget gue yak) dia bilang ‘Di penjurian nggak akan  juri ngasih nilai seratus. Itu nggak boleh.’ meski gue rada dangdut, tapi dari ucapan bang Saiful jamil menyatakan bahwa nilai seratus sangatlah tidak mungkin muncul di sebuah perlombaan.
 Apa yang terjadi dengan ini semua. Dari jajak pendapat ketika pulang dari lomba. Di dalam mobil, guru-guru mendebatkan nilai seratus ini. Mereka menerka-nerka kalau salah satu juri yang memberikan nilai seratus itu tidak sportif. Gue memang sangat kecewa dengan itu, jika memang juri sportif mungkin gue bakal juara dua. Ya, semua pun telah berlalu. Mereka yang mengadakan perlombaan, ya, mereka juga lah yang harus menang.
 Walau gagal dan terlepas dari sebuah isu konspirasi penilaian dari salah satu juri. Gue akhirnya berteman dengan salah satu lawan gue. Kebetulan sekali dia juga melamar di sebuah perusahaan yang sama. Gue berbincang-bincang dengan dia, dan mendapat info kalo sang juara satu mendapat juara nasional. Itu semua berkat latihan yang rajin di mesin yang sama dengan gue lomba saat itu. Dan jurinya sama. Sama!! Sama dengan juri ketika lomba tingkat provinsi waktu itu. Dari sini gue semakin yakin kalau POWER OF JURI  lebih kuat dibanding POWER OF SPIRIT.

Jumat, 27 November 2015

Sekilas Tentang Naker (Part II)



Ini kelanjutan postingan gue yang ini nih 

Semenjak merasa jago naker, kegiatan gue bertambah di hari sabtu. Demi mendapat uang untuk bekal naker, gue harus berbohong ke nyokap dan bokap kalo gue ikut ekstrakulikuler disekolah. Padahal waktu itu nggak ada ekstrakulikuler yang gue ikuti. Gue memang pemalas ketika dibangku smp. Untungnya semua kebohongan gue itu tidak pernah ketahuan.

Naker kali ini Leber tidak ikut serta karena nggak punya duit. Namun tanpa kehadiran Leber tidak membuat semangat naker kami bertiga luntur begitu saja. Dengan tekad yang kuat dan tanpa tujuan apa-apa seperti biasa kami masuk ke stasiun lewat pintu belakang yang tidak dijaga. Dengan leluasa kami memanjat tralis lalu melompat ke peron. Tidak lama setelah itu kereta datang, kami pun masuk kedalam kereta sampai ke stasiun Jakarta Kota.

Tibanya di stasiun Jakarta Kota, kami bertiga keluar lewat jebolan pintu belakang. Jebolan ini sepertinya sengaja dibuat oleh warga sekitar. Keluar dari stasiun kami menuju Museum fatahillah. Kami mengelilingi sekitaran kota tua. Matahari begitu terik menyambut kehadiran kami bertiga. Membuat wajah hitam gue tambah gosong seperti ayam bakar lupa diangkat. Bau badan yang tadinya harum berkat parfum bokap berubah seketika menjadi bau matahari. Apek.

Kami beristirahat disekitaran bangunan tua yang teduh. Membeli aqua botol yang harganya 3000, patungan serebu-serebu. Mendengar jeritan keras dari perut, kami pun juga patungan untuk beli gorengan. Meski tidak membuat kenyang setidaknya bisa menyumpal jeritan mengerikan dari dalam perut.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah 5. Sudah saatnya kami bergegas menuju Stasiun Jakarta Kota. Dengan jalan kaki, kurang lebih 6 menit kami sudah tiba di stasiun Jakarta Kota. Sama seperti biasanya kami lewat jalur belakang yang tidak dijaga. Memang saat itu setiap stasiun penjagaannya masih belum seketat sekarang. Saat ini moda transportasi kereta begitu ketat penjagaannya, setiap sisi peron ditempatkan para penjaga dengan tubuh kekar dan muka garang yang setiap waktu siap menyergap siapa saja yang melanggar peraturan.

Kereta sudah siap berangkat. Kami segera berlari secepat mungkin supaya tidak ketinggalan. Perjuangan berlari seperti Usain bold pun tidak sia-sia. Kami masuk kedalam kereta tepat saat voiceover stasiun memberikan perintah untuk kereta ekonomi segera berangkat meninggalkan peron 12.

Jalur 12. Kereta ekonomi tujuan bogor siap berangkat’ Begitulah suara bapak-bapak lewat TOA.

Dipinggir pintu yang terbuka, kami bertiga duduk menikmati hembusan angin yang menerpa wajah. Hamparan gedung, genteng-genteng oren, dan kendaraan dijalan menjadi hiburan klasik bagi kami. Kereta berhenti distasiun Jayakarta.

Lagi-lagi gue nggak berhasil naik distasiun Jayakarta. Payah sekali gue. Sudah berkali-kali naker masih saja belum jago naik di stasiun Jayakarta. Entah kenapa stasiun Jayakarta merupakan stasiun yang paling susah untuk gue naik ke atap kereta. Padahal kalo dipikir-pikir, semua stasiun sama aja.

Tiga stasiun gue lewati begitu saja. Gue belum berani lagi untuk naik. Sedangkan di atas, Aji dan Uloh sudah menunggu gue. Gue nggak enak sama mereka berdua. Gue gamau di cap sebagai pecundang oleh mereka. Sampai di stasiun Manggarai, gue keluar dari gerbong yang sumpek lalu memanjat keatap kereta. Perlahan tapi pasti, dengan bantuan uluran tangan Uloh, gue pun tiba di atap kereta yang sudah menjadi teman gue selama dua minggu terakhir ini.

‘Lama banget lu naiknya ?’ tanya Uloh.

‘Panik gue daritadi, liat nih tangan gue keringetan’ gue menunjukkan telapak tangan yang basah dan penuh daki diselipan garis tangan.

Disela keributan obrolan gue dan Uloh buat. Tiba-tiba seorang pria kisaran 20 tahun  mendekati kami bertiga. Dengan tatapan yang mengerikan, rambut acak kadul, muka hitam legam, mata merah, gigi kuning, bibir item, gusi juga item kayak abis kumur-kumur pake oli, fix orang ini mabok taik.

‘Coy, bagi duit dong’ ujar pria gembel itu ke kami bertiga.

‘Nggak ada bang’ jawab Uloh lemas

‘Boong lu, kalo ada gue ambil semua ya ?!’ ujarnya dengan tatapan seperti matanya akan mengeluarkan laser merah dan membakar Uloh. Gue yang melihat Uloh terdesak tidak bisa berbuat apa-apa. Aji juga sama, rokoknya yang sedang nikmat-nikmatnya dihisap langsung di padamkan.

‘Ada bang tapi…’ Uloh merogoh kantong lalu menoleh ke arah gue. Alhasil si gembel itu menatap nanar ke gue. Matanya yang merah seolah menggambarkan rasa sayang ke gue. Sorotan yang begitu jelas kalo gembel ini butuh gue. Lebih tepatnya uang gue.

‘Eh lu juga, item ! Sini duit lu, kalo nggak ngasih gue jorogin lu!!’ ucapannya membuat gue panik bukan kepalang. Otak gue mulai anarki. Jantung gue berdegup cepat rasanya ingin memanggil superman, namun teringat kalo superman kancutnya lagi di laundry.

‘Duit gue cuman goceng bang, buat naek angkot nanti gue nggak ada duit lagi. Kembali deh 3 ribu ya bang ?’ gue menunjukkan uang lima ribuan. Entah kenapa saat situasi genting seperti ini gue masih bisa minta kembalian.

‘Lu kumpulin duit lu dulu pada. Nanti tiga rebu lu ambil tuh’ gembel itu memberikan saran.

Gue, Aji, dan Uloh pun menggabungkan uang yang kami punya. Uloh patungan dua rebu, aji dua ribu, dan gue goceng. Kami berikan uang Sembilan rebu ke gembel itu.

‘Eh item. Nih kembaliannya, bakal lu naek angkot’ Gembel itu memberikan gue selembar uang dua ribu.

Kereta berhenti di stasiun Cawang. Gembel itu pun turun. Sebelum turun dia TOS terlebih dahulu ke kami bertiga. Diiringi ucapan terimakasih banyak dia turun dari atap lalu pergi menghilang.

‘Makasih ya coy’ Ujar gembel sialan itu.

Minggu besoknya kami nggak naker ke arah Jakarta Kota. Melainkan kami naker ke arah Bogor. Mengingat kejadian dikolekin gembel minggu lalu, kali ini kami berniat untuk tidak naik di atap lagi. Meski tidak naik di atap lagi kami masih punya tantangan lain. Yaitu naik di kabin masinis. Ini adalah pengalaman pertama buat kami bertiga naik di kabin masinis. Kalo dipikir-pikir naik di kabin masinis lebih aman di banding naik di atap kereta. Namun setiap perbuatan pasti ada resikonya. Sama seperti yang kami lakukan saat ini, berada di kabin masinis sangat lah tidak dijinkan namun itu lah kami. Melawan peraturan sangatlah menyenangkan.

Sepanjang perjalanan Gue, Uloh, dan Aji duduk di kabin layaknya masinis. Kami berada di kabin tengah.  Di kabin ini kami bisa tahu kecepatan kereta dan iseng membunyikan klakson. Kalo laju kereta sedang cepat, pedal yang berfungsi untuk membunyikan klakson, kami injak terus menurus supaya menimbulkan bunyi ‘TOTT…TOTTT’ Begitu yang kami lakukan sampai tiba di stasiun Bogor.

Sampai di stasiun bogor, kami tidak berniat untuk keluar stasiun.  Untuk menunggu kereta yang kami tumpangi tadi berangkat, kami menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Belum sampai ke toilet. Penjaga karcis yang biasa memeriksa karcis ketika penumpang hendak keluar stasiun, tiba-tiba memanggil, dia berdiri dari kursinya lalu menyergap gue dan Aji. Gue dan Aji tidak sempat kabur. Beruntung bagi Uloh bisa melarikan diri.

Gue dan Aji diinterogasi di pintu keluar. Gue seperti resedifis narkoba, di suruh jongkok dan di lempari beberapa pertanyaan. Pikiran-pikiran akan jeruji besi dan narapidana yang kejam mulai mengganggu kepala gue. Gue nggak mau dipenjara !! Orang-orang yang keluar-masuk stasiun melirik ke arah gue dan Aji. Baru kali ini gue menjadi sorotan publik.

‘Tiket kalian mana ?’ Penjaga itu berkacak pinggang dengan tatapan sok galak.

‘Nggak ada pak’ jawab gue dan Aji serentak sambil menunduk. Nada yang memelas gue lancarkan supaya penjaga ini tidak menganiaya gue dan Aji. Syukur-syukur hatinya mencair dan berbaik hati melepaskan gue.

‘KALO NGGAK ADA KARCIS NGAPAIN NAEK KERETA!!’ bentak penjaga itu layaknya letnan yang memarahi anak buahnya karena lupa gosok gigi.

Gue dan Aji nggak bisa jawab apa-apa. Suara yang membentak itu sangat menyiutkan nyali gue. Pengen nangis rasanya. Tapi nggak mungkin gue nangis terus bersandar di bahu Aji. Bukannya terharu malah jijik.

‘JAWAB KALO DITANYA!!’  penjaga itu makin menggila.

‘Maaf pak maaf’ entah kenapa cuma kata-kata maaf yang bisa gue lontarkan saat itu. Itu pun ngomongnya sambil gemeteran.

‘PUSH UP 20 KALI!!!’

‘Maaf pak’ ujar Aji.

‘MALAH MINTA MAAF LAGI. PUSH UP BURUAN !!!’

Gue dan Aji langsung memasang posisi push up. Lalu kami push up dua puluh kali. Gue kecapean langung tergelatak dan memejamkan mata. Merasakan dingin ubin yang menyejukkan pipi.

‘SIAPA SURUH TIDURAN ?!!’ teriakan penjaga itu membuat gue kaget lalu membuka mata dan berdiri tegak.

‘Maaf pak’gue tertunduk lemas.

‘Untung saya orangnya baik. Untuk hukuman kalian, beli sepuluh karcis di loket.’ Ujar penjaga lalu menunjuk loket.

‘Lu punya duit berapa ji ?’ bisik gue ke Aji.

‘Tiga rebu kal, elu ? ’

‘Gue cuma goceng’ lirih gue.

‘Mampus kita’ Aji menepuk jidat.

Melihat gue dan Aji yang masih berdiri dan belum beranjak membeli karcis. Penjaga itu membentak lagi. Dengan suara yang lebih bergetar.

‘KALIAN KENAPA MASIH DISINI ? BURUAN BELI KARCISNYA !!’

‘Duit kita nggak cukup buat beli sepuluh karcis pak’ jawab gue sambil menunduk.

Gue dan Aji mengumpulkan uang seadanya. Lalu menyerahkannya ke penjaga itu. Melihat uang yang gue dan Aji kumpulin, diambilnya lalu penjaga itu membelikan karcis. Duit delapan ribu hanya dapat membeli lima karcis.

‘Nih kembaliannya’ Pengaja itu menyerahkan uang logam 500 rupiah ‘Sono kalian keluar jangan naek kereta kalo nggak beli karcis. Inget itu, kalo saya ngeliat kalian lagi nggak punya karcis. Saya masukin penjara kalian berdua!’ Ancam penjaga itu seiring menggiring gue dan Aji keluar dari stasiun.

Bingung. Itu yang gue rasain sama Aji. Nggak tahu harus berbuat apa lagi di sini. Ditengah derasnya hujan, gue berdua seperti ayam yang ditinggal induknya. Berteduh di teras toko beras. Kuyub dan kedinginan. Tiba-tiba muncul di pikiran gue untuk ngamen. Lumayan uangnya buat beli karcis.

‘Ngamen aja yuk, Ji’ ajak gue dengan suara gemetar karena kedinginan.

‘Emang lu bisa nyanyi ?’ Aji meragukan kemampuan pita suara gue.

‘Ya, nggak bisa sih. Tapi nggak papa. Modal tepok tangan sama nyanyiin lagunya st 12, tiga rebu mah dapet’ gue meyakinkan Aji yang sedang memeluk dirinya sendiri.

‘Boleh deh, tapi kalo suara lu jelek gimana ?’ Lagi-lagi Aji nggak percaya dengan suara gue. Aji nggak tau kalo gue adalah penyanyi kamar mandi paling terkenal. Setiap boker selalu nyanyi, lagi bengong nyanyi, bahkan lagi tidur gue juga nyanyi. Mudah-mudahan jam terbang gue itu mampu membantu gue mendapat 3 ribu.

Singkat cerita gue akhirnya ngamen dan dapet goceng. Target tiga ribu terlampaui. Suara yang pas-pasan dan tepuk tangan Aji mampu membuat gue seperti charly ST 12 . Mungkin tidak lama lagi gue dan Aji bakal dipanggil produser dan disuruh gulungin kabel gitarnya charly,

Gue dan Aji bisa masuk ke stasiun dengan gagah. Penjaga yang tadi menyergap dan membentak gue dan Aji melihat dengan tatapan bingung. Mungkin dia heran ngelihat gue dan Aji dengan santai bisa masuk ke stasiun, udah gitu sambil megang karcis pula. Buat pamer ke dia, karcis yang gue pegang, gue lambai-lambaikan ke udara. MAMPUS LO PENJAGA BIADAP!

Gue dan Aji sampai dengan selamat di stasiun Lenteng Agung. Ketika menelusuri peron dan keluar lewat pintu depan. Disana ada Uloh sedang menikmati gorengan. Gue dan Aji yang kesal karena dia selamat dari penyergapan penjaga stasiun, tanpa memperdulikan keberadaannya langsung pergi. Tak ada sapa menyapa disana.

Hubungan gue, Aji dan Uloh mulai merenggang. Setiap kali ketemu disekolah gue hanya menyapa Aji. Dengan kesadaran sendiri Uloh tidak menyapa gue dan Aji. Sepertinya Uloh sadar kalo dirinya sedang dimushin Leber yang tidak mengetahui masalah ini sangat penasaran. Dia ikut kubu gue dan Aji. Otomatis Uloh sendiri, tidak punya temen.

Leber yang mengetahui alasan kerenggangan kami bertiga, justru menyalah-nyalahkan Uloh. Hasilnya setiap kali naker gue cuma berdua sama Aji. Leber sudah tidak bisa ikut naker lagi karena sedang fokus maen Pointblank. Selama dua kali naker gue hanya berdua dengan Aji. Ada rasa yang aneh ketika naker tanpa Uloh. Orang yang pertama ngajakin gue naker dan ngajarin gue naker sudah nggak ada lagi disamping gue ketika menembus kecepatan di atap kereta. Berdua begitu sepi. Tak ada uluran tangan Uloh lagi ketika gue hendak naik keatap kereta. Kini gue sudah bisa merembet naik keatap kereta dengan tangan dan kaki gue sendiri.

Itulah kenapa gue dan Aji juga mulai bosan dengan kegiatan naker ini. Sepeninggalan Uloh gue dan Aji akhirnya berhenti untuk naker. Nggak ada neker-nakeran lagi. Semua udah habis hanya karena amarah gue dan Aji kepada Uloh.

Tiba-tiba gue tersadar bahwa Uloh tidaklah salah. Uloh sama sekali tidak salah atas penangkapan di stasiun bogor itu. Kita bertiga lah yang salah. Jika kami bertiga seandainya tidak melanggar aturan dan membeli karcis pastinya tidak akan tertangkap oleh petugas stasiun atau sampai harus mengamen demi bisa membeli karcis. Uloh hanyalah kambing hitam dari rasa kesal Gue dan Aji. Saat itu gue dan Aji sangatlah emosi, tidak ada yang bisa disalahkan selain Uloh yang selamat dari penjaga.

Akibat dari semua itu adalah pertengkaran. Diam tanpa suara jika gue, leber dan aji ketemu Uloh. Hanya diam yang bisa dilakukan. Komunikasi kami berantakan. Hancur lebur. Akhirnya gue dan Aji menghampiri Uloh yang sedang terpaku dengan handphonenya. Gue sadar kalo kita terus menurus diam akan selamanya komunikasi itu membeku. Harus ada yang berani menjadi pencair dalam situasi seperti ini. Berani meruntuhkan egois adalah hal sulit bagi kami bertiga. Namun itu lah yang harus gue dan Aji lakukan. Kami berdua yang membuat komunikasi ini membeku dan sudah selayaknya gue dan Aji menjadi pencairnya.

Setelah perbincang-bincang dan ngajak ngomong Uloh lagi. Kami bertiga akhirnya bersatu lagi. Komunikasi antara sahabat menjadi seperti semula. Kami menganggap semua yang pernah terjadi selama kita slekan tidak pernah terjadi. Kami jalani terus tanpa pernah ada yang membahasnya, terlepas dari peninggalan leber yang lebih memilih hidupnya ke warnet. Yang kami lakukan saat ini lebih keren dibanding naker di atap kereta. Dan kami sekarang sepulang sekolah punya kegiatan baru yaitu naik angkot di atap sambil nyanyi-nyanyi. Sungguh memang kami bertiga pencinta atap.

Rabu, 25 November 2015

Hembusan Janji



Diantara sesak kerumunan para penjemput di koridor bandara, Robi menyelinap mencari cela untuk keluar dari kerumunan tersebut. Merasa sesak dan panas berada didalam kerumanan orang-orang dengan bau yang bervariasi. Dengan segala cara akhirnya ia mampu keluar dari kerumunan dan menatap pandang kearah penumpang yang baru saja tiba dan berjalan keluar menuju koridor.

Satu per satu para penumpang keluar namun wajah Robi sedikit menampakkan kegelisahan. Ada hal yang terganjal di hatinya. Sesuatu yang membuat nafasnya sesak dan air matanya mengalir tiba-tiba. Keadaan yang mungkin akan diingat Robi selama hidupnya. Seperti ada angin tornado yang menyapu hatinya. Lalu sambaran petir menggelegar memberontak hati hingga menjadi kepingan kecil. Untuk disatukan kepingan itu pun sudah sangat sulit. Tidak ada lagi kesempatan. Pintu awal masuk kedalam sebuah dunia baru mulai terlihat. Ada sorotan yang menerangi tubuh Robi disitu.

*

Robi setiap minggu selalu menyempatkan waktu untuk olahraga. Mulai dari lari pagi, bulu tangkis, atau pun yang saat ini ia lakukan adalah bersepeda. Dengan sepeda gunungnya ia mengelilingi jalan raya dari jam 5  selepas solat subuh hingga jam 8 pagi ketika tukang ketoprak baru saja membuka dagangannya.

Sambil mendengarkan lagu Coldplay lewat headset yang ia kenakan di kedua telinganya membuat setiap gowesan kakinya menjadi lebih rileks. Keringat tidak terlalu mengalir deras. Perlahan keringatnya justru mengering sesaat Robi melihat seorang cewek mengenakan baju Real Madrid berwarna pink, legging abu-abu yang panjangnya sampai dengkul, dan sepatu nike hitam perpaduan garis pink membuat cewek itu menjadi keliatan unyu dari kejauhan. Ditambah rambutnya yang dikuncir dan kuncirannya warna pink. Kelihatannya cewek itu sedang dalam masalah. Robi pun mengampiri cewek itu.

Secepat kilat ia turun dari sepeda lalu menstandarkan sepedanya. Kemudian Robi jongkok menyampingi cewek dengan kuncir rambut pink itu dengan senyuman manis sebagai tanda salam.

‘Bisa saya bantu mbak ?’ tanya Robi membuat cewek itu sedikit kaget karena kedatangannya yang tiba-tiba seperti tuyul.

Cewek itu malu-malu menjawab ‘Ngg…in..ini bannya kempes’ ujarnya lalu melempar pandangannya kembali tertuju ban depan sepedanya.

‘Oh kempes. Disini bengkel jauh lho mbak. Apalagi sekarang hari minggu, pastinya bengkel belum pada buka. Gimana kalo ke bengkel saya aja ? Deket kok’ Ucap Robi memberi saran ke cewek yang wajahnya lama kelamaan manis ketika butiran-butiran keringat mengalir turun dari dahi turun ke dagunya.

‘Nggak usah mas..nggak usah.ngerepotin nantinya. Saya bisa sendiri kok’ sedetik kemudian cewek itu beranjak lalu menuntun sepedanya. Pergi meninggalkan Robi. Namun Robi mengejarnya dengan menuntun sepedanya juga.

‘Nggak apa-apa kok mbak. Dibengkel saya gratis deh’ Ujar Robi masih bersikukuh untuk mengajak cewek itu memperbaiki ban sepedanya di bengkel milik ayahnya.

Cewek itu semakin mempercepat langkah kakinya. Semakin cepat pula Robi mengikutinya. Cewek itu terlihat panik lalu menaiki sepedanya lalu menggoesnya. Tidak jauh dari situ, belum sempat Robi mengejarnya. BRUK!!! Cewek itu terjatuh dengan sepeda menimpah tubuhnya. Tanpa aba-aba Robi membanting sepedanya kemudian berlari menghampiri cewek itu. Di obatinya luka di siku cewek itu dan menempelkan hansaplast di sudut dahinya.

‘Gimana udah mendingankan ?’ senyum Robi setelah menempelkan hansaplas dan membalut siku cewek itu dengan perban yang sebelumnya sudah diolesi obat merah yang dibawanya.

‘Ma—makasih ya’ cewek itu beranjak pergi lagi namun langsung ditahan oleh Robi.

‘Tunggu dulu! Sepeda kamu rusak tuh, bannya juga malah makin parah. Mendingan ke bengkel aku aja. Nanti dibenerin disana.’

‘Nggak usah aku bisa sendiri kok’ cewek itu masih berkelit tidak ingin dibantu.

Saat cewek itu mulai menuntun sepedanya. Robi menggengam tangan cewek yang sedang menggenggam stang sepedanya. Sorot mata Robi langsung tepat di poros mata sang cewek. Ada sesuatu yang bercahaya dibalik mata yang bulat itu. Tiba-tiba pipi cewek itu merona, ia terpejam tak kuat melihat tatapan Robi yang begitu tajam.

‘Mau yak ke bengkel aku ?’

Masih dengan rasa malu. Akhirnya cewek itu menganggukkan kepala. Tidak sia-sia perjuangan Robi membujuk cewek itu untuk memperbaiki sepedanya dibengkel milik ayahnya. Lagi pula ceweknya saja yang aneh disuruh benerin sepedanya gratis malah nggak mau.

‘Nah gitu dong’ Robi mengacungkan jempol lalu tersenyum.

Cewek itu dengan malu menatap Robi dilanjutkan dengan senyum sederhana. Imut sekali cewek ini. Cocok jadi anggota cheerybele yang ke 12.

‘Aku Robi’ Robi mengulurkan tangannya.

‘Ina’ Suaranya pelan seperti kentut anak bayi, Ina pun menyambut tangan robi.

*


Semenjak kejadian itu. Kedekatan Robi dan Ina terus berlanjut. Setiap hari Robi selalu BBM atau nge-Line Ina. Meski awalnya Ina tidak terlalu membuka diri ke Robi. Dengan segala jurus ampuh Ina pun luluh oleh Robi. Robi seperti memiliki daya magis yang mampu membuat Ina dekat dengannya. Walaupun sekolah mereka tidak sama, setiap hari selepas pulang sekolah pasti mereka menyempatkan diri mampir ke sevel. Demi menikmati slurpee campur aduk yang dibuat oleh Robi. Kadang Robi hanya membeli slurpee untuk meraciknya saja, tapi tidak diminum karena rasanya yang aneh. Pernah sesekali Robi mencoba bereksperimen dengan mencampurkan slurpee dan saus keju. Hasilnya dia muntah-muntah ketika meminumnya. Gelak tawa selalu hadir disetiap perbincangan mereka. Begitu lah kegiatan mereka selama satu bulan terakhir.


‘Nggak kerasa ya sekolah tinggal sebentar lagi. Besok udah ujian nasional aja.’ Sambil mengayuh sepedanya, Robi menatap Ina yang berada disampingnya yang juga sedang mengayuh sepeda.

‘Au nih gara-gara kamu sih hihihi’ Senyuman Ina mengembang di wajahnya yang imut, Senyumnya menorehkan sebuah lubang indah di bagian kedua pipinya. Rasanya ingin memasukan jari kedalam lesung pipi tersebut.

‘Dih kok gara-gara aku ? ngaco aja lo!! ’

‘Emang gara-gara kamu wuuuuueeee’ Ina menjulurkan lidahnya.

‘Ye melet-melet kayak bulldog lagi lo.’

‘Biarin. Daripada kaya ELOOOOO!! hahaha’  Ledek Ina lalu mengayuh sepedanya dengan tenaga penuh. Meninggalkan Robi karena habis meledeknya. Robi yang tidak terima dengan ledekan dari Ina pun segera mengejarnya.

‘Heii tunggu! Gue kempesin ban lu nanti kalo ketangkep’ Robi teriak kesal karena tidak mudah mengejar Ina.

‘Sini kalo berani! hahahaha’ Ina makin jadi meledeknya. Robi semakin cepat membuntuti Ina.

Dari belakang Robi seperti mengejar sesosok malaikat yang suka bersepeda. Ia memandangi rambut Ina yang dikuncir. Rambutnya terus tersapu oleh angin. Terkadang rambut yang terkuncir itu melompat-lompat karena guncangan polisi tidur. Harum keringatnya rasa strawberi. Robi curiga, Ina dirumah mandi pake seember jus stroberi. Manis manis kecut.

Dibalik semua itu, Robi lama kelamaan mulai menebar rasa kasih ke Ina. Rasa yang dimana belum diketahui oleh Ina. Bahkan untuk sekarang ini, Ina belum pantas untuk mengetahuinya. Dia harus fokus terlebih dahulu untuk Ujian Nasional. Robi tidak ingin mengganggu Ina saat musin Ujian Nasional nanti. Cukup menunggu waktu yang tepat, dan saat itu lah pasti Robi akan mengungkapkan rasa yang tersembunyi kepada Ina.

‘’Na, gue capek. Gue nyerah. Kita makan ketoprak aja yuk ?’ Teriak Robi yang sudah menghentikan sepedanya. Nafas Robi berderu cepat. Dadanya bergemuruh tak beraturan.

‘Yuk. Kamu traktir ya ?’

‘Oke’ senyum Robi sambil memegangi perut karena kecapekan.


*

Usai ujian nasional, Robi janji ketemuan sama Ina di sevel. Dengan baju yang penuh coretan pilok dan tanda tangan teman-temannya di sekolah. Robi menjadi sorotan orang-orang di dalam sevel ketika dia sedang meracik slurpee. Sampai ia duduk di kursi yang berada di bagian luar sevel pun, ia tetap menjadi pusat perhatian. Rambutnya yang warna-warni akibat seprotan pilok membuatnya seperti ayam sepuhan abang-abang.

Ina datang lalu duduk. Meletakkan papan jalan dimeja kemudian meminum slurpee yang dibuat oleh Robi tadi.

‘Bisa nggak UN-nya ?’ tanya Robi mendekatkan wajahnya ke Ina.

‘Bisa’ Ina tersenyum tipis. Senyumnya rada getir tidak semanis biasanya. Ada rasa kecut yang bercampur di senyum manisnya itu.

‘Kamu kenapa ?’ Robi heran dengan Ina yang menunjukkan sifat aneh. Ina tidak seperti biasanya menjadi pendiam seperti ini. Sifat riangnya tiba-tiba hilang.

‘Gakpapa’ Ujar Ina lalu beranjak dari kursi dan pergi. Robi segera mencegahnya. Mengaitkan tangannya ke lengan Ina supaya tidak pergi.

‘Kamu kenapa sih, na ? Cerita ke aku na kalo ada masalah’

‘Lepasin! Biarin aku sendiri dulu!’ dengus Ina membuat Robi terkejut dengan perubahan sifat Ina.

Ina menarik tangannya dari genggaman Robi. Robi tahu sepertinya Ina sedang ada masalah. Entah itu karena tidak bisa menjawab ujian nasional, mungkin juga pensil yang dipakai Ina ternyata palsu atau pengawasnya tadi killer dan dia ketahuan mencontek.

Demi kebaikan Ina akhirnya Robi melepaskan Ina untuk pergi. Saat ini Ina butuh kesempatan untuk sendiri. Menenangkan hatinya yang sedang mendidih. Ina mungkin lelah karena selama empat hari ini belajar terus-terusan. Bisa jadi Ina memang sedang tidak ingin diganggu oleh Robi. Tapi apakah salah Robi yang membuat Ina semarah itu. Pertanyaan mulai menerpa otak Robi. Siapa yang salah disini dan siapakah yang benar.

Ketika di kamar saat sedang asyik bermain duel otak. Suara ‘Line’ muncul dari dalam speaker handphone Robi. Segera Robi menghentikan permainannya lalu membuka pesan Line.  Tersebut. Ternyata itu Line dari Ina.

Maafin aku tadi terlalu emosi sama kamu. Aku sama sekali nggak bermaksud buat marah-marah kayak tadi.

Nggak apa-apa kok. Sekarang kamu udah lebih tenang, kan ?

Belum.

Kenapa ? Makannya kamu cerita ke aku dong.

Kamu yakin mau denger ini semua ?

Yakin banget na!

Lama Ina tidak membalas pesan Line. Sekitar tiga puluh menit dia belum kunjung membalas pesan dari Robi. Apa lagi ini ?! Kenapa lagi dengan Ina. Pikiran-pikiran negative mulai beredar di otak Robi tentang Ina. Takut Ina ternyata…hamil. Namun tidak mungkin! Ina orang baik dan dia tidak mungkin hamil.

Kalo emang benar-benar hamil, masak iya gue jadi bapak dari anaknya ?!! Hati Robi tiba-tiba menjerit tidak bisa menerima fantasinya yang tidak masuk akal ini.

‘LAIN’ Suara Brown lewat speaker handphone Roby.

Minggu depan aku pergi ke Jepang. Nyokap sama bokap udah daftarin aku di salah satu universitas disana. Aku nggak bisa ketemu kamu lagi Rob.

What ? What ? Kamu salah ngetik kan? Kamu typo kan?!! Jujur sama aku kalo kamu typo, itu bukan Jepang tapi Lembang kan ? April mop udah lewat na!!!

Ketikan Robi diiringi rasa ragu. Rasa sesak begitu terasa setelah membaca pesan dari Ina kalau Ina akan melanjutkan study-nya di Jepang. Negara yang nggak bisa ditempuh dengan go-jek. Itu berarti ngga ada beli ketoprak bareng, ngeracik slurpee bareng, dan gowes bareng lagi. Semua kenangan itu seketika muncul di otak Robi. Terekam secara berurutan. Semakin sedih perasaan Roby semakin jelas pula rekaman saat kedekatannya dengan Ina. Semua itu akan menjadi debu.

Ina balas Line.

Aku serius Rob. Aku nggak typo. Besok pagi jam 10  aku udah take off. Aku harap kamu bisa datang ya, rob J

Robi sudah nggak bisa membalas apa-apa lagi.  Hatinya remuk, terinjak-injak oleh keinginan Ina yang akan pergi ke Jepang. Butiran bening yang menggenang di kornea matanya tanpa di suruh langsung mengalir membasahi pipinya. Hatinya berbanjirkan air mata. Jiwa raganya melayang dan terbang seperti layang-layang. Sudah terlalu lama mengulur, tanpa disangka datang sebuah kabar yang memutuskan benang layangan itu. Sama seperti Robi, begitu lama ia mengulur perasaanya kepada Ina tiba-tiba sebuah kabar datang bagaikan gunting tajam yang memotong kecil-kecil perasaan Robi.

Ina mungkin tidak tahu apa yang dirasakan Robi saat ini. Mungkin Ina hanya merasa kalau Robi semata-mata hanyalah seorang sahabat. Nggak lebih dari seorang sahabat yang selalu ada saat suka dan duka. Namun berbeda dengan Robi. Robi sangatlah cinta pada Ina, rasa cintanya sudah tak bisa terbendung lagi. Layaknya tsunami yang terus mengalir, menghancurkan segala bangunan yang berada dihadapannya. Melenyapkan segala hamparan indah yang telah dibangun dengan waktu yang tidak sebentar.

*

‘Kamu baik-baik ya disana’ Robi menepuk pundak Ina sambil menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak mau terlihat cengeng di depan Ina. Meski perasaan sesak dan rasa ingin mengungkapkan rasa sayang ke Ina, Robi belum mau mengatakannya sekarang. Ia masih setia memendam perasaan yang menyesakkan itu.

‘Pasti. Aku pasti baik-baik aja.’ Ina tersenyum lalu mengangakat kopernya.

‘Aku tunggu kamu pulang ya na. Ada sesuatu yang aku pengen ngomongin.”

‘Kenapa nggak sekarang ?’

‘Aku belom siap. Tapi kamu janji ya bakal pulang lagi ?’ Robi meringis, menggaruk kepala padahal tidak ada yang gatal dikepalanya.

Ina mengangguk seraya tersenyum.

‘Kalo gitu aku berangkat ya Rob. Bye Robi. Dadah’ Ina pergi meninggalkan senyum sederhana berhias lesung pipi. Lambaian tangannya membuat Robi ikut melambaikan tangan kepadanya. Kemudian bayangan tubuh Ina menghilang, dihadang beberapa penumpang lainnya.

Ina meninggalkan begitu banyak kenangan di hati Robi. Saat ini Robi sendirian, tidak ada lagi gelak tawa dan keusilan yang diciptakan oleh Ina. Sendirian dengan banyak rahasia yang belum diketahui Ina. Berharap kedepannya Ina akan mengetahui bahwa sebenarnya Robi sangatlah mencintai Ina sejak pertemuan pertamanya ketika ban sepeda Ina Bocor. Dibawalah ban yang bocor itu ke bengkel, akhirnya ban itu dapat diperbaiki sehingga lubang sobekan di ban tersebut tertutup kembali. Beda dengan hati Robi saat ini, hatinya yang sobek tidak dapat di sembuhkan dengan bengkel. Bengkel yang Robi inginkan telah pergi meninggalkan bekas bocor di hatinya. Sampai saatnya nanti, bekas sobekan yang dibuat oleh Ina mungkin akan terus melebar jika tak ada wanita yang mampu menutupnya. Ina, cepetan dong di Jepangnya.

*

Koridor bandara mulai sepi ditinggal para penjemput dan penumpang. Robi tinggal sendiri, berdiri tanpa ada yang mengenalnya. Harapan ada orang yang memanggil namanya hanyalah isapan jempol belaka. Padahal Ina sudah janji kalau hari ini ia akan pulang dari Jepang. Ina mengabarkan lewat Line dua hari yang lalu. Namun detik ini juga belum ada batang hidung Ina di hadapan Robi. Apakah Ina berbohong kepada Robi. Padahal Robi sudah rela-rela tidak masuk kuliah demi menjemput Ina hari ini.

Robi pun melangkah pergi meninggalkan koridor bandara. Tiba-tiba dihadapannya seorang pria dengan mengenakan jaket dan celana panjang sambil menenteng tas berlutut kelelahan. Nafasnya tidak teratur. Lalu pria itu menoleh kearah Robi dan merapihkan jaketnya yang lecak.

‘Robi ?’ tunjuk dia dengan jarinya.

‘Iya gue Robi. Lu siapa ?’ Robi heran karena pria asing ini mengetahui namanya.

‘Kenalin, gue Juned. Gue teman satu kampusnya Ina waktu di Jepang, dan dia nitip ini’ Pria itu menyerahkan sebuah gantungan kunci. Bentuknya persegi, terbuat dari kayu dan bertuliskan aksara Jepang di satu sisinya.

‘Gantungan kunci ?’ Robi mengerutkan dahi dan memicingkan mata ke arah gantungan kunci yang diberikan oleh pria asing ini.

‘Iya gantungan. Gue gatau apa artinya ini gue cuman disuruh nitipin ini ke elu. Udah ya, gue buru-buru’ pria itu menepuk pundak Robi dengan cepat ia pergi dan menaiki taksi yang sudah bersiap membawanya kemana saja.

Robi menatap gantungan kunci itu. Memutar dan membalik gantungan itu berkali-kali. Apa arti tulisan aksara Jepang ini. Apa Ina mau sombong ke Robi kalo dia sudah jago bahasa Jepang ? Atau ini tulisannya Aku cinta Kamu. Ah sudahlah, sampai saat ini pun Robi dan Ina masih sangat suka membuat-buat sebuah rahasia. Robi tersenyum, meski getir tapi ada sedikit rasa bahagia karena ternyata Ina tidak lupa dengannya walaupun dia tidak menepati janji untuk bertemu dengannya hari ini.

*

Tiga tahun bekerja di perusahaan Jepang. Akhirnya Robi diberi kesempatan oleh pemilik perusahaan untuk mengunjungi kantor pusat di Jepang. Semua usahanya selama ini bekerja membuahkan hasil yang sangat membahagiakan. Siapa yang tidak ingin pergi ke Jepang secara cuma-cuma. Robi terbang ke Negara yang menghancurkan cintanya. Jepang. Negara yang menjadi tempat bernaung separuh hatinya 7 tahun yang lalu. Ternyata sudah lama ya, ujar Robi dalam hati.

Dengan parka yang tebal ada bulu-bulu dibagian kupluknya, sarung tangan untuk menghangatkan telapak tangan, dan hembusan nafas begitu jelas terlihat keluar dari mulut Robi. Kebetulan sekali Robi datang ke Jepang di musim dingin. Rasanya seperti berada di kulkas. Dingin, beku, dan seperti es mambo.

Dia atas jembatan layang Robi memandangi hamparan gedung pencakar langit, mobil-mobil hilir mudik di jalan raya, dan pejalan kaki yang tertib berjalan di trotoar yang sudah disediakan serta tak menyerobot saat menyebrang jalan ketika lampu hijau menyala. Semuanya terlihat putih diselimuti butiran salju dari langit. Rasanya seperti ada di dunia pororo. Senyum Robi pun mengembang melihat pemandangan yang baru pertama kali dilihat.

Pantas saja Ina betah. Ucap Robi dilanjutkan mengehembuskan gumpalan udara dari mulut.

Dijalan Robi menikmati butiran salju yang terus turun berjatuhan menyentuh kepalanya. Ia menengadahkan wajahnya kearah langit. Butiran-butiran putih nan dingin itu meghempas wajah Robi. Dingin, lembut dan basah. Sama seperti hatinya saat ditinggal Ina, ketika mengetahui Ina akan pergi ke Jepang, hati Robi berubah dingin serta beku. Meskipun hati Ina terasa lembut namun tetap saja ditinggal Ina membuat Robi basah kuyub karena tangisannya.

Memori itu semakin terekam. Rekaman itu tak pernah hilang ditelan waktu. Meski hampir satu windu kenangan itu berlalu, memori-memori indah itu tak pernah menjauh dari hati Robi.

Tiba-tiba sebuah ketukan tangan dari belakang tubuh menghentak tubuh Robi yang sedang duduk di depan sevel sambil menikmati capucino. Sentuhan ini tak asing. Sentuhan yang begitu dalam rasanya, lembut bagaikan salju. Dingin bagaikan es batu. Sedetik kemudian Robi menoleh kearah ketukan tangan tersebut. Matanya terbelalak, bibirnya menganga lebar. Hidungnya kembang kempis. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Hatinya seperti ada yang menarik untuk saling bersatu.

‘Hai Rob, apa kabar ?’ Senyum manis yang sudah lama dinantikan oleh Robi terlempar dari wajah seorang wanita yang imut karena lesung pipinya.

Robi terpatung melihat Ina yang tambah cantik dan manis. Poni rambut yang menutupi dahinya membuat Ina semakin imut. Ditambah lagi lesung pipinya yang masih awet terhampar di pipinya yang rada chubby. Air mata Robi mengalir, ia pun beranjak dari kursi dan langsung memeluk hangat tubuh Ina.

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone