Sekilas Tentang Naker (Part II)
Semenjak merasa jago naker, kegiatan gue bertambah
di hari sabtu. Demi mendapat uang untuk bekal naker, gue harus berbohong ke
nyokap dan bokap kalo gue ikut ekstrakulikuler disekolah. Padahal waktu itu
nggak ada ekstrakulikuler yang gue ikuti. Gue memang pemalas ketika dibangku
smp. Untungnya semua kebohongan gue itu tidak pernah ketahuan.
Naker kali ini Leber tidak ikut serta karena nggak
punya duit. Namun tanpa kehadiran Leber tidak membuat semangat naker kami
bertiga luntur begitu saja. Dengan tekad yang kuat dan tanpa tujuan apa-apa
seperti biasa kami masuk ke stasiun lewat pintu belakang yang tidak dijaga.
Dengan leluasa kami memanjat tralis lalu melompat ke peron. Tidak lama setelah
itu kereta datang, kami pun masuk kedalam kereta sampai ke stasiun Jakarta
Kota.
Tibanya di stasiun Jakarta Kota, kami bertiga keluar
lewat jebolan pintu belakang. Jebolan ini sepertinya sengaja dibuat oleh warga
sekitar. Keluar dari stasiun kami menuju Museum fatahillah. Kami mengelilingi
sekitaran kota tua. Matahari begitu terik menyambut kehadiran kami bertiga.
Membuat wajah hitam gue tambah gosong seperti ayam bakar lupa diangkat. Bau
badan yang tadinya harum berkat parfum bokap berubah seketika menjadi bau
matahari. Apek.
Kami beristirahat disekitaran bangunan tua yang
teduh. Membeli aqua botol yang harganya 3000, patungan serebu-serebu. Mendengar
jeritan keras dari perut, kami pun juga patungan untuk beli gorengan. Meski
tidak membuat kenyang setidaknya bisa menyumpal jeritan mengerikan dari dalam
perut.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah 5. Sudah
saatnya kami bergegas menuju Stasiun Jakarta Kota. Dengan jalan kaki, kurang
lebih 6 menit kami sudah tiba di stasiun Jakarta Kota. Sama seperti biasanya
kami lewat jalur belakang yang tidak dijaga. Memang saat itu setiap stasiun
penjagaannya masih belum seketat sekarang. Saat ini moda transportasi kereta
begitu ketat penjagaannya, setiap sisi peron ditempatkan para penjaga dengan
tubuh kekar dan muka garang yang setiap waktu siap menyergap siapa saja yang
melanggar peraturan.
Kereta sudah siap berangkat. Kami segera berlari
secepat mungkin supaya tidak ketinggalan. Perjuangan berlari seperti Usain bold
pun tidak sia-sia. Kami masuk kedalam kereta tepat saat voiceover stasiun memberikan perintah untuk kereta ekonomi segera
berangkat meninggalkan peron 12.
‘Jalur 12. Kereta
ekonomi tujuan bogor siap berangkat’ Begitulah suara bapak-bapak lewat TOA.
Dipinggir pintu yang terbuka, kami bertiga duduk
menikmati hembusan angin yang menerpa wajah. Hamparan gedung, genteng-genteng
oren, dan kendaraan dijalan menjadi hiburan klasik bagi kami. Kereta berhenti
distasiun Jayakarta.
Lagi-lagi gue nggak berhasil naik distasiun
Jayakarta. Payah sekali gue. Sudah berkali-kali naker masih saja belum jago
naik di stasiun Jayakarta. Entah kenapa stasiun Jayakarta merupakan stasiun
yang paling susah untuk gue naik ke atap kereta. Padahal kalo dipikir-pikir,
semua stasiun sama aja.
Tiga stasiun gue lewati begitu saja. Gue belum
berani lagi untuk naik. Sedangkan di atas, Aji dan Uloh sudah menunggu gue. Gue
nggak enak sama mereka berdua. Gue gamau di cap sebagai pecundang oleh mereka.
Sampai di stasiun Manggarai, gue keluar dari gerbong yang sumpek lalu memanjat
keatap kereta. Perlahan tapi pasti, dengan bantuan uluran tangan Uloh, gue pun
tiba di atap kereta yang sudah menjadi teman gue selama dua minggu terakhir
ini.
‘Lama banget lu naiknya ?’ tanya Uloh.
‘Panik gue daritadi, liat nih tangan gue keringetan’
gue menunjukkan telapak tangan yang basah dan penuh daki diselipan garis
tangan.
Disela keributan obrolan gue dan Uloh buat.
Tiba-tiba seorang pria kisaran 20 tahun mendekati kami bertiga. Dengan tatapan yang
mengerikan, rambut acak kadul, muka hitam legam, mata merah, gigi kuning, bibir
item, gusi juga item kayak abis kumur-kumur pake oli, fix orang ini mabok taik.
‘Coy, bagi duit dong’ ujar pria gembel itu ke kami
bertiga.
‘Nggak ada bang’ jawab Uloh lemas
‘Boong lu, kalo ada gue ambil semua ya ?!’ ujarnya
dengan tatapan seperti matanya akan mengeluarkan laser merah dan membakar Uloh.
Gue yang melihat Uloh terdesak tidak bisa berbuat apa-apa. Aji juga sama,
rokoknya yang sedang nikmat-nikmatnya dihisap langsung di padamkan.
‘Ada bang tapi…’ Uloh merogoh kantong lalu menoleh ke
arah gue. Alhasil si gembel itu menatap nanar ke gue. Matanya yang merah seolah
menggambarkan rasa sayang ke gue. Sorotan yang begitu jelas kalo gembel ini
butuh gue. Lebih tepatnya uang gue.
‘Eh lu juga, item ! Sini duit lu, kalo nggak ngasih
gue jorogin lu!!’ ucapannya membuat gue panik bukan kepalang. Otak gue mulai
anarki. Jantung gue berdegup cepat rasanya ingin memanggil superman, namun
teringat kalo superman kancutnya lagi di laundry.
‘Duit gue cuman goceng bang, buat naek angkot nanti
gue nggak ada duit lagi. Kembali deh 3 ribu ya bang ?’ gue menunjukkan uang
lima ribuan. Entah kenapa saat situasi genting seperti ini gue masih bisa minta
kembalian.
‘Lu kumpulin duit lu dulu pada. Nanti tiga rebu lu
ambil tuh’ gembel itu memberikan saran.
Gue, Aji, dan Uloh pun menggabungkan uang yang kami
punya. Uloh patungan dua rebu, aji dua ribu, dan gue goceng. Kami berikan uang Sembilan
rebu ke gembel itu.
‘Eh item. Nih kembaliannya, bakal lu naek angkot’
Gembel itu memberikan gue selembar uang dua ribu.
Kereta berhenti di stasiun Cawang. Gembel itu pun
turun. Sebelum turun dia TOS terlebih
dahulu ke kami bertiga. Diiringi ucapan terimakasih banyak dia turun dari atap
lalu pergi menghilang.
‘Makasih ya coy’ Ujar gembel sialan itu.
Minggu besoknya kami nggak naker ke arah Jakarta
Kota. Melainkan kami naker ke arah Bogor. Mengingat kejadian dikolekin gembel
minggu lalu, kali ini kami berniat untuk tidak naik di atap lagi. Meski tidak
naik di atap lagi kami masih punya tantangan lain. Yaitu naik di kabin masinis.
Ini adalah pengalaman pertama buat kami bertiga naik di kabin masinis. Kalo
dipikir-pikir naik di kabin masinis lebih aman di banding naik di atap kereta.
Namun setiap perbuatan pasti ada resikonya. Sama seperti yang kami lakukan saat
ini, berada di kabin masinis sangat lah tidak dijinkan namun itu lah kami.
Melawan peraturan sangatlah menyenangkan.
Sepanjang perjalanan Gue, Uloh, dan Aji duduk di
kabin layaknya masinis. Kami berada di kabin tengah. Di kabin ini kami bisa tahu kecepatan kereta dan
iseng membunyikan klakson. Kalo laju kereta sedang cepat, pedal yang berfungsi untuk
membunyikan klakson, kami injak terus menurus supaya menimbulkan bunyi ‘TOTT…TOTTT’ Begitu yang kami lakukan
sampai tiba di stasiun Bogor.
Sampai di stasiun bogor, kami tidak berniat untuk
keluar stasiun. Untuk menunggu kereta
yang kami tumpangi tadi berangkat, kami menuju kamar mandi untuk buang air
kecil. Belum sampai ke toilet. Penjaga karcis yang biasa memeriksa karcis
ketika penumpang hendak keluar stasiun, tiba-tiba memanggil, dia berdiri dari
kursinya lalu menyergap gue dan Aji. Gue dan Aji tidak sempat kabur. Beruntung
bagi Uloh bisa melarikan diri.
Gue dan Aji diinterogasi di pintu keluar. Gue
seperti resedifis narkoba, di suruh jongkok dan di lempari beberapa pertanyaan.
Pikiran-pikiran akan jeruji besi dan narapidana yang kejam mulai mengganggu kepala
gue. Gue nggak mau dipenjara !! Orang-orang yang keluar-masuk stasiun melirik
ke arah gue dan Aji. Baru kali ini gue menjadi sorotan publik.
‘Tiket kalian mana ?’ Penjaga itu berkacak pinggang
dengan tatapan sok galak.
‘Nggak ada pak’ jawab gue dan Aji serentak sambil
menunduk. Nada yang memelas gue lancarkan supaya penjaga ini tidak menganiaya
gue dan Aji. Syukur-syukur hatinya mencair dan berbaik hati melepaskan gue.
‘KALO NGGAK ADA KARCIS NGAPAIN NAEK KERETA!!’ bentak
penjaga itu layaknya letnan yang memarahi anak buahnya karena lupa gosok gigi.
Gue dan Aji nggak bisa jawab apa-apa. Suara yang
membentak itu sangat menyiutkan nyali gue. Pengen nangis rasanya. Tapi nggak
mungkin gue nangis terus bersandar di bahu Aji. Bukannya terharu malah jijik.
‘JAWAB KALO DITANYA!!’ penjaga itu makin menggila.
‘Maaf pak maaf’ entah kenapa cuma kata-kata maaf
yang bisa gue lontarkan saat itu. Itu pun ngomongnya sambil gemeteran.
‘PUSH UP 20 KALI!!!’
‘Maaf pak’ ujar Aji.
‘MALAH MINTA MAAF LAGI. PUSH UP BURUAN !!!’
Gue dan Aji langsung memasang posisi push up. Lalu
kami push up dua puluh kali. Gue kecapean langung tergelatak dan memejamkan
mata. Merasakan dingin ubin yang menyejukkan pipi.
‘SIAPA SURUH TIDURAN ?!!’ teriakan penjaga itu
membuat gue kaget lalu membuka mata dan berdiri tegak.
‘Maaf pak’gue tertunduk lemas.
‘Untung saya orangnya baik. Untuk hukuman kalian,
beli sepuluh karcis di loket.’ Ujar penjaga lalu menunjuk loket.
‘Lu punya duit berapa ji ?’ bisik gue ke Aji.
‘Tiga rebu kal, elu ? ’
‘Gue cuma goceng’ lirih gue.
‘Mampus kita’ Aji menepuk jidat.
Melihat gue dan Aji yang masih berdiri dan belum
beranjak membeli karcis. Penjaga itu membentak lagi. Dengan suara yang lebih
bergetar.
‘KALIAN KENAPA MASIH DISINI ? BURUAN BELI KARCISNYA
!!’
‘Duit kita nggak cukup buat beli sepuluh karcis pak’
jawab gue sambil menunduk.
Gue dan Aji mengumpulkan uang seadanya. Lalu
menyerahkannya ke penjaga itu. Melihat uang yang gue dan Aji kumpulin,
diambilnya lalu penjaga itu membelikan karcis. Duit delapan ribu hanya dapat
membeli lima karcis.
‘Nih kembaliannya’ Pengaja itu menyerahkan uang
logam 500 rupiah ‘Sono kalian keluar jangan naek kereta kalo nggak beli karcis.
Inget itu, kalo saya ngeliat kalian lagi nggak punya karcis. Saya masukin
penjara kalian berdua!’ Ancam penjaga itu seiring menggiring gue dan Aji keluar
dari stasiun.
Bingung. Itu yang gue rasain sama Aji. Nggak tahu
harus berbuat apa lagi di sini. Ditengah derasnya hujan, gue berdua seperti
ayam yang ditinggal induknya. Berteduh di teras toko beras. Kuyub dan
kedinginan. Tiba-tiba muncul di pikiran gue untuk ngamen. Lumayan uangnya buat
beli karcis.
‘Ngamen aja yuk, Ji’ ajak gue dengan suara gemetar
karena kedinginan.
‘Emang lu bisa nyanyi ?’ Aji meragukan kemampuan
pita suara gue.
‘Ya, nggak bisa sih. Tapi nggak papa. Modal tepok
tangan sama nyanyiin lagunya st 12, tiga rebu mah dapet’ gue meyakinkan Aji
yang sedang memeluk dirinya sendiri.
‘Boleh deh, tapi kalo suara lu jelek gimana ?’
Lagi-lagi Aji nggak percaya dengan suara gue. Aji nggak tau kalo gue adalah
penyanyi kamar mandi paling terkenal. Setiap boker selalu nyanyi, lagi bengong
nyanyi, bahkan lagi tidur gue juga nyanyi. Mudah-mudahan jam terbang gue itu
mampu membantu gue mendapat 3 ribu.
Singkat cerita gue akhirnya ngamen dan dapet goceng.
Target tiga ribu terlampaui. Suara yang pas-pasan dan tepuk tangan Aji mampu
membuat gue seperti charly ST 12 . Mungkin tidak lama lagi gue dan Aji bakal
dipanggil produser dan disuruh gulungin kabel gitarnya charly,
Gue dan Aji bisa masuk ke stasiun dengan gagah.
Penjaga yang tadi menyergap dan membentak gue dan Aji melihat dengan tatapan
bingung. Mungkin dia heran ngelihat gue dan Aji dengan santai bisa masuk ke
stasiun, udah gitu sambil megang karcis pula. Buat pamer ke dia, karcis yang
gue pegang, gue lambai-lambaikan ke udara. MAMPUS LO PENJAGA BIADAP!
Gue dan Aji sampai dengan selamat di stasiun Lenteng
Agung. Ketika menelusuri peron dan keluar lewat pintu depan. Disana ada Uloh
sedang menikmati gorengan. Gue dan Aji yang kesal karena dia selamat dari
penyergapan penjaga stasiun, tanpa memperdulikan keberadaannya langsung pergi. Tak
ada sapa menyapa disana.
Hubungan gue, Aji dan Uloh mulai merenggang. Setiap
kali ketemu disekolah gue hanya menyapa Aji. Dengan kesadaran sendiri Uloh
tidak menyapa gue dan Aji. Sepertinya Uloh sadar kalo dirinya sedang dimushin
Leber yang tidak mengetahui masalah ini sangat penasaran. Dia ikut kubu gue dan
Aji. Otomatis Uloh sendiri, tidak punya temen.
Leber yang mengetahui alasan kerenggangan kami
bertiga, justru menyalah-nyalahkan Uloh. Hasilnya setiap kali naker gue cuma
berdua sama Aji. Leber sudah tidak bisa ikut naker lagi karena sedang fokus
maen Pointblank. Selama dua kali naker gue hanya berdua dengan Aji. Ada rasa yang
aneh ketika naker tanpa Uloh. Orang yang pertama ngajakin gue naker dan
ngajarin gue naker sudah nggak ada lagi disamping gue ketika menembus kecepatan
di atap kereta. Berdua begitu sepi. Tak ada uluran tangan Uloh lagi ketika gue
hendak naik keatap kereta. Kini gue sudah bisa merembet naik keatap kereta
dengan tangan dan kaki gue sendiri.
Itulah kenapa gue dan Aji juga mulai bosan dengan
kegiatan naker ini. Sepeninggalan Uloh gue dan Aji akhirnya berhenti untuk naker.
Nggak ada neker-nakeran lagi. Semua udah habis hanya karena amarah gue dan Aji
kepada Uloh.
Tiba-tiba gue tersadar bahwa Uloh tidaklah salah.
Uloh sama sekali tidak salah atas penangkapan di stasiun bogor itu. Kita
bertiga lah yang salah. Jika kami bertiga seandainya tidak melanggar aturan dan
membeli karcis pastinya tidak akan tertangkap oleh petugas stasiun atau sampai
harus mengamen demi bisa membeli karcis. Uloh hanyalah kambing hitam dari rasa
kesal Gue dan Aji. Saat itu gue dan Aji sangatlah emosi, tidak ada yang bisa
disalahkan selain Uloh yang selamat dari penjaga.
Akibat dari semua itu adalah pertengkaran. Diam
tanpa suara jika gue, leber dan aji ketemu Uloh. Hanya diam yang bisa
dilakukan. Komunikasi kami berantakan. Hancur lebur. Akhirnya gue dan Aji
menghampiri Uloh yang sedang terpaku dengan handphonenya. Gue sadar kalo kita
terus menurus diam akan selamanya komunikasi itu membeku. Harus ada yang berani
menjadi pencair dalam situasi seperti ini. Berani meruntuhkan egois adalah hal
sulit bagi kami bertiga. Namun itu lah yang harus gue dan Aji lakukan. Kami
berdua yang membuat komunikasi ini membeku dan sudah selayaknya gue dan Aji
menjadi pencairnya.
Setelah perbincang-bincang dan ngajak ngomong Uloh
lagi. Kami bertiga akhirnya bersatu lagi. Komunikasi antara sahabat menjadi
seperti semula. Kami menganggap semua yang pernah terjadi selama kita slekan
tidak pernah terjadi. Kami jalani terus tanpa pernah ada yang membahasnya,
terlepas dari peninggalan leber yang lebih memilih hidupnya ke warnet. Yang
kami lakukan saat ini lebih keren dibanding naker di atap kereta. Dan kami
sekarang sepulang sekolah punya kegiatan baru yaitu naik angkot di atap sambil
nyanyi-nyanyi. Sungguh memang kami bertiga pencinta atap.
0 komentar:
Posting Komentar