123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Senin, 16 November 2015

Sekilas Tentang Naker (Part I)

Mari mundur ke tahun 2011. Tahun dimana gosip kiamat 2012 mulai beredar.

Setelah bel istirahat berbunyi serentak semua anak-anak dari masing-masing kelas berhamburan keluar. Ada yang ke kantin, ke toilet, ada yang hanya di kelas karena bawa bekal dari rumah, dan ada yang solat duha. Gue segera bergegas meluncur ke kantin. Disana sudah ada teman-teman gue yang sedang melahap nasi kuning yang disajikan dengan ayam sebagai lauknya. Gue menghampiri mereka lalu nyomot ayam milik Aji ‘Bagi dong!’ . Aji melihat gue dengan mata penuh dengan api ‘BUSET !! Balikin anji*g!’ Aji menyergap ayam itu dari tangan gue ‘Beli sono lu ah. Ganggu aja’ tambahnya lalu menggit ayam yang sudah direbutnya dari genggaman gue.

Hari ini gue cuma beli es manga. Gue nggak niat untuk makan, bukannya nggak niat sih, memang karena hari ini uang jajan gue ketinggalan. Untungnya ada temen gue Yudi yang berbaik hati minjemin gue dua rebu. Ya lumayan lah beli es manga biar keliatan punya duit. Masalah pulang nggak punya duit masih bisa ditangani, jalan kaki juga bisa meskipun jarak dari sekolah ke rumah hampir 4 kilo meter. Pegel juga sih bisa-bisa meleduk betis gue kalo tiap hari jalan kaki empat kilometer, bolak-balik sekolah ke rumah 8 kilometer, kalo sebulan gue lupa bawa uang jajan, kira-kira 160 kilometer yang akan gue tempuh. Dan kayaknya saat itu kaki gue bakal segede gajah lampung deh.

Selama jam istirahat berlangsung, Aji, Uloh, dan Leber ngomongin tentang kegiatan mereka hari sabtu kemarin. Mereka mencerita kalo hari sabtu kemarin mereka abis naker dari Jakarta Kota sampai Lenteng Agung. Cerita mereka membuat gue tertarik untuk menyimak. Sambil menyedot es manga yang harganya serebuan, gue terus memasang telinga untuk mendengarkan dongeng mereka. Dan untuk sabtu depan mereka rencananya mau naker lagi.

‘Kal, lu ikut nggak ?’ tanya Aji sambil mengeplak kepala gue.

‘Kemana ?’ tanya gue sok nggak tahu. Padahal gue tahu kalo mereka mau naker. Sepertinya asik juga sih nyoba hal yang menantang, seperti naker. Naik Kereta di Atap.

‘Naker kal. Tapi ntar kita jalan-jalan dulu ke monas. Abis itu dari stasiun Juanda kita ke Jakarta Kota habis itu nakernya di stasiun Jayakarta’ Aji menjelaskan begitu serius meskipun sebenarnya gue nggak begitu mengerti seperti apa naker itu, dia emang udah pakarnya kalo tentang naker. Gue memang harus belajar banyak sama dia kalo tentang naker-nakeran.

‘Boleh deh, kapan ?’

‘Sabtu kal’

‘Oke deh’ gue mengacungkan jempol.

Setelah mengiyakan ajakan Aji, gue kembali ke kelas dengan penuh rasa ketidaksabaran. Selama pelajaran gue nggak begitu mendengarkan penjelasan guru dan justru gue lebih sibuk menggambar di lembar buku tulis paling belakang. Memang kebiasaan gue dari SD menggunakan lembaran buku tulis paling belakang sebagai wadah untuk mengekpresikan jiwa seni gue yang nggak bagus-bagus amat. Di lembaran itu gue menggambar kereta yang diatapnya ada beberapa orang sedang naker. Dalam bayangan gue diatap kereta itu ada gue, Aji, Leber, dan Uloh. Sepertinya gue sudah tidak sabar. Dan rasanya dalam tubuh gue mulai menggeliat virus naker yang tak bisa dibendung lagi.

***

Hari yang gue tunggu tiba. Inilah saatnya gue terjun ke dunia baru. Dunia perNAKERAN. Dunia yang penuh dengan kereta, bau keringat, bau matahari, dan bau para jamet. Akan gue lakukan semua atas nama bocah naker. Yeay!

Sudah janji sebelumnya, Aji, Leber, dan Uloh nyamper ke rumah gue. Gue yang sudah siap dengan dandanan gembel, baju oblong warna hitam, celana smp warna biru gantung sampe betis hampir keliatan dan sandal jepit. Gue mendapat wejangan berharga dari Aji kemarin pas disekolah, kalo mau naker itu nggak boleh memakai baju yang bagus. Nggak boleh pake kemeja apalagi taxedo, apalagi pake baju astronot, udah ribet nanti malah melayang-layang diatap kereta.  Itu semua semata-mata supaya pas di atap nantinya nggak di kolekin sama gembel kereta. Gue sih ‘iya iya’ aja karena ngeri juga kalo dikolekin sesama gembel.

Singkat cerita gue, Aji, Leber dan Uloh masuk ke stasiun Lenteng Agung lewat jalur belakang supaya nggak beli karcis. Gue memanjat tralis yang tingginya hanya satu meter lalu lompat keatas peron. Kalo apes keliatan sama petugas stasiun bisa diusir tapi untungnya saat itu petugas stasiun tidak terlalu ketat dalam menjaga keamanan stasiun. Ini pun sekaligus menjadi tindak kriminal kedua yang gue lakuin setelah terakhir gue lakuin dengan bokap gue saat gue masih sd kelas empat.

Waktu itu bokap yang lagi buru-buru pengin belanja barang-barang toko di Jatinegara karena mendengar suara kereta dari kejauhan, memutuskan lewat belakang, memang berbahaya tapi waktu adalah uang. Sebagai orang padang yang menjunjung tinggi jiwa perdagangannya, bokap gue pun memutuskan memotong jalan. Gila gokil dah bokap gua dah ah. Nggak percuma kumisnya tebel kayak sapu ijuk mini nempel di bawah idungnya.

Nggak lama setelah itu muncul kereta ekonomi warna perak yang dulu biasa disebut kereta kaleng. Mungkin karena warnanya perak seperti kaleng coca-cola kalo bungkusan plastiknya dibuka. Namun gue nggak terlalu lama memikirkan nama kereta itu karena itu nggak terlalu penting. Yang penting bagi gue sekarang adalah memikirkan bagaimana nanti gue naker. Gue, Aji, Uloh, dan Leber pun segera masuk kedalam kereta yang penuh sesak dengan pedagang.

Sampai di stasiun Juanda kami berempat turun dan langsung ke monas. Dimonas kami hanya muter-muter nggak jelas. Kalo ada cewek lewat kita serempak ngelihatin dan nggak jarang si Leber godain dan minta nomer mereka. Hasilnya nol besar, itu semua karena mukanya leber yang kayak orang mabok inek sepuluh botol. Walaupun gagal, gue mengacungkan jempol buat leber karena cuma dia orang jelek yang berani godain cewek tanpa sadar kalo mukanya kayak bakiak vampire. Mana mau cewek ngasih nomer ke orang mabok. Begitu seterusnya kami lakukan selama dimonas sampai sore hari. Ngelihatin cewek, godain, dan kiw-kiw-in. Begundal juga kalo dipikir-pikir sih.

Setelah merasa bosan dan hasrat naker sudah tidak bisa terbendung. Kami segera ke stasiun Juanda. Kali ini kami beli karcis karena di stasiun Juanda tidak ada jebolan untuk masuk secara gratis. Sial serebu lima ratus melayang. Kan lumayan buat beli otak-otak.

Kami pun naik kereta kearah Jakarta Kota terlebih dahulu supaya nanti nakernya berasa lama. Itu semua ide dari Aji. Gue yang masih awam mah cuma bisa ‘Iya iya’ doang. Gue mah apa atuh. Sampai distasiun kereta kami menunggu dipintu kereta, duduk dipinggiran. Kadang dimarahin sama bapak-bapak ‘Heh masuk bocah. Jatoh lo!’ Kami nggak menggubris marahan bapak itu. Sampe kayaknya tuh bapak yang kepalanya botak kayak cimol alot sudah mulai kesel sampe membentak kami ‘WOI BOCAH BISA DIBILANGIN NGGAK SIH LO PADA. GUE TAMPOLIN JUGA LO SEMUA KALO NGGAK MASUK!’ Mata bapak itu melotot dan jarinya menunjuk ke arah kami. Kami pun sontak berdiri dan lari ke dalam kereta. Menelusuri gerbong satu ke gerbong lainnya sambil teriak – teriak ‘Bapak-bapak gila!’ begitu terus sambil ketawa-tawa ‘Dasar botak gila!!’. ‘PILUS KACANG GARUDA’ kami teriak berharap bapak botak itu nggak denger, kalau denger habis lah gue diinjek-injek pake bantalan rel.

Kereta pun jalan perlahan lalu lama kelamaan semakin cepet. Kami sudah siap untuk turun di Jayakarta dan lalu manjat ke atap kereta. Di stasiun itu akan banyak penumpang dan memenuhi gerbong, makannya kebanyakan orang-orang yang ingin memilih nyaman daripada dempet-dempetan kayak ikan teri didalam gerbong lebih baik keluar dan naik ke atap kereta. Kereta pun berhenti di Stasiun Jayakarta, benar kata Aji ternyata distasiun ini penumpang sangat banyak. Aji, Uloh dan Leber keluar diikuti gue dibelakangnya. Aji yang memang udah jago langsung dengan cekatan menaiki kakinya dari jendela lalu sampai lah Aji diatap kereta. Uloh pun serupa dengan Aji, keahliannya dalam menaklukkan atap kereta sudah tidak diragukan lagi. Leber ? Leber masih kesulitan memanjat jendela tapi dari atas Uloh membantu mengangkat Leber dengan menggenggam tangannya erat. Begitu pun orang-orang yang lain, mereka silih berganti naik ke atap kereta. Gue ? Gue gemeteran. Kaki gue keringetan, ketek gue tiba-tiba basah sampai nembus ke baju.

Kurang lebih keadaanya kayak gini deh. Rame. Penuh suasana kekeluargaan.


‘Kal ayo naek kal ayo !’ teriak Aji dan Uloh dari atap. Gue yang masih di peron hanya melihat mereka bingung harus ngapain. Leber sedang tiduran di atap, tampaknya dia kelelahan dan sedang mengatur napas karena perjuangannya yang sulit tadi.

Kereta tiba-tiba jalan ‘Nanti aja stasiun abis ini’ teriak gue yang langsung lompat ke dalem gerbong.

‘Oke’ sahut Aji dan Uloh.

Selama kereta berjalan gue terus mengumpulkan keberanian untuk naik ke atap kereta. Ternyata naik ke atap kereta itu tegangnya lebih parah daripada diomelin guru karena nggak bisa jawab 5+5. Sambil terus berdoa ‘Yallah bantu hamba yallah bantu hamba’ gue berharap kereta ini nggak berhenti sampe di stasiun lenteng biar bisa ngeles kalo gue nggak jadi naker. Sebenarnya kalo bisa milih naker atau nggak naker, gue pasti milih nggak nake. Tapi semua udah terlanjur, tiga temen gue udah ada di atas dan saat ini gue ikut mereka karena ingin naker, nggak mungkin gue cuma berdiam panik keringat dingin, bulu ketek satu per satu numbuh.

GUE BISA . GUE BISA. GUE BISA.

Gumam gue. Nggak tau kenapa saat itu gue merasa naik di atap kereta akan lebih kece dibanding memenangkan lomba olimpiade fisika se-kelurahan. Hati gue terus bicara ‘nggak’ tapi tekad gue bilang ‘AYO NAEK BEGO BURUAN TEMEN LO NUNGGUIN TUH’ Akhirnya kereta berhenti dan atas nama solidaritas anak naker se-Indonesia. Gue harus naik.

Kereta berhenti, dengan cepat gue keluar lalu melihat keatas atap Uloh dan Aji sudah mengulurkan tangan mereka.

‘Ayo kal, pelan-pelan aja santai. Gausah panik’ ujar Uloh memberikan semangat.

Tangan gue menggengam pinggiran atap kereta sebagai pegangan, lalu gue mengangkat kaki dan memijaknya ke jendela yang terbuka, ada kepala orang disitu tapi gue nggak mikirin kepala orang itu keinjek atau nggak, mau gepeng kepalanya kek bodoamat ah yang penting saat ini gue harus sampi ke pucuk atap kereta ini. Gue sudah berdiri di jendela, nggak lama kereta jalan. Buset sumpah panik ke bol-bol gue. Anjir demi apapun gue langsung lompat ke peron lagi. Uloh dan Aji terlihat kecewa tapi keselamatan gue lebih penting disini. Gue sekali lagi masuk kedalam gerbong.

‘Stasiun yang satu lagi. Gue kurang cepet’ ujar gue ke Aji dan Uloh seiring masuk ke dalam gerbong.

Dilihat dari progress-snya dari stasiun ke stasiun gue sudah menunjukkan progress yang pesat. Dari awalnya cuma panik sampai sudah bisa nginjek jendela. Eh jendela apa kepala orang, sih, tadi. Mudah-mudahan kepala orang deh. Aduh , maksudnya mudah-mudahan jendela yang gue injek.


Merasa kemampuan gue sudah lebih baik daripada di stasiun Jayakarta. Gue meyakinkan sekali lagi dan lagi ke diri gue sendiri kalo gue bisa naik ke atap. Dan saat ini gue bener-bener lebih bangga bisa naik di atap kereta dibanding dapat ranking satu dikelas. Naker lebih keren dari segalanya. Mudah-mudahan nyokap gue bangga dengan raihan yang akan gue capai saat ini dan bilang ke sepenjuru RT06 ‘Anak ku yang udah smp itu bisa naker lho!’.

Kereta berhenti lagi. Saat ini gue harus berhasil. Berbekal kemampuan memanjat jendela di stasiun sebelumnya, kaki gue nggak tau kenapa cepet banget manjat jendela. Gue segera mengulurkan tangan. Dengan susah payah gue pun sampai di atap. Dipuncak tertinggi kereta kaleng. SUMPAH YA GUE BANGGA BANGET BISA NAKER, GILAAAAAA!!! Teriak gue dalem hati. Nggak mungkin gue teriak ditengah orang yang ada di atap. Disangka norak nanti gue. Tapi emang norak sih. Ah gue memang norak.

Ini bapak-bapak yang pake peci lagi mau ngaji di atap kereta. SALAH TEMPAT PAK, Buset dah yak, turun pak. Turun!


Di atap kereta gue melihat orang-orang dari gerbong belakang sampai gerbong depan. Banyak juga ternyata yang naik di atap. Ada bapak-bapak, anak kuliahan, anak punk, gembel nggak pake sandal yang kakinya dekil kayak muka gue yang belum mandi, ada Uloh, Leber, Aji, Dan gue (si amatir naker).

Ada rasa sedikit minder ketika sampai di atap. Gue takut sebagian dari orang-orang ini ngolekin gue. Apalagi muka gue yang unyu kayak taik otok disambelin ini rentan banget dikolekin. Gue memasang muka sok gembel aja biar nanti kalo ada gembel yang ngolekin jadi ngurungin niatnya karena ngeliat gue adalah sejenis dari mereka.

‘Gimana kal ? enak kan naker ?’ tanya Uloh sambil tiduran menikmati angin sepoi-sepoi. Nggak bisa dipungkiri, angin diatas sini sangat menyejukkan lebih sejuk dari kipas angin reot merk toshiba dirumah. Timbul niatan dari dalam diri gue, tinggal diatap kereta aja enak kali ya. Adem bener. Semriwing coy

‘Enak loh. Enak banget ternyata. Cuma tadi gue panik aja pas naeknya’ ujar gue seadanya.

‘Gapapa kal namanya juga pertama kali. Tapi kocak juga pas lo tadi ketinggalan kita yang udah diatas duluan. Muka lo kayak kambing mencret hahahahahaha’ ujar Aji yang membuat kami berempat tertawa.

Nggak terasa percakapan kami membuang waktu begitu lama. Tinggal dua stasiun lagi sampai di stasiun lenteng agung. Gue masih santai menikmati semilir lembut angin menembus tubuh gue. Lalu sebuah pikiran mencemaskan mampir ke otak gue. Hal yang sebenarnya nggak mau gue pikirin. Tapi mau gimana lagi, udah terlanjur mampir ke pikiran gue. Saat itu juga lagi-lagi gue panik. GIMANA CARA TURUNNYA INI KAMPRET!

‘Lompat aja tapi lihat-lihat dibawah lo dulu ada orang atau nggak. Kalo emang lu bisa nginjek jendela, lu coba aja. Tapi kalo lo nggak berani karena takut kepleset, ya lo lompat aja. Kereta kaleng ini kal, nggak tinggi kok palingan pas lompat cuma berasa dengkul kopong kayak abis ngencrot hahahaha’ Uloh memberikan saran yang nggak terlalu membantu membuat panik gue hilang.

Tidak lama kereta berhenti di stasiun Lenteng Agung. Gue mengamati cara turun Uloh yang menginjak jendela terlebih dahulu. Merasa kayaknya gampang dengan cara itu, gue ikutin. Tapi memang dasarnya gue masih amatiran, gue malah tertahan dengan satu kaki di jendela dan satu kaki masih di atap. Tangan gue bertumpu pada permukaan atap. Telapak tangan gue terus menekan atap supaya gue nggak kepleset. Panik. Yap panik parah ini gue sumpah dah demi kancutnya neptunus.

‘Lompat kal buruan !!’ Teriak ketiga temen gue yang sudah dengan selamat mendarat di peron.

Dengan ucapan bismillah dan satu kali gerakan tubuh, gue melompat lalu terjerembap di peron. Uloh, Aji, dan Leber tertawa melihat gue terkapar kayak burung dara mabok jagung.

Gue beranjak dari peron dan menepuk-nepuk baju dan celana yang kotor karena debu.

‘Hahahaha bego lo kal’ kata Leber.

‘Lah ? ngapa bego ? ’ tanya gue mengeryitkan dahi.

‘Bego aja buahahaahak’ Leber mulai nggak jelas. Ketidak jelasan itu justru membuat kami tertawa.

Sepanjang perjalan keluar dari stasiun lewat pintu belakang kami tertawa karena membahas ekspresi muka gue yang panik karena nggak bisa naik di atap tadi. Semua cerita itu terus menerus kami bahas sampai besoknya di sekolah. Namun itu tadi baru cerita awal gue bisa naker. Pertama kalinya seorang manusia dengan kulit item, cupu, takut sama suara gluduk yang mulai beranjak menjadi keren. Tingkatan gue sebagai keren saat ini udah ada di ‘mulai keren’. Naker adalah passion. Naker ? ah sudahlah masih akan banyak cerita lagi setelah ini. Gue nulis baru sampai ini supaya nggak kebanyakan. Biar lo bacanya enak dan penasaran dengan apa yang terjadi dengan pengalaman gue selama terjun di dunia per-nakeran. Akan banyak lagi cerita gue tentang naker, jadi tunggu cerita selanjutnya ya. Byeeee mhuaahhh….

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone