123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Senin, 30 November 2015

Power Of Juri

Merana adalah tindakan bodoh yang dilakukan oleh pecundang dalam menyikapi sebuah kekalahan. Dalam sebuah kondisi apapun jangan pernah melakukan hal yang bernama merana. Merana nggak akan menyelesaikan apapun apalagi menjadi jalan keluar dalam menanggapi sebuah kekalahan. Merana hanya mengmhabat perjuangan lo untuk merubah sesuatu ke tingkat yang lebih baik. Menerima dan semangat lah jalan satu-satunya yang tepat untuk dilakukan.

Begitulah ketika gue menyikapi kekalahan saat mengikuti sebuah perlombaan. Saat itu gue dipercaya untuk mewakili sekolah gue dalam perlombaan printing tingkat provinsi DKI Jakarta. Diikuti oleh beberapa sekolah yang jurusannya adalah Grafika (Baca : Sebuah jurusan yang mempelajari teori dan praktik bidang cetak mencetak. Intinya grafika itu berkaitan khusus pada sebuah cetakan. Contohnya buku, poster, undangan sunat, kawin, koran, majalah, dll. Segalanya tentang hasil cetakan itulah yang dipelajari dari mulai ide, desain, proses cetak, dan finishing / pengemasan hingga menjadi sebuah cetakan yang layak jual) Panjang amat yak gue jelasinnya.

Perlombaan tersebut adalah perlombaan tahunan yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengembangkan bakat siswa/siswi smk di Indonesia. Dibagi menjadi beberapa bidang sesuai jurusan dari masing-masing sekolah. Ada IT, Otomotif, Pariwisata, dll. Nah, yang saat ini gue ikuti adalah dibidang Grafika. Namun untuk pengetahuan kalian, sekolah dengan bidang Grafika masih sangat terbatas di Indonesia. Untuk di Jakarta hanya ada lima sekolah. Dari lima sekolah hanya satu yang berbasis negeri, empat lainnya adalah swasta. Dan sekolah gue berbasis swasta.

Diperlombaan kali ini hanya ada dua sekolah yang diikut sertakan. Ditingkat provinsi Jakarta, sekolah yang berbasis negeri ini selalu ikut serta bahkan panitia perlombaannya adalah guru-guru dari sekolah tersebut. Pemerintah mempercayai sekolah negeri ini untuk mengadakan perlombaan sekaligus memilih salah satu dari empat sekolah Grafika swasta untuk dijadikan sebagai lawan. Beruntungnya tahun ini sekolah gue yang mendapat kesempatan. Lebihnya lagi gue menjadi wakil dari dua anak yang beruntung dipilih oleh sekolah sebagai duta di perlombaan tersebut.

Hoki. Bisa dibilang begitu. Merasa kemampuan gue nggak terlalu wah, tetapi gue yang ditunjuk untuk mengikuti lomba. Ini juga berkat Allah swt yang mendengar doa kecil gue saat gue masih duduk di kelas sepuluh. Ketika melihat kaka kelas gue mendapat penghargaan juara satu dan dua di sebuah perlombaan Printing timbul keinginan dalam hati gue untuk melanjutkan perjuangan mereka. Gayung bersambut, dua tahun kemudian doa yang nggak terlalu gue niatin banget ternyata terwujud. Tuhan memang selalu mendengar doa apapun yang terucap dari hati. Makannya itu saat ini kalo ada cewek cakep lewat gue selalu menyilipkan sebuah doa kecil ‘Yallah mudah-mudahan dia jodoh hamba. Walaupun bukan jodoh, seenggaknya bisa lah dipikir-pikir dulu. Kali aja jodoh’.

Latihan di mesin cetak selama satu bulan bersama para instruktur praktik dipercatakan milik yayasan sekolah pun selesai. Berkat gemblengan dan pengalaman yang mereka miliki gue dilatih menjadi operator mesin cetak yang lumayan handal. Segala seluk beluk mesin dan permasalahan yang mungkin akan terjadi di mesin cetak saat perlombaan nanti sudah di simulasikan dengan melakukan segala antisipasi. Berkat latihan ini pula gue jadi makin dekat dengan instruktur yang nggak terlalu gue kenal dan liburan setelah ujian nasional dengan berat hati harus gue isi untuk latihan Full Time.

Mesin cetak offset bernama Heidelberg speedmaster 52. Ini adalah mesin ketika gue latihan.

Satu hari sebelum hari perlombaan. Di sebuah kampus negeri yang letaknya tidak jauh dari sekolah gue. Gue, sobat gue dan dua peserta dari sekolah negeri diberikan pelatihan singkat selama tiga jam untuk mempelajari mesin cetak yang akan digunakan saat perlombaan. Sialnya, gue sangat buta dengan mesin yang akan digunakan nanti. Mesin yang digunakan adalah mesin buatan jepang, sedangkan ketika latihan selama sebulan, yang gue gunakan adalah mesin buatan jerman. Yang otomatis segala tombol dan cara penyetelan sangatlah berbeda. Meski tidak terlalu jauh perbedaannya tetap aja KAMPRET!!. Kenapa panitia nggak menginformasikan terlebih dahulu untuk mesin yang akan digunakan saat lomba nanti. Ini nggak adil! Apa-apaan ini. Saat itu gue sudah merasa kalah dalam berperang. Tapi semangat masih membara. Kalah menang belakangan yang penting gue bisa menyelesaikan hasil cetakan.

Hayo. ngerti nggak ?



Mungkin gue hoki ketika tahu kalo gue dapat mewakili sekolah untuk mengikuti sebuah perlombaan tingkat provinsi. Tapi gue sangatlah tidak hoki ketika ditunjuk menjadi peserta pertama. Beban peserta lain ada di pundak gue. Jika gue mampu melakukan yang terbaik, gue yakin peserta lain akan panik. Tetapi jika gue melakukan kesalahan, pasti peserta lain akan tertawa kayak nenek lampir lalu membuat pesta dadakan, mengundang kangen band sebagai bintang tamu, dan menyoraki gue ketika keluar dari ruangan sambil tepuk tangan ‘Paskal cemen, paskal cemen, paskal cemen !!!!’.

Sakurai oliver 58, mesin yang digunakan ketika lomba. Buatan negeri matahari terbit.


Di hari perlombaan,

Step by step cara mencetak sudah gue ikuti dengan baik sesuai dari kertas petunjuk yang diberikan oleh juri. Mulai dari menyiapkan bahan seperti kertas, blanket cleaner, plat cleaner, gom, spons, smash, minyak, plat cetak (Cuman anak grafika yang ngarti nih). Serta penyetelan mesin sudah gue lakukan dengan baik di computer yang berada di meja CPC (Computer Panel Control).

Nih computernya. Di layar tertera sebuah persentase tinta yang digunakan dari unit per unit.

Ini ketika penyetelan ukuran kertas yang digunakan untuk dicetak. Dan juga mengukur berat kertas serta side standar pada meja pemasukan otomatis bergerak (Anak grafika yang ngarti)


Petaka mulai berdatangan ketika kertas dari meja pemasukan tidak berjalan dengan baik ketika melewati meja penghantar. Padahal roda peraba, sikat peraba kertas, anginn penghembus, dan doublesheet-nya sudah gue stel sebagaimana mestinya (Sori banget nih, Cuma anak grafika yang ngarti.). Gue mulai panik. Berbagai cara gue lakukan demi melancarkan jalannya kertas menuju meja pengeluaran. Dibelakang gue ada sebuah kaca besar yang membatasi ruangan lomba dengan koridor diluarnya. Tepat saat itu guru gue melihat kepanikan gue. Muka gue yang cemas membuat salah satu dari guru gue menggerakan tangan seperti charly caplin, gue tau maksud guru gue itu, kalau gue harus mengatur angina penghembusa dan mengecek ulang doublesheet. Namun sudah gue lakukan tidak ada yang berubah.

Diluar, harap-harap cemas menonton gue dari sebuah layar tancep. Eh layar dinding deng.


Gue yakin ada yang salah dengan mesin ini. Seharusnya mesin ini tidak mengalami masalah. Alhasil waktu gue sudah terbuang 30 menit. Dari dua jam yang diberikan gue belum sempat mencetak selembar pun. Akhirnya gue meminta bantuan dan menghampiri juri. Peraturan yang tertera di kertas adalah jika peserta menanyakan sesuatu ke juri atau ke teknisi, peserta tersebut akan mendapatkan -1 dari penilaian. Bodoamat!! Daripada gue nggak nyetak-nyetak, lagian siapa suruh mesin belum distel dengan baik langsung digunain buat lomba. Udah gitu gue lagi yang jadi korbannya!! Taik nih.

Setelah mesin sudah benar diperbaiki. Hasilnya kertas yang tadi terhambat dimeja penghantar, berjalan dengan lancar. Dengan cepat gue segera mencetak satu persatu kertas. Mulai dari selembar gue mencari register cetakan (Baca : Register cetakan merupakan ketepatan cetak dalam sebuah lembaran cetakan. Harus sesuai dengan contoh cetakan yang sudah ada. Mulai dari centring, margin kanan, kiri, atas dan bawah. Serta register warna harus sama dengan contoh. Kalau contohnya merah ya harus merah, jangan warna ijo.)
 Detik-detik injury time makin membuat gue panik. Sedangkan mesin masih berjalan, masih ada 50 lembar yang belum tercetak. Sambil melihat jam yang putarannya seolah semakin cepat kayak motornya Rossi. Gue berdoa ‘Yallah 50 lembar lagi yallah!!’. Baam!! Allhamdulillah cetakannya selesai sebelum waktunya habis. Sehingga gue bisa membenahi mesin, melepas plat cetak dari silinder plat, menggosok blangket, dan menghapus data stelan dari computer di meja CPC. Setelah selesai mencetak. Dilanjutkan dengan sesi interview. Di sesi ini gue di lempari beberapa pertanyaan kejam. Membuat gue ingin mencolok ketiga juri itu.
 ‘Tadi kertasnya kenapa ?’ tanya salah satu juri yang wajahnya seperti bajak laut, dengan kacamata khas bapak-bapak, bibirnya monyong seperti habis kejepit rolling door, dan tompel di dagunya. Serta mata kanannya tertutup oleh sebuah perban, sepertinya matanya habis kelilipan gajah.
 Mendengar pertanyaan kampret gitu. Sebenarnya gue mau jawab ‘Eh kampret, lu nggak ngeliat sendiri tadi, hah ?!! mesinnya bapuk. Stelan doublesheetnya nggak sesuai sama yang diajarin kemarin, ada perubahan yang bikin mesin itu nggak berfungsi sebagaimana mestinya, lu tuh bego apa tolol sih.SEHARUSNYA NGGAK USAH NANYA, LU KAN JURI, HEH JANGAN DIEM AJA LO!! NGAPA MELOTOT-MELOTOT ? MAU NAKUT-NAKUTIN GUE?!! NGGAK TAKUT GUE?!!’
 Sayangnya gue nggak berani. Demi menjaga wibawa sekolah dan keselamatan gue ketika pulang nanti, gue menjawab seadanya ‘Saya sudah atur doublesheetnya pak, tapi nggak tau kenapa bisa begitu’
 Juri itu hanya mengangguk nggak puas dengan jawaban gue. Lagi-lagi gue pengen nyemprotin matanya pake blanket cleaner. Perih-perih tuh mata.
 Giliran gue selesai. Gue keluar dari ruangan lomba dengan disambut beberapa pertanyaan dari sobat gue tak luput juga lawan gue bertanya tentang apa saja yang terjadi kepada gue. Gue hanya diem. Nggak mau membocorkan kejadian yang tidak mengenakan ini ke lawan. Karna jika gue memberitahu kalo gue nggak maksimal pastinya mereka akan mencoba lebih maksimal dari gue. Namun karna mereka nanya terus akhirnya gue menakut-nakuti mereka dengan bilang ke mereka ‘GILAK. JURINYA TERNYATA SUMANTO!’

Hasil cetakan gue saat itu. Cakep ya mba-mba digambar itu.

 Guru gue menepuk pundak gue sebagai ucapan ‘GOOD JOB KAL’ namun gue menganggap tepukan itu sebagai ‘Goblok lu kal. Tolol lu ah gitu aja nggak bisa, percuma latihan sebulan!!’. Dalam hal ini gue merasa sudah kalah. Gue yakin masalah yang tadi terjadi pada mesin tidak akan dialami oleh para peserta lain. Mereka akan lancar dan lebih tenang saat mencetak. Gue pun duduk, menyisir poni dengan tangan sampai ke belakang, begini lah cara gue mengekspresikan kegagalan.
 Untuk menunggu tiga peserta lainnya gue mondar-mandir nggak jelas. Mengelilingi mesin-mesin cetak rotogravure (Baca : Rotogravure merupakan sebuah teknik cetak dalam yang menggunakan sebuah silinder yang dicukil sebagai acuan cetaknya. Area cetaknya lebih rendah dibanding area tidak mencetaknya. Tinta akan mengisi cell yang berada di silinder tersebut sehingga ketika proses cetaknya silinder tersebut akan bersentuhan langsung dengan bahan cetak dan memberikan gambar pada bahan cetak tersebut). Gue tidak mau meratapi apa yang terjadi tadi. Gue nggak mau mengingat-ngingat kegagalan gue. Gue sudah pasti mendapat nilai -1. Namun gue nggak akan tenggelam dalam sebuah genangan kegagalan. Saat ini gue hanya bisa berharap peserta lain melakukan blunder yang fatal. Ya, syukur-syukur ada yang pingsan atau ditelpon emaknya disuruh pulang karna lupa ngangkat jemuran.
 Selain berharap sesuatu yang buruk terjadi. Gue juga nggak lupa solat dan berdoa. Dengan berbakal download-an aplikasi islami di playstore dua hari yang lalu yaitu, dzikir setelah solat fardu. Gue pun berdzikir dengan khusuk meminta yang terbaik dari Allah SWT. Semoga kesalahan gue tadi menjadi yang terbaik di perlombaan ini. Ya, minimal gue juara satu lah. Juara satu kok minimal ?!! Yaudah dah, minimal juara dua dah, etdah. Begitulah gue, berdoa saat keadaan terdesak.
 Singkat cerita perlombaan selesai hingga pukul 10 malam. Hari yang melelahkan dan menunggu yang cukup lama. Preview perlombaan, sobat gue gagal total. Dari 500 kertas putih yang seharunya dicetak, 200 kertas tidak sempat dia cetak karena dia terlalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan. Gue mengerti perasaan dia sekarang, dia sangatlah merana. Ternyata sobat gue ini lebih parah dari gue. Namun gue tetap memberikan semangat kepada dia. Supaya tidak terus meratapi kegagalan. Karena meratapi nggak akan memperbaiki kegagalan yang tadi dia ciptakan, justru hanya memperkeruh ketenangan hati. Support dari guru-guru dan gue akhirnya membuat dia sedikit tersenyum dari gelombang merana.
 Sebelum pengumuman gue juga sudah dapat menerka-nerka siapa juaranya. Yang pasti bukan gue atau sobat gue. Dia adalah peserta terakhir. Dia menghasilkan cetakan yang bagus dan register yang baik. 
Ketika pengumuman juara di sebutkan berdasarkan nilai yang diberikan oleh juri. Mulai dari nilai.
 70+70+86, segitulah kira-kira nilainya untuk sobat gue yang mendapatkan juara harapan 1. Fak buat juara harapan. Sampai saat ini gue masih sangat tidak terima dengan penghargaan yang menggunakan predikat HARAPAN. Yang namanya harapan itu adalah sesuatu yang belum terwujud, masih semu dan untuk apa sesuatu yang masih menjadi angan-angan dijadikan sebuah apresiasi yang membuat peraihnya hanya menjadi sebuah angan-angan semata. Mending diberi juara empat, jelas predikatnya. 
Oke kembali ke pengumuman. Dilanjutkan dengan angka 85+89+80. Nama gue lalu disebut. Fix gue juara tiga. Pastinya juara satu dan duanya dari sekolah negeri itu. 
70+85+100. Juara dua disebutkan lalu dilanjutkan 89+90+89 sebagai juara satunya.
 Gue menundukkan kepala lalu melihat ke guru gue yang ternyum dan mengacungkan jempol. Perlombaan selesai, semua panitia bergegas pulang. Juri-juri memberikan ucapan dan jabat tangan kepada peserta. Kemudian gue dihampiri salah satu juri. Dia memberikan ucapan yang membuat gue sedikit bangga dengan kemampuan gue serta membuat gue menyesali diri gue sendiri. Dia bilang, Di awal mulai kamu sebenarnya bagus. Tapi pas masalah muncul kamu mulai banyak menimbulkan masalah dan kamu juga mulai panik, sukses ya. Jabat tangan antara gue dengan juri itu sekaligus membubarkan acara perlombaan serta meninggalkan sesuatu yang janggal.
 Mari kita telaah. Bukannya gue tidak menerima kekalahan. Gue sangat menerima sebuah kekalahan. Tapi yang nggak bisa gue terima adalah cara juri menyikapi suatu perlombaan. Apalagi lomba ini tingkat provinsi. Seharusnya juri transparan dalam menilai, tidak memihak satu instansi yang berbasis negeri. Okelah gue nggak permasalahin yang juara satu, sang juara memang layak. Sudah gue lihat jelas dari cara dia melakukan proses cetak, teratur, cekatan, dan tepat.
 Yang tidak bisa diterima sampai saat ini adalah nilai 100 dalam sebuah perlombaan. Perlombaan sekelas olimpiade pun gue yakin nggak akan muncul nilai seratus. NGGAK AKAN. Nilai seratus tidak akan muncul di suatu perlombaan. Gue pernah denger Saiful Jamil di D Academy (Dangdut banget gue yak) dia bilang ‘Di penjurian nggak akan  juri ngasih nilai seratus. Itu nggak boleh.’ meski gue rada dangdut, tapi dari ucapan bang Saiful jamil menyatakan bahwa nilai seratus sangatlah tidak mungkin muncul di sebuah perlombaan.
 Apa yang terjadi dengan ini semua. Dari jajak pendapat ketika pulang dari lomba. Di dalam mobil, guru-guru mendebatkan nilai seratus ini. Mereka menerka-nerka kalau salah satu juri yang memberikan nilai seratus itu tidak sportif. Gue memang sangat kecewa dengan itu, jika memang juri sportif mungkin gue bakal juara dua. Ya, semua pun telah berlalu. Mereka yang mengadakan perlombaan, ya, mereka juga lah yang harus menang.
 Walau gagal dan terlepas dari sebuah isu konspirasi penilaian dari salah satu juri. Gue akhirnya berteman dengan salah satu lawan gue. Kebetulan sekali dia juga melamar di sebuah perusahaan yang sama. Gue berbincang-bincang dengan dia, dan mendapat info kalo sang juara satu mendapat juara nasional. Itu semua berkat latihan yang rajin di mesin yang sama dengan gue lomba saat itu. Dan jurinya sama. Sama!! Sama dengan juri ketika lomba tingkat provinsi waktu itu. Dari sini gue semakin yakin kalau POWER OF JURI  lebih kuat dibanding POWER OF SPIRIT.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone