123, Example Street, City 123@abc.com 123-456-7890 skypeid

Rabu, 25 November 2015

Hembusan Janji



Diantara sesak kerumunan para penjemput di koridor bandara, Robi menyelinap mencari cela untuk keluar dari kerumunan tersebut. Merasa sesak dan panas berada didalam kerumanan orang-orang dengan bau yang bervariasi. Dengan segala cara akhirnya ia mampu keluar dari kerumunan dan menatap pandang kearah penumpang yang baru saja tiba dan berjalan keluar menuju koridor.

Satu per satu para penumpang keluar namun wajah Robi sedikit menampakkan kegelisahan. Ada hal yang terganjal di hatinya. Sesuatu yang membuat nafasnya sesak dan air matanya mengalir tiba-tiba. Keadaan yang mungkin akan diingat Robi selama hidupnya. Seperti ada angin tornado yang menyapu hatinya. Lalu sambaran petir menggelegar memberontak hati hingga menjadi kepingan kecil. Untuk disatukan kepingan itu pun sudah sangat sulit. Tidak ada lagi kesempatan. Pintu awal masuk kedalam sebuah dunia baru mulai terlihat. Ada sorotan yang menerangi tubuh Robi disitu.

*

Robi setiap minggu selalu menyempatkan waktu untuk olahraga. Mulai dari lari pagi, bulu tangkis, atau pun yang saat ini ia lakukan adalah bersepeda. Dengan sepeda gunungnya ia mengelilingi jalan raya dari jam 5  selepas solat subuh hingga jam 8 pagi ketika tukang ketoprak baru saja membuka dagangannya.

Sambil mendengarkan lagu Coldplay lewat headset yang ia kenakan di kedua telinganya membuat setiap gowesan kakinya menjadi lebih rileks. Keringat tidak terlalu mengalir deras. Perlahan keringatnya justru mengering sesaat Robi melihat seorang cewek mengenakan baju Real Madrid berwarna pink, legging abu-abu yang panjangnya sampai dengkul, dan sepatu nike hitam perpaduan garis pink membuat cewek itu menjadi keliatan unyu dari kejauhan. Ditambah rambutnya yang dikuncir dan kuncirannya warna pink. Kelihatannya cewek itu sedang dalam masalah. Robi pun mengampiri cewek itu.

Secepat kilat ia turun dari sepeda lalu menstandarkan sepedanya. Kemudian Robi jongkok menyampingi cewek dengan kuncir rambut pink itu dengan senyuman manis sebagai tanda salam.

‘Bisa saya bantu mbak ?’ tanya Robi membuat cewek itu sedikit kaget karena kedatangannya yang tiba-tiba seperti tuyul.

Cewek itu malu-malu menjawab ‘Ngg…in..ini bannya kempes’ ujarnya lalu melempar pandangannya kembali tertuju ban depan sepedanya.

‘Oh kempes. Disini bengkel jauh lho mbak. Apalagi sekarang hari minggu, pastinya bengkel belum pada buka. Gimana kalo ke bengkel saya aja ? Deket kok’ Ucap Robi memberi saran ke cewek yang wajahnya lama kelamaan manis ketika butiran-butiran keringat mengalir turun dari dahi turun ke dagunya.

‘Nggak usah mas..nggak usah.ngerepotin nantinya. Saya bisa sendiri kok’ sedetik kemudian cewek itu beranjak lalu menuntun sepedanya. Pergi meninggalkan Robi. Namun Robi mengejarnya dengan menuntun sepedanya juga.

‘Nggak apa-apa kok mbak. Dibengkel saya gratis deh’ Ujar Robi masih bersikukuh untuk mengajak cewek itu memperbaiki ban sepedanya di bengkel milik ayahnya.

Cewek itu semakin mempercepat langkah kakinya. Semakin cepat pula Robi mengikutinya. Cewek itu terlihat panik lalu menaiki sepedanya lalu menggoesnya. Tidak jauh dari situ, belum sempat Robi mengejarnya. BRUK!!! Cewek itu terjatuh dengan sepeda menimpah tubuhnya. Tanpa aba-aba Robi membanting sepedanya kemudian berlari menghampiri cewek itu. Di obatinya luka di siku cewek itu dan menempelkan hansaplast di sudut dahinya.

‘Gimana udah mendingankan ?’ senyum Robi setelah menempelkan hansaplas dan membalut siku cewek itu dengan perban yang sebelumnya sudah diolesi obat merah yang dibawanya.

‘Ma—makasih ya’ cewek itu beranjak pergi lagi namun langsung ditahan oleh Robi.

‘Tunggu dulu! Sepeda kamu rusak tuh, bannya juga malah makin parah. Mendingan ke bengkel aku aja. Nanti dibenerin disana.’

‘Nggak usah aku bisa sendiri kok’ cewek itu masih berkelit tidak ingin dibantu.

Saat cewek itu mulai menuntun sepedanya. Robi menggengam tangan cewek yang sedang menggenggam stang sepedanya. Sorot mata Robi langsung tepat di poros mata sang cewek. Ada sesuatu yang bercahaya dibalik mata yang bulat itu. Tiba-tiba pipi cewek itu merona, ia terpejam tak kuat melihat tatapan Robi yang begitu tajam.

‘Mau yak ke bengkel aku ?’

Masih dengan rasa malu. Akhirnya cewek itu menganggukkan kepala. Tidak sia-sia perjuangan Robi membujuk cewek itu untuk memperbaiki sepedanya dibengkel milik ayahnya. Lagi pula ceweknya saja yang aneh disuruh benerin sepedanya gratis malah nggak mau.

‘Nah gitu dong’ Robi mengacungkan jempol lalu tersenyum.

Cewek itu dengan malu menatap Robi dilanjutkan dengan senyum sederhana. Imut sekali cewek ini. Cocok jadi anggota cheerybele yang ke 12.

‘Aku Robi’ Robi mengulurkan tangannya.

‘Ina’ Suaranya pelan seperti kentut anak bayi, Ina pun menyambut tangan robi.

*


Semenjak kejadian itu. Kedekatan Robi dan Ina terus berlanjut. Setiap hari Robi selalu BBM atau nge-Line Ina. Meski awalnya Ina tidak terlalu membuka diri ke Robi. Dengan segala jurus ampuh Ina pun luluh oleh Robi. Robi seperti memiliki daya magis yang mampu membuat Ina dekat dengannya. Walaupun sekolah mereka tidak sama, setiap hari selepas pulang sekolah pasti mereka menyempatkan diri mampir ke sevel. Demi menikmati slurpee campur aduk yang dibuat oleh Robi. Kadang Robi hanya membeli slurpee untuk meraciknya saja, tapi tidak diminum karena rasanya yang aneh. Pernah sesekali Robi mencoba bereksperimen dengan mencampurkan slurpee dan saus keju. Hasilnya dia muntah-muntah ketika meminumnya. Gelak tawa selalu hadir disetiap perbincangan mereka. Begitu lah kegiatan mereka selama satu bulan terakhir.


‘Nggak kerasa ya sekolah tinggal sebentar lagi. Besok udah ujian nasional aja.’ Sambil mengayuh sepedanya, Robi menatap Ina yang berada disampingnya yang juga sedang mengayuh sepeda.

‘Au nih gara-gara kamu sih hihihi’ Senyuman Ina mengembang di wajahnya yang imut, Senyumnya menorehkan sebuah lubang indah di bagian kedua pipinya. Rasanya ingin memasukan jari kedalam lesung pipi tersebut.

‘Dih kok gara-gara aku ? ngaco aja lo!! ’

‘Emang gara-gara kamu wuuuuueeee’ Ina menjulurkan lidahnya.

‘Ye melet-melet kayak bulldog lagi lo.’

‘Biarin. Daripada kaya ELOOOOO!! hahaha’  Ledek Ina lalu mengayuh sepedanya dengan tenaga penuh. Meninggalkan Robi karena habis meledeknya. Robi yang tidak terima dengan ledekan dari Ina pun segera mengejarnya.

‘Heii tunggu! Gue kempesin ban lu nanti kalo ketangkep’ Robi teriak kesal karena tidak mudah mengejar Ina.

‘Sini kalo berani! hahahaha’ Ina makin jadi meledeknya. Robi semakin cepat membuntuti Ina.

Dari belakang Robi seperti mengejar sesosok malaikat yang suka bersepeda. Ia memandangi rambut Ina yang dikuncir. Rambutnya terus tersapu oleh angin. Terkadang rambut yang terkuncir itu melompat-lompat karena guncangan polisi tidur. Harum keringatnya rasa strawberi. Robi curiga, Ina dirumah mandi pake seember jus stroberi. Manis manis kecut.

Dibalik semua itu, Robi lama kelamaan mulai menebar rasa kasih ke Ina. Rasa yang dimana belum diketahui oleh Ina. Bahkan untuk sekarang ini, Ina belum pantas untuk mengetahuinya. Dia harus fokus terlebih dahulu untuk Ujian Nasional. Robi tidak ingin mengganggu Ina saat musin Ujian Nasional nanti. Cukup menunggu waktu yang tepat, dan saat itu lah pasti Robi akan mengungkapkan rasa yang tersembunyi kepada Ina.

‘’Na, gue capek. Gue nyerah. Kita makan ketoprak aja yuk ?’ Teriak Robi yang sudah menghentikan sepedanya. Nafas Robi berderu cepat. Dadanya bergemuruh tak beraturan.

‘Yuk. Kamu traktir ya ?’

‘Oke’ senyum Robi sambil memegangi perut karena kecapekan.


*

Usai ujian nasional, Robi janji ketemuan sama Ina di sevel. Dengan baju yang penuh coretan pilok dan tanda tangan teman-temannya di sekolah. Robi menjadi sorotan orang-orang di dalam sevel ketika dia sedang meracik slurpee. Sampai ia duduk di kursi yang berada di bagian luar sevel pun, ia tetap menjadi pusat perhatian. Rambutnya yang warna-warni akibat seprotan pilok membuatnya seperti ayam sepuhan abang-abang.

Ina datang lalu duduk. Meletakkan papan jalan dimeja kemudian meminum slurpee yang dibuat oleh Robi tadi.

‘Bisa nggak UN-nya ?’ tanya Robi mendekatkan wajahnya ke Ina.

‘Bisa’ Ina tersenyum tipis. Senyumnya rada getir tidak semanis biasanya. Ada rasa kecut yang bercampur di senyum manisnya itu.

‘Kamu kenapa ?’ Robi heran dengan Ina yang menunjukkan sifat aneh. Ina tidak seperti biasanya menjadi pendiam seperti ini. Sifat riangnya tiba-tiba hilang.

‘Gakpapa’ Ujar Ina lalu beranjak dari kursi dan pergi. Robi segera mencegahnya. Mengaitkan tangannya ke lengan Ina supaya tidak pergi.

‘Kamu kenapa sih, na ? Cerita ke aku na kalo ada masalah’

‘Lepasin! Biarin aku sendiri dulu!’ dengus Ina membuat Robi terkejut dengan perubahan sifat Ina.

Ina menarik tangannya dari genggaman Robi. Robi tahu sepertinya Ina sedang ada masalah. Entah itu karena tidak bisa menjawab ujian nasional, mungkin juga pensil yang dipakai Ina ternyata palsu atau pengawasnya tadi killer dan dia ketahuan mencontek.

Demi kebaikan Ina akhirnya Robi melepaskan Ina untuk pergi. Saat ini Ina butuh kesempatan untuk sendiri. Menenangkan hatinya yang sedang mendidih. Ina mungkin lelah karena selama empat hari ini belajar terus-terusan. Bisa jadi Ina memang sedang tidak ingin diganggu oleh Robi. Tapi apakah salah Robi yang membuat Ina semarah itu. Pertanyaan mulai menerpa otak Robi. Siapa yang salah disini dan siapakah yang benar.

Ketika di kamar saat sedang asyik bermain duel otak. Suara ‘Line’ muncul dari dalam speaker handphone Robi. Segera Robi menghentikan permainannya lalu membuka pesan Line.  Tersebut. Ternyata itu Line dari Ina.

Maafin aku tadi terlalu emosi sama kamu. Aku sama sekali nggak bermaksud buat marah-marah kayak tadi.

Nggak apa-apa kok. Sekarang kamu udah lebih tenang, kan ?

Belum.

Kenapa ? Makannya kamu cerita ke aku dong.

Kamu yakin mau denger ini semua ?

Yakin banget na!

Lama Ina tidak membalas pesan Line. Sekitar tiga puluh menit dia belum kunjung membalas pesan dari Robi. Apa lagi ini ?! Kenapa lagi dengan Ina. Pikiran-pikiran negative mulai beredar di otak Robi tentang Ina. Takut Ina ternyata…hamil. Namun tidak mungkin! Ina orang baik dan dia tidak mungkin hamil.

Kalo emang benar-benar hamil, masak iya gue jadi bapak dari anaknya ?!! Hati Robi tiba-tiba menjerit tidak bisa menerima fantasinya yang tidak masuk akal ini.

‘LAIN’ Suara Brown lewat speaker handphone Roby.

Minggu depan aku pergi ke Jepang. Nyokap sama bokap udah daftarin aku di salah satu universitas disana. Aku nggak bisa ketemu kamu lagi Rob.

What ? What ? Kamu salah ngetik kan? Kamu typo kan?!! Jujur sama aku kalo kamu typo, itu bukan Jepang tapi Lembang kan ? April mop udah lewat na!!!

Ketikan Robi diiringi rasa ragu. Rasa sesak begitu terasa setelah membaca pesan dari Ina kalau Ina akan melanjutkan study-nya di Jepang. Negara yang nggak bisa ditempuh dengan go-jek. Itu berarti ngga ada beli ketoprak bareng, ngeracik slurpee bareng, dan gowes bareng lagi. Semua kenangan itu seketika muncul di otak Robi. Terekam secara berurutan. Semakin sedih perasaan Roby semakin jelas pula rekaman saat kedekatannya dengan Ina. Semua itu akan menjadi debu.

Ina balas Line.

Aku serius Rob. Aku nggak typo. Besok pagi jam 10  aku udah take off. Aku harap kamu bisa datang ya, rob J

Robi sudah nggak bisa membalas apa-apa lagi.  Hatinya remuk, terinjak-injak oleh keinginan Ina yang akan pergi ke Jepang. Butiran bening yang menggenang di kornea matanya tanpa di suruh langsung mengalir membasahi pipinya. Hatinya berbanjirkan air mata. Jiwa raganya melayang dan terbang seperti layang-layang. Sudah terlalu lama mengulur, tanpa disangka datang sebuah kabar yang memutuskan benang layangan itu. Sama seperti Robi, begitu lama ia mengulur perasaanya kepada Ina tiba-tiba sebuah kabar datang bagaikan gunting tajam yang memotong kecil-kecil perasaan Robi.

Ina mungkin tidak tahu apa yang dirasakan Robi saat ini. Mungkin Ina hanya merasa kalau Robi semata-mata hanyalah seorang sahabat. Nggak lebih dari seorang sahabat yang selalu ada saat suka dan duka. Namun berbeda dengan Robi. Robi sangatlah cinta pada Ina, rasa cintanya sudah tak bisa terbendung lagi. Layaknya tsunami yang terus mengalir, menghancurkan segala bangunan yang berada dihadapannya. Melenyapkan segala hamparan indah yang telah dibangun dengan waktu yang tidak sebentar.

*

‘Kamu baik-baik ya disana’ Robi menepuk pundak Ina sambil menahan tangis yang hampir pecah. Ia tidak mau terlihat cengeng di depan Ina. Meski perasaan sesak dan rasa ingin mengungkapkan rasa sayang ke Ina, Robi belum mau mengatakannya sekarang. Ia masih setia memendam perasaan yang menyesakkan itu.

‘Pasti. Aku pasti baik-baik aja.’ Ina tersenyum lalu mengangakat kopernya.

‘Aku tunggu kamu pulang ya na. Ada sesuatu yang aku pengen ngomongin.”

‘Kenapa nggak sekarang ?’

‘Aku belom siap. Tapi kamu janji ya bakal pulang lagi ?’ Robi meringis, menggaruk kepala padahal tidak ada yang gatal dikepalanya.

Ina mengangguk seraya tersenyum.

‘Kalo gitu aku berangkat ya Rob. Bye Robi. Dadah’ Ina pergi meninggalkan senyum sederhana berhias lesung pipi. Lambaian tangannya membuat Robi ikut melambaikan tangan kepadanya. Kemudian bayangan tubuh Ina menghilang, dihadang beberapa penumpang lainnya.

Ina meninggalkan begitu banyak kenangan di hati Robi. Saat ini Robi sendirian, tidak ada lagi gelak tawa dan keusilan yang diciptakan oleh Ina. Sendirian dengan banyak rahasia yang belum diketahui Ina. Berharap kedepannya Ina akan mengetahui bahwa sebenarnya Robi sangatlah mencintai Ina sejak pertemuan pertamanya ketika ban sepeda Ina Bocor. Dibawalah ban yang bocor itu ke bengkel, akhirnya ban itu dapat diperbaiki sehingga lubang sobekan di ban tersebut tertutup kembali. Beda dengan hati Robi saat ini, hatinya yang sobek tidak dapat di sembuhkan dengan bengkel. Bengkel yang Robi inginkan telah pergi meninggalkan bekas bocor di hatinya. Sampai saatnya nanti, bekas sobekan yang dibuat oleh Ina mungkin akan terus melebar jika tak ada wanita yang mampu menutupnya. Ina, cepetan dong di Jepangnya.

*

Koridor bandara mulai sepi ditinggal para penjemput dan penumpang. Robi tinggal sendiri, berdiri tanpa ada yang mengenalnya. Harapan ada orang yang memanggil namanya hanyalah isapan jempol belaka. Padahal Ina sudah janji kalau hari ini ia akan pulang dari Jepang. Ina mengabarkan lewat Line dua hari yang lalu. Namun detik ini juga belum ada batang hidung Ina di hadapan Robi. Apakah Ina berbohong kepada Robi. Padahal Robi sudah rela-rela tidak masuk kuliah demi menjemput Ina hari ini.

Robi pun melangkah pergi meninggalkan koridor bandara. Tiba-tiba dihadapannya seorang pria dengan mengenakan jaket dan celana panjang sambil menenteng tas berlutut kelelahan. Nafasnya tidak teratur. Lalu pria itu menoleh kearah Robi dan merapihkan jaketnya yang lecak.

‘Robi ?’ tunjuk dia dengan jarinya.

‘Iya gue Robi. Lu siapa ?’ Robi heran karena pria asing ini mengetahui namanya.

‘Kenalin, gue Juned. Gue teman satu kampusnya Ina waktu di Jepang, dan dia nitip ini’ Pria itu menyerahkan sebuah gantungan kunci. Bentuknya persegi, terbuat dari kayu dan bertuliskan aksara Jepang di satu sisinya.

‘Gantungan kunci ?’ Robi mengerutkan dahi dan memicingkan mata ke arah gantungan kunci yang diberikan oleh pria asing ini.

‘Iya gantungan. Gue gatau apa artinya ini gue cuman disuruh nitipin ini ke elu. Udah ya, gue buru-buru’ pria itu menepuk pundak Robi dengan cepat ia pergi dan menaiki taksi yang sudah bersiap membawanya kemana saja.

Robi menatap gantungan kunci itu. Memutar dan membalik gantungan itu berkali-kali. Apa arti tulisan aksara Jepang ini. Apa Ina mau sombong ke Robi kalo dia sudah jago bahasa Jepang ? Atau ini tulisannya Aku cinta Kamu. Ah sudahlah, sampai saat ini pun Robi dan Ina masih sangat suka membuat-buat sebuah rahasia. Robi tersenyum, meski getir tapi ada sedikit rasa bahagia karena ternyata Ina tidak lupa dengannya walaupun dia tidak menepati janji untuk bertemu dengannya hari ini.

*

Tiga tahun bekerja di perusahaan Jepang. Akhirnya Robi diberi kesempatan oleh pemilik perusahaan untuk mengunjungi kantor pusat di Jepang. Semua usahanya selama ini bekerja membuahkan hasil yang sangat membahagiakan. Siapa yang tidak ingin pergi ke Jepang secara cuma-cuma. Robi terbang ke Negara yang menghancurkan cintanya. Jepang. Negara yang menjadi tempat bernaung separuh hatinya 7 tahun yang lalu. Ternyata sudah lama ya, ujar Robi dalam hati.

Dengan parka yang tebal ada bulu-bulu dibagian kupluknya, sarung tangan untuk menghangatkan telapak tangan, dan hembusan nafas begitu jelas terlihat keluar dari mulut Robi. Kebetulan sekali Robi datang ke Jepang di musim dingin. Rasanya seperti berada di kulkas. Dingin, beku, dan seperti es mambo.

Dia atas jembatan layang Robi memandangi hamparan gedung pencakar langit, mobil-mobil hilir mudik di jalan raya, dan pejalan kaki yang tertib berjalan di trotoar yang sudah disediakan serta tak menyerobot saat menyebrang jalan ketika lampu hijau menyala. Semuanya terlihat putih diselimuti butiran salju dari langit. Rasanya seperti ada di dunia pororo. Senyum Robi pun mengembang melihat pemandangan yang baru pertama kali dilihat.

Pantas saja Ina betah. Ucap Robi dilanjutkan mengehembuskan gumpalan udara dari mulut.

Dijalan Robi menikmati butiran salju yang terus turun berjatuhan menyentuh kepalanya. Ia menengadahkan wajahnya kearah langit. Butiran-butiran putih nan dingin itu meghempas wajah Robi. Dingin, lembut dan basah. Sama seperti hatinya saat ditinggal Ina, ketika mengetahui Ina akan pergi ke Jepang, hati Robi berubah dingin serta beku. Meskipun hati Ina terasa lembut namun tetap saja ditinggal Ina membuat Robi basah kuyub karena tangisannya.

Memori itu semakin terekam. Rekaman itu tak pernah hilang ditelan waktu. Meski hampir satu windu kenangan itu berlalu, memori-memori indah itu tak pernah menjauh dari hati Robi.

Tiba-tiba sebuah ketukan tangan dari belakang tubuh menghentak tubuh Robi yang sedang duduk di depan sevel sambil menikmati capucino. Sentuhan ini tak asing. Sentuhan yang begitu dalam rasanya, lembut bagaikan salju. Dingin bagaikan es batu. Sedetik kemudian Robi menoleh kearah ketukan tangan tersebut. Matanya terbelalak, bibirnya menganga lebar. Hidungnya kembang kempis. Jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Hatinya seperti ada yang menarik untuk saling bersatu.

‘Hai Rob, apa kabar ?’ Senyum manis yang sudah lama dinantikan oleh Robi terlempar dari wajah seorang wanita yang imut karena lesung pipinya.

Robi terpatung melihat Ina yang tambah cantik dan manis. Poni rambut yang menutupi dahinya membuat Ina semakin imut. Ditambah lagi lesung pipinya yang masih awet terhampar di pipinya yang rada chubby. Air mata Robi mengalir, ia pun beranjak dari kursi dan langsung memeluk hangat tubuh Ina.

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent Posts

Unordered List

Pages

Super Stars

Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Friendzone