Hembusan Janji
Diantara sesak
kerumunan para penjemput di koridor bandara, Robi menyelinap mencari cela untuk
keluar dari kerumunan tersebut. Merasa sesak dan panas berada didalam kerumanan
orang-orang dengan bau yang bervariasi. Dengan segala cara akhirnya ia mampu
keluar dari kerumunan dan menatap pandang kearah penumpang yang baru saja tiba dan
berjalan keluar menuju koridor.
Satu per satu para
penumpang keluar namun wajah Robi sedikit menampakkan kegelisahan. Ada hal yang
terganjal di hatinya. Sesuatu yang membuat nafasnya sesak dan air matanya
mengalir tiba-tiba. Keadaan yang mungkin akan diingat Robi selama hidupnya.
Seperti ada angin tornado yang menyapu hatinya. Lalu sambaran petir menggelegar
memberontak hati hingga menjadi kepingan kecil. Untuk disatukan kepingan itu
pun sudah sangat sulit. Tidak ada lagi kesempatan. Pintu awal masuk kedalam
sebuah dunia baru mulai terlihat. Ada sorotan yang menerangi tubuh Robi disitu.
*
Robi setiap minggu
selalu menyempatkan waktu untuk olahraga. Mulai dari lari pagi, bulu tangkis,
atau pun yang saat ini ia lakukan adalah bersepeda. Dengan sepeda gunungnya ia
mengelilingi jalan raya dari jam 5 selepas solat subuh hingga jam 8 pagi ketika
tukang ketoprak baru saja membuka dagangannya.
Sambil mendengarkan
lagu Coldplay lewat headset yang ia
kenakan di kedua telinganya membuat setiap gowesan kakinya menjadi lebih
rileks. Keringat tidak terlalu mengalir deras. Perlahan keringatnya justru
mengering sesaat Robi melihat seorang cewek mengenakan baju Real Madrid
berwarna pink, legging abu-abu yang panjangnya sampai dengkul, dan sepatu nike
hitam perpaduan garis pink membuat cewek itu menjadi keliatan unyu dari
kejauhan. Ditambah rambutnya yang dikuncir dan kuncirannya warna pink.
Kelihatannya cewek itu sedang dalam masalah. Robi pun mengampiri cewek itu.
Secepat kilat ia turun
dari sepeda lalu menstandarkan sepedanya. Kemudian Robi jongkok menyampingi
cewek dengan kuncir rambut pink itu dengan senyuman manis sebagai tanda salam.
‘Bisa saya bantu mbak
?’ tanya Robi membuat cewek itu sedikit kaget karena kedatangannya yang
tiba-tiba seperti tuyul.
Cewek itu malu-malu
menjawab ‘Ngg…in..ini bannya kempes’ ujarnya lalu melempar pandangannya kembali
tertuju ban depan sepedanya.
‘Oh kempes. Disini
bengkel jauh lho mbak. Apalagi sekarang hari minggu, pastinya bengkel belum
pada buka. Gimana kalo ke bengkel saya aja ? Deket kok’ Ucap Robi memberi saran
ke cewek yang wajahnya lama kelamaan manis ketika butiran-butiran keringat
mengalir turun dari dahi turun ke dagunya.
‘Nggak usah mas..nggak
usah.ngerepotin nantinya. Saya bisa sendiri kok’ sedetik kemudian cewek itu
beranjak lalu menuntun sepedanya. Pergi meninggalkan Robi. Namun Robi
mengejarnya dengan menuntun sepedanya juga.
‘Nggak apa-apa kok
mbak. Dibengkel saya gratis deh’ Ujar Robi masih bersikukuh untuk mengajak
cewek itu memperbaiki ban sepedanya di bengkel milik ayahnya.
Cewek itu semakin
mempercepat langkah kakinya. Semakin cepat pula Robi mengikutinya. Cewek itu
terlihat panik lalu menaiki sepedanya lalu menggoesnya. Tidak jauh dari situ,
belum sempat Robi mengejarnya. BRUK!!! Cewek itu terjatuh dengan sepeda menimpah
tubuhnya. Tanpa aba-aba Robi membanting sepedanya kemudian berlari menghampiri
cewek itu. Di obatinya luka di siku cewek itu dan menempelkan hansaplast di
sudut dahinya.
‘Gimana udah
mendingankan ?’ senyum Robi setelah menempelkan hansaplas dan membalut siku
cewek itu dengan perban yang sebelumnya sudah diolesi obat merah yang
dibawanya.
‘Ma—makasih ya’ cewek
itu beranjak pergi lagi namun langsung ditahan oleh Robi.
‘Tunggu dulu! Sepeda
kamu rusak tuh, bannya juga malah makin parah. Mendingan ke bengkel aku aja. Nanti
dibenerin disana.’
‘Nggak usah aku bisa
sendiri kok’ cewek itu masih berkelit tidak ingin dibantu.
Saat cewek itu mulai
menuntun sepedanya. Robi menggengam tangan cewek yang sedang menggenggam stang
sepedanya. Sorot mata Robi langsung tepat di poros mata sang cewek. Ada sesuatu
yang bercahaya dibalik mata yang bulat itu. Tiba-tiba pipi cewek itu merona, ia
terpejam tak kuat melihat tatapan Robi yang begitu tajam.
‘Mau yak ke bengkel aku
?’
Masih dengan rasa malu.
Akhirnya cewek itu menganggukkan kepala. Tidak sia-sia perjuangan Robi membujuk
cewek itu untuk memperbaiki sepedanya dibengkel milik ayahnya. Lagi pula
ceweknya saja yang aneh disuruh benerin sepedanya gratis malah nggak mau.
‘Nah gitu dong’ Robi
mengacungkan jempol lalu tersenyum.
Cewek itu dengan malu
menatap Robi dilanjutkan dengan senyum sederhana. Imut sekali cewek ini. Cocok
jadi anggota cheerybele yang ke 12.
‘Aku Robi’ Robi
mengulurkan tangannya.
‘Ina’ Suaranya pelan
seperti kentut anak bayi, Ina pun menyambut tangan robi.
*
Semenjak kejadian itu.
Kedekatan Robi dan Ina terus berlanjut. Setiap hari Robi selalu BBM atau
nge-Line Ina. Meski awalnya Ina tidak terlalu membuka diri ke Robi. Dengan
segala jurus ampuh Ina pun luluh oleh Robi. Robi seperti memiliki daya magis yang mampu membuat Ina dekat
dengannya. Walaupun sekolah mereka tidak sama, setiap hari selepas pulang
sekolah pasti mereka menyempatkan diri mampir ke sevel. Demi menikmati slurpee campur aduk yang dibuat oleh
Robi. Kadang Robi hanya membeli slurpee untuk meraciknya saja, tapi tidak
diminum karena rasanya yang aneh. Pernah sesekali Robi mencoba bereksperimen
dengan mencampurkan slurpee dan saus
keju. Hasilnya dia muntah-muntah ketika meminumnya. Gelak tawa selalu hadir
disetiap perbincangan mereka. Begitu lah kegiatan mereka selama satu bulan
terakhir.
‘Nggak kerasa ya
sekolah tinggal sebentar lagi. Besok udah ujian nasional aja.’ Sambil mengayuh
sepedanya, Robi menatap Ina yang berada disampingnya yang juga sedang mengayuh
sepeda.
‘Au nih gara-gara kamu
sih hihihi’ Senyuman Ina mengembang di wajahnya yang imut, Senyumnya menorehkan
sebuah lubang indah di bagian kedua pipinya. Rasanya ingin memasukan jari
kedalam lesung pipi tersebut.
‘Dih kok gara-gara aku
? ngaco aja lo!! ’
‘Emang gara-gara kamu
wuuuuueeee’ Ina menjulurkan lidahnya.
‘Ye melet-melet kayak
bulldog lagi lo.’
‘Biarin. Daripada kaya
ELOOOOO!! hahaha’ Ledek Ina lalu mengayuh
sepedanya dengan tenaga penuh. Meninggalkan Robi karena habis meledeknya. Robi
yang tidak terima dengan ledekan dari Ina pun segera mengejarnya.
‘Heii tunggu! Gue
kempesin ban lu nanti kalo ketangkep’ Robi teriak kesal karena tidak mudah mengejar
Ina.
‘Sini kalo berani!
hahahaha’ Ina makin jadi meledeknya. Robi semakin cepat membuntuti Ina.
Dari belakang Robi
seperti mengejar sesosok malaikat yang suka bersepeda. Ia memandangi rambut Ina
yang dikuncir. Rambutnya terus tersapu oleh angin. Terkadang rambut yang
terkuncir itu melompat-lompat karena guncangan polisi tidur. Harum keringatnya
rasa strawberi. Robi curiga, Ina dirumah mandi pake seember jus stroberi. Manis
manis kecut.
Dibalik semua itu, Robi
lama kelamaan mulai menebar rasa kasih ke Ina. Rasa yang dimana belum diketahui
oleh Ina. Bahkan untuk sekarang ini, Ina belum pantas untuk mengetahuinya. Dia
harus fokus terlebih dahulu untuk Ujian Nasional. Robi tidak ingin mengganggu Ina
saat musin Ujian Nasional nanti. Cukup menunggu waktu yang tepat, dan saat itu
lah pasti Robi akan mengungkapkan rasa yang tersembunyi kepada Ina.
‘’Na, gue capek. Gue
nyerah. Kita makan ketoprak aja yuk ?’ Teriak Robi yang sudah menghentikan
sepedanya. Nafas Robi berderu cepat. Dadanya bergemuruh tak beraturan.
‘Yuk. Kamu traktir ya
?’
‘Oke’ senyum Robi sambil
memegangi perut karena kecapekan.
*
Usai ujian nasional,
Robi janji ketemuan sama Ina di sevel. Dengan baju yang penuh coretan pilok dan
tanda tangan teman-temannya di sekolah. Robi menjadi sorotan orang-orang di
dalam sevel ketika dia sedang meracik slurpee.
Sampai ia duduk di kursi yang berada di bagian luar sevel pun, ia tetap
menjadi pusat perhatian. Rambutnya yang warna-warni akibat seprotan pilok
membuatnya seperti ayam sepuhan abang-abang.
Ina datang lalu duduk.
Meletakkan papan jalan dimeja kemudian meminum slurpee yang dibuat oleh Robi tadi.
‘Bisa nggak UN-nya ?’
tanya Robi mendekatkan wajahnya ke Ina.
‘Bisa’ Ina tersenyum
tipis. Senyumnya rada getir tidak semanis biasanya. Ada rasa kecut yang
bercampur di senyum manisnya itu.
‘Kamu kenapa ?’ Robi
heran dengan Ina yang menunjukkan sifat aneh. Ina tidak seperti biasanya
menjadi pendiam seperti ini. Sifat riangnya tiba-tiba hilang.
‘Gakpapa’ Ujar Ina lalu
beranjak dari kursi dan pergi. Robi segera mencegahnya. Mengaitkan tangannya ke
lengan Ina supaya tidak pergi.
‘Kamu kenapa sih, na ?
Cerita ke aku na kalo ada masalah’
‘Lepasin! Biarin aku
sendiri dulu!’ dengus Ina membuat Robi terkejut dengan perubahan sifat Ina.
Ina menarik tangannya
dari genggaman Robi. Robi tahu sepertinya Ina sedang ada masalah. Entah itu
karena tidak bisa menjawab ujian nasional, mungkin juga pensil yang dipakai Ina
ternyata palsu atau pengawasnya tadi killer dan dia ketahuan mencontek.
Demi kebaikan Ina
akhirnya Robi melepaskan Ina untuk pergi. Saat ini Ina butuh kesempatan untuk
sendiri. Menenangkan hatinya yang sedang mendidih. Ina mungkin lelah karena
selama empat hari ini belajar terus-terusan. Bisa jadi Ina memang sedang tidak
ingin diganggu oleh Robi. Tapi apakah salah Robi yang membuat Ina semarah itu.
Pertanyaan mulai menerpa otak Robi. Siapa yang salah disini dan siapakah yang
benar.
Ketika di kamar saat
sedang asyik bermain duel otak. Suara ‘Line’ muncul dari dalam speaker
handphone Robi. Segera Robi menghentikan permainannya lalu membuka pesan Line. Tersebut. Ternyata itu Line dari Ina.
Maafin
aku tadi terlalu emosi sama kamu. Aku sama sekali nggak bermaksud buat
marah-marah kayak tadi.
Nggak
apa-apa kok. Sekarang kamu udah lebih tenang, kan ?
Belum.
Kenapa
? Makannya kamu cerita ke aku dong.
Kamu
yakin mau denger ini semua ?
Yakin
banget na!
Lama Ina tidak membalas
pesan Line. Sekitar tiga puluh menit dia belum kunjung membalas pesan dari Robi.
Apa lagi ini ?! Kenapa lagi dengan Ina. Pikiran-pikiran negative mulai beredar
di otak Robi tentang Ina. Takut Ina ternyata…hamil. Namun tidak mungkin! Ina
orang baik dan dia tidak mungkin hamil.
Kalo
emang benar-benar hamil, masak iya gue jadi bapak dari anaknya ?!! Hati
Robi tiba-tiba menjerit tidak bisa menerima fantasinya yang tidak masuk akal
ini.
‘LAIN’ Suara Brown
lewat speaker handphone Roby.
Minggu
depan aku pergi ke Jepang. Nyokap sama bokap udah daftarin aku di salah satu
universitas disana. Aku nggak bisa ketemu kamu lagi Rob.
What
? What ? Kamu salah ngetik kan? Kamu typo kan?!! Jujur sama aku kalo kamu typo,
itu bukan Jepang tapi Lembang kan ? April mop udah lewat na!!!
Ketikan Robi diiringi
rasa ragu. Rasa sesak begitu terasa setelah membaca pesan dari Ina kalau Ina
akan melanjutkan study-nya di Jepang.
Negara yang nggak bisa ditempuh dengan go-jek. Itu berarti ngga ada beli
ketoprak bareng, ngeracik slurpee
bareng, dan gowes bareng lagi. Semua kenangan itu seketika muncul di otak Robi.
Terekam secara berurutan. Semakin sedih perasaan Roby semakin jelas pula rekaman
saat kedekatannya dengan Ina. Semua itu akan menjadi debu.
Ina balas Line.
Aku
serius Rob. Aku nggak typo. Besok pagi jam 10 aku udah take off. Aku harap kamu bisa datang
ya, rob J
Robi sudah nggak bisa
membalas apa-apa lagi. Hatinya remuk,
terinjak-injak oleh keinginan Ina yang akan pergi ke Jepang. Butiran bening
yang menggenang di kornea matanya tanpa di suruh langsung mengalir membasahi
pipinya. Hatinya berbanjirkan air mata. Jiwa raganya melayang dan terbang
seperti layang-layang. Sudah terlalu lama mengulur, tanpa disangka datang
sebuah kabar yang memutuskan benang layangan itu. Sama seperti Robi, begitu
lama ia mengulur perasaanya kepada Ina tiba-tiba sebuah kabar datang bagaikan
gunting tajam yang memotong kecil-kecil perasaan Robi.
Ina mungkin tidak tahu
apa yang dirasakan Robi saat ini. Mungkin Ina hanya merasa kalau Robi
semata-mata hanyalah seorang sahabat. Nggak lebih dari seorang sahabat yang
selalu ada saat suka dan duka. Namun berbeda dengan Robi. Robi sangatlah cinta
pada Ina, rasa cintanya sudah tak bisa terbendung lagi. Layaknya tsunami yang
terus mengalir, menghancurkan segala bangunan yang berada dihadapannya. Melenyapkan
segala hamparan indah yang telah dibangun dengan waktu yang tidak sebentar.
*
‘Kamu baik-baik ya
disana’ Robi menepuk pundak Ina sambil menahan tangis yang hampir pecah. Ia
tidak mau terlihat cengeng di depan Ina. Meski perasaan sesak dan rasa ingin
mengungkapkan rasa sayang ke Ina, Robi belum mau mengatakannya sekarang. Ia
masih setia memendam perasaan yang menyesakkan itu.
‘Pasti. Aku pasti
baik-baik aja.’ Ina tersenyum lalu mengangakat kopernya.
‘Aku tunggu kamu pulang
ya na. Ada sesuatu yang aku pengen ngomongin.”
‘Kenapa nggak sekarang
?’
‘Aku belom siap. Tapi kamu janji ya bakal pulang lagi ?’ Robi
meringis, menggaruk kepala padahal tidak ada yang gatal dikepalanya.
Ina mengangguk seraya tersenyum.
‘Kalo gitu aku berangkat ya Rob.
Bye Robi. Dadah’ Ina pergi meninggalkan senyum sederhana berhias lesung pipi.
Lambaian tangannya membuat Robi ikut melambaikan tangan kepadanya. Kemudian
bayangan tubuh Ina menghilang, dihadang beberapa penumpang lainnya.
Ina meninggalkan begitu
banyak kenangan di hati Robi. Saat ini Robi sendirian, tidak ada lagi gelak
tawa dan keusilan yang diciptakan oleh Ina. Sendirian dengan banyak rahasia
yang belum diketahui Ina. Berharap kedepannya Ina akan mengetahui bahwa
sebenarnya Robi sangatlah mencintai Ina sejak pertemuan pertamanya ketika ban
sepeda Ina Bocor. Dibawalah ban yang bocor itu ke bengkel, akhirnya ban itu
dapat diperbaiki sehingga lubang sobekan di ban tersebut tertutup kembali. Beda
dengan hati Robi saat ini, hatinya yang sobek tidak dapat di sembuhkan dengan
bengkel. Bengkel yang Robi inginkan telah pergi meninggalkan bekas bocor di
hatinya. Sampai saatnya nanti, bekas sobekan yang dibuat oleh Ina mungkin akan
terus melebar jika tak ada wanita yang mampu menutupnya. Ina, cepetan dong di Jepangnya.
*
Koridor bandara mulai
sepi ditinggal para penjemput dan penumpang. Robi tinggal sendiri, berdiri
tanpa ada yang mengenalnya. Harapan ada orang yang memanggil namanya hanyalah
isapan jempol belaka. Padahal Ina sudah janji kalau hari ini ia akan pulang
dari Jepang. Ina mengabarkan lewat Line dua hari yang lalu. Namun detik ini
juga belum ada batang hidung Ina di hadapan Robi. Apakah Ina berbohong kepada
Robi. Padahal Robi sudah rela-rela tidak masuk kuliah demi menjemput Ina hari
ini.
Robi pun melangkah
pergi meninggalkan koridor bandara. Tiba-tiba dihadapannya seorang pria dengan
mengenakan jaket dan celana panjang sambil menenteng tas berlutut kelelahan.
Nafasnya tidak teratur. Lalu pria itu menoleh kearah Robi dan merapihkan
jaketnya yang lecak.
‘Robi ?’ tunjuk dia
dengan jarinya.
‘Iya gue Robi. Lu siapa
?’ Robi heran karena pria asing ini mengetahui namanya.
‘Kenalin, gue Juned. Gue
teman satu kampusnya Ina waktu di Jepang, dan dia nitip ini’ Pria itu
menyerahkan sebuah gantungan kunci. Bentuknya persegi, terbuat dari kayu dan
bertuliskan aksara Jepang di satu sisinya.
‘Gantungan kunci ?’ Robi
mengerutkan dahi dan memicingkan mata ke arah gantungan kunci yang diberikan
oleh pria asing ini.
‘Iya gantungan. Gue
gatau apa artinya ini gue cuman disuruh nitipin ini ke elu. Udah ya, gue
buru-buru’ pria itu menepuk pundak Robi dengan cepat ia pergi dan menaiki taksi
yang sudah bersiap membawanya kemana saja.
Robi menatap gantungan
kunci itu. Memutar dan membalik gantungan itu berkali-kali. Apa arti tulisan
aksara Jepang ini. Apa Ina mau sombong ke Robi kalo dia sudah jago bahasa
Jepang ? Atau ini tulisannya Aku cinta Kamu. Ah sudahlah, sampai saat ini pun Robi
dan Ina masih sangat suka membuat-buat sebuah rahasia. Robi tersenyum, meski
getir tapi ada sedikit rasa bahagia karena ternyata Ina tidak lupa dengannya
walaupun dia tidak menepati janji untuk bertemu dengannya hari ini.
*
Tiga tahun bekerja di
perusahaan Jepang. Akhirnya Robi diberi kesempatan oleh pemilik perusahaan
untuk mengunjungi kantor pusat di Jepang. Semua usahanya selama ini bekerja
membuahkan hasil yang sangat membahagiakan. Siapa yang tidak ingin pergi ke
Jepang secara cuma-cuma. Robi terbang ke Negara yang menghancurkan cintanya.
Jepang. Negara yang menjadi tempat bernaung separuh hatinya 7 tahun yang lalu. Ternyata sudah lama ya, ujar Robi dalam
hati.
Dengan parka yang tebal
ada bulu-bulu dibagian kupluknya, sarung tangan untuk menghangatkan telapak tangan,
dan hembusan nafas begitu jelas terlihat keluar dari mulut Robi. Kebetulan
sekali Robi datang ke Jepang di musim dingin. Rasanya seperti berada di kulkas.
Dingin, beku, dan seperti es mambo.
Dia atas jembatan layang
Robi memandangi hamparan gedung pencakar langit, mobil-mobil hilir mudik di
jalan raya, dan pejalan kaki yang tertib berjalan di trotoar yang sudah disediakan
serta tak menyerobot saat menyebrang jalan ketika lampu hijau menyala. Semuanya
terlihat putih diselimuti butiran salju dari langit. Rasanya seperti ada di
dunia pororo. Senyum Robi pun mengembang melihat pemandangan yang baru pertama
kali dilihat.
Pantas
saja Ina betah. Ucap Robi dilanjutkan mengehembuskan
gumpalan udara dari mulut.
Dijalan Robi menikmati
butiran salju yang terus turun berjatuhan menyentuh kepalanya. Ia menengadahkan
wajahnya kearah langit. Butiran-butiran putih nan dingin itu meghempas wajah
Robi. Dingin, lembut dan basah. Sama seperti hatinya saat ditinggal Ina, ketika
mengetahui Ina akan pergi ke Jepang, hati Robi berubah dingin serta beku.
Meskipun hati Ina terasa lembut namun tetap saja ditinggal Ina membuat Robi
basah kuyub karena tangisannya.
Memori itu semakin
terekam. Rekaman itu tak pernah hilang ditelan waktu. Meski hampir satu windu
kenangan itu berlalu, memori-memori indah itu tak pernah menjauh dari hati
Robi.
Tiba-tiba sebuah
ketukan tangan dari belakang tubuh menghentak tubuh Robi yang sedang duduk di
depan sevel sambil menikmati capucino. Sentuhan ini tak asing. Sentuhan yang
begitu dalam rasanya, lembut bagaikan salju. Dingin bagaikan es batu. Sedetik
kemudian Robi menoleh kearah ketukan tangan tersebut. Matanya terbelalak,
bibirnya menganga lebar. Hidungnya kembang kempis. Jantungnya berdetak lebih
cepat dari sebelumnya. Hatinya seperti ada yang menarik untuk saling bersatu.
‘Hai Rob, apa kabar ?’ Senyum
manis yang sudah lama dinantikan oleh Robi terlempar dari wajah seorang wanita
yang imut karena lesung pipinya.
Robi terpatung melihat
Ina yang tambah cantik dan manis. Poni rambut yang menutupi dahinya membuat Ina
semakin imut. Ditambah lagi lesung pipinya yang masih awet terhampar di pipinya
yang rada chubby. Air mata Robi mengalir, ia pun beranjak dari kursi dan
langsung memeluk hangat tubuh Ina.
0 komentar:
Posting Komentar